Jumat, 03 Oktober 2025

,


TANYA:

Bismillah 

Ustaz, izin bertanya ustaz, bagaimana definisi yang benar mengenai ikhtilath diantara guru-guru dalam sebuah lembaga pendidikan, ustaz?

Hamba Allah, 08228349xxxx


JAWAB:

Makna dari ikhtilat adalah keberadaan antara laki-laki dan wanita lebih dari satu di tempat yg sama tanpa penyekat. Maka, hukumnya adalah mubāh (lihat disini). Namun, hukum mubāh ini dengan beberapa catatan;


Pertama, tidak diperbolehkan adanya kholwah (berduaan hanya antara lelaki dg perempuan di tempat yg tidak dijangkau pandangan manusia). Landasannya, sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;


لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ؛ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

"Tidaklah seorang lelaki berduaan dg seorang wanita, kecuali yg ketiga adalah setan."


Dan kholwat ini ada perincian, sebagaimana dijelaskan oleh para fuqoha;


• Jika dia seorang wanita, maka tidak berduaan dg lelaki; baik 1 lelaki, 2 lelaki, sampai 3 lelaki, dan masih dianggap kholwat. Karena sisi ittihām bi wuqū' al-mafsadah (perkiraan terjadi mafsadah) lebih besar.


• Jika dia seorang lelaki, maka jika seorang wanita ditemani wanita yg lainnya, maka sudah tidak termasuk kholwat. Karena 'adam al-mafsadah ghōliban (secara umum, tidak memunculkan mafsadah), karena wanita punya rasa malu dg sesama wanita.


Imam Nawawi (w.676 H) berkata;


والمشهور جواز خلوة رجلٍ بنسوةٍ لا محرم له فيهن؛ لعدم المفسدة غالبًا؛ لأن النساء يستحين من بعضهن بعضًا في ذلك

"Pendapat masyhūr dalam madzhab, kebolehan seorang lelaki bersama dg para wanita yg bukan mahramnya; karena ketiadaan mafsadah pada umumnya. Karena para wanita saling memilki rasa malu, antara satu dg lainnya."

[ Al-Majmū' Syarh Al-Muhadzdzab. Dārul Fikr. (7/86) ]


Syaikh Sulaiman Al-Jamal (w.1204 H) menyatakan;


يجوز خلوة رجلٍ بامرأتين ثقتين يحتشمهما، وهو المعتمد

"Boleh bagi seorang lelaki, bersama dua oramg wanita yg tsiqoh (terpercaya penjagaan dirinya) yg lelaki itu punya rasa malu terhadap keduanya, dan ini pendapat mu'tamad."

[ Hāsyiyah Al-Jamal 'ala Syarh Al-Manhaj. Dārul Fikr. (4/466) ]


Adapun sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;


لا يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَومِي هذا علَى مُغِيبَةٍ، إلَّا ومعَه رَجُلٌ أوِ اثْنَانِ

"Tidak boleh seorang lelaki setelah hari ini, menjumpai seorang wanita kecuali ditemani seorang laki-laki lain, atau dua orang lainnya." [ HR.Muslim (2173) ]


Maka Imam An-Nawawi (w.676 H) menjelaskan;


ثم إن ظاهر هذا الحديث جواز خلوة الرجلين أو الثلاثة بالأجنبية، والمشهور عند أصحابنا تحريمه، فيتأول الحديث على جماعةٍ يبعد وقوع المواطأة منهم على الفاحشة لصلاحهم أو مروءتهم أو غير ذلك، وقد أشار القاضي إلى نحو هذا التأويل

"Lalu, dhōhir dari hadits ini menunjukkan bolehkan dua atau tiga orang lelaki bersama seorang wanita ajnabiyyah. Sedang pendapat yg masyhūr fuqoha Syafi'iyyah; hal ini diharamkan (tetap sehukum dg kholwat, bukan ikhtilat -edt). Maka, hadits ini ditakwilkan jika ini terjadi dari kelompok orang yg tidak mungkin terjadi kesepakatan untuk melakukan perbuatan keji; karena kesalihan dan murū'ah, atau semacamnya. Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al-Qōdhī tentang takwil semacam ini."

[ Syarh Shohīh Muslim. Al-Mathba'ah Al-Mishriyyah, Al-Azhar. (14/155) ]


Kedua, harus menutup aurot secara sempurna. Maka, jika wanitanya tidak menutup aurot, diharamkan adanya ikhtilath. Dalilny, firman Allah ta'ala;


وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ﴾ [الأحزاب: 53]

"Dan jika kalian meminta kepada para wanita atas suatu benda, maka mintalah dari balik hijabnya."

[ QS Al-Ahzab ayat 53 ]


Juga hadits;


أنَّ أسماءَ بنتَ أبي بكرٍ دخلتْ على النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وعليها ثيابٌ رقاقٌ فأعرض عنها وقال يا أسماءُ إنَّ المرأةَ إذا بلغتِ المحيضَ لم تصلحْ أن يُرَى منها إلَّا هذا وأشار إلى وجهِه وكفِّه

"Bahwa Asmā binti Abi Bakr menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan dia memakai pakaian yg tipis, maka beliau pun berpaling darinya. Dan bersabda ((Wahai Asmā, sesungguhnya wanita jika sudah haid, tidak layak terlihat darinya kecuali ini -beliau berisyarat kepada wajah dan telapak tangan-))."

[ HR.Abu Dawud (4104) ]


Ketiga, harus saling menjaga pandangan baik yg laki-laki ataupun wanita. Tidak boleh memandang secara terus menerus, hanya sekilas yg kiranya dibutuhkan. Allah ta'ala berfirman;


قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ

"Katakan kepada para lelaki mukmin untuk menundukkan pandangan mereka."


Dan Allah ta'ala juga berfirman;


وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

"Dan katakan pula pada para wanita mukminah hendaknya menundukkan pandangan mereka."

[ QS An-Nūr ayat 30-31 ]


Keempat, menjaga jarak sehingga tidak terjadi sentuhan antara laki-laki dan wanita. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لأن يطعن في رأس رجل بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له

"Sungguh, kepala seseorang ditusuk dg jarum dari besi lebih baik daripada menyentuh wanita yg bukan mahramnya."

[ HR.At-Thobrōni dalam Al-Kabīr (20/212) ]


Kesimpulan, hukum asalnya ikhtilāth (campur baur antara laki-laki dengan wanita) adalah boleh, apalagi jika ada kebutuhan seperti rapat sekolah, di kendaraan umum, pasar, dan semisalnya. Namun, dengan tetap memperhatikan syarat-syaratnya. Wallahu ta'ala a'lam.


***

Jombang, 4 Oktober 2025

Danang Santoso

• Alumni Mahad Aliy Al-Aimmah

• Santri Mahad Nawawi Takhossus Fiqh Syafii

• Pengasuh Fiqhram

Minggu, 21 September 2025

,

Pada dasarnya, mewarnai rambut dengan warna hitam adalah terlarang. Dalilnya, diantaranya hadits Jabir radhiyallahu anhu;


أُتِيَ بأَبِي قُحَافَةَ يَومَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: غَيِّرُوا هذا بشيءٍ، وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

"Abu Quhafah datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari Fathu Makkah, dalam kondisi rambut dan jenggot yang beruban seperti pohon tsughomah. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan ((Rubahlah warna rambut ini dengan sesuatu, dan hindari warna hitam))." [ HR.Muslim (2102) ]


Berangkat dari hadits ini, para fuqoha silang pendapat mengenai hukum mewarnai rambut dengan warna hitam. Menjadi dua pendapat;


Pendapat pertama, menyatakan hukumnya adalah makruh. Karena hal ini masuk ranah 'adat dan bukan ibadah. Dan juga, bahwa diriwayat sebagian sahabat ada yang mewarnai rambutnya dengan warna hitam. Dan ini pendapat dari madzhab Hanafiyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. (Lihat disini)


Pendapat kedua, menyatakan hukumnya adalah haram. Dan ini adalah pendapat mu'tamad (resmi) dalam madzhab Syafii. Dalam Busyrol Karim Syarh Masail Ta'lim (2/131) dikatakan;


(و يحرم تسويد الشيب) ولو لامرأة كما في الشرح وغيره، لكن قال الشهاب الرملي في شرح الزبد وتبعه ابنه في شرحها؛ يجوز لها بإذن حليلها لأن فيه تزيينا لها وقد أذن لها. قال فيه؛ ويحرم على الولي خضب شعر الصغير ولو أنثى إذا كان أصهب بالسواد لما فيه من تغيير الخلقة، قال الكردي؛ وهو مفهوم كلام حج السابق أي في الشرح. اه‍ نعم يجوز بالسواد في الجهاد لإرهاب العدو

"(Dan haram hukumnya mewarnai uban dengan warna hitam) meskipun untuk wanita, sebagaimana dalam syarh (Manhajul Qowim edt) dan selainnya. Akan tetapi Syihabuddin Al-Romli dalam syarh Az-Zubad, serta anaknya (Syamsuddin Al-Romli -edt) menyatakan tentang wanita; boleh bagi wanita jika dengan izin suaminya, karena ada sisi berhias diri untuk suami. Beliau berkata; Dan diharamkan bagi wali untuk mewarnai rambut anak dengan hitam meskipun dia perempuan ketika rambutnya putih kemerahan; karena ada sisi merubah ciptaan Allah ta'ala. Berkata Al-Kurdi; ini diambil dari mafhum (logika terbalik) dari ucapan Ibnu Hajar yang telah lalu dalam syarah. (-selesai nukilan) Namun boleh mewarnai dengan warna ketika jihad untuk menakuti musuh."


Maka, dalam madzhab Syafiiyyah, hukum asal mewarnai rambut adalah haram. Namun bisa menjadi boleh, ketika;


a) Istri sesuai izin suaminya.

b) Laki-laki ketika akan berangkat menuju peperangan (jihad).


Jika dikatakan, bukankah mewarnai rambut adalah masuk dalam ranah adat. Sedangkan, perintah dalam adat hukumnya adalah sunnah. Maka lawannya adalah makruh. Maka, apa yang membuat hukumnya meninggkat sebagai haram ?

Jawabannya, karena dalam perkara ini ada ancaman yang nyata dengan tidak masuk surga, bagi orang yang mewarnai dengan warna hitam. Dan ancaman semacam ini, termasuk indikasi bahwa hal tersebut adalah dosa, bahkan bisa jadi dosa besar. Dalma hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu secara marfu';

يَكونُ قومٌ يخضِبونَ في آخرِ الزَّمانِ بالسَّوادِ كحواصلِ الحمامِ لا يريحونَ رائحةَ الجنَّةِ

"Akan ada sekelompok orang di akhir zaman, dan mewarnai dengan warna hitam seperti leher merpati. Mereka tidak akan mendapati bau surga." [ HR.Abu Dawud (4212) ]


***

Kesimpulan, yang lebih berhati-hati dalam hal ini adalah pendapat madzhab Syafiiyyah yang menyatakan bahwa mewarnai rambut dengan warna hitam adalah haram, kecuali dalam beberapa kondisi. Wallahu ta'ala a'alam.


Jombang, 21 September 2025

Danang Santoso

Minggu, 14 September 2025

,

Dalam internal madzhab Syafiiy juga ulama di luar madzhab, para fuqoha terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, hukumnya adalah haram. Dan ini pendapat Al-Millibāriy penulis Fathul Mu'īn, Al-Adzro'iy, Al-Halīmiy, Al-Qoffāl As-Syāsyi, serta yg nampak dari nash Imam Syafii dalam Al-Umm. Sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Al-Bakriy;


واعترضه ابن الرفعة في حاشية الكافية بأن الشافعي رضي الله عنه نص في الأم على التحريم. قال الزركشي: وكذا الحليمي في شعب الإيمان. وأستاذه القفال الشاشي في محاسن الشريعة. وقال الأذرعي: الصواب تحريم حلقها جملة لغير علة بها، كما يفعله القلندرية

"Ibnu Rif'ah membantahnya dalam Hasyiyah Al-Kāfi bahwa Imam Syafii dalam kitabnya Al-Umm menyatakan haram. Az-Zarkasyi menyatakan; demikian pula pendapat Al-Halīmiy dalam Syu'abul Imān, serta gurunya Al-Qoffāl As-Syāsyiy dalam Mahāsin As-Syarī'ah. Al-Adzro'iy menyatakan; yg benar adalah haram mencukur habis jenggot tanpa ada alasan, sebagaimana yg dilakukan sekte Al-Qolandariyyah." [ I'anatut Tholibīn (2/386) ]


Dalam Fathul Mu'i disebutkan;


 ويحرم حلق لحية

"Dan haram mencukur habis jenggot."


***

Dalil pendapat ini, adalah dhohir sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;

أحْفُوا الشَّوارِبَ وأعْفُوا اللِّحى

"Tipiskanlah kumis-kumis dan biarkanlah jenggot-jenggot." [ HR.Muslim (259) ]


Dalam redaksi yg lain;


خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّروا اللِّحى، وأحْفُوا الشَّوارِبَ

"Selisihilah orang-orang musyrik, panjangkan jenggot, dan pendekkan kumis-kumis." [ HR.Bukhari (5892) ]


Sisi pendalilannya, bahwa hadits-hadits ini memerintahkan untuk membiarkan jenggot. Dan hukum asal perintah bermakna wajib. Maka, menyelisihi kewajiban adalah haram.


***

Pendapat kedua dalam madzhab, bahwa mencukur jenggot hukumnya adalah makruh, bukan haram. Dan ini adalah pendapat mu'tamad dalam madzhab Syafii dan sebagian ulama lain. Sebagaimana ini adalah pendapat Imam Nawawi, Imam Rofi'i, Syaikhul Islam Zakariya, Ibnu Hajar, Khothib Syirbini, dan Ar-Romliy. Yang kesemuanya adalah para pentahqīq madzhab. Hal ini, sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Bakriy;


(قوله: ويحرم حلق لحية) المعتمد عند الغزالي وشيخ الإسلام وابن حجر في التحفة والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة.

"(Dan ucapannya: dan haram mencukur jenggot), pendapat mu'tamad menurut Al-Ghozaliy, Syaikhul Islam, Ibnu Hajar dalam At-Tuhfah, Ar-Romli, Khothib, dan selainnya; adalah makruh." [ I'anatut Tholibīn (2/386) ]


Juga beliau nukilkan yg lainnya;


(فائدة) قال الشيخان: يكره حلق اللحية

"Berkata syaikhon (Rofiiy dan Nawawi); dimakruhkan mencukur jenggot." [ Idem ]


***

Dalil pendapat kedua ini, diantaranya;


Pertama, bahwa perintah memanjangkan jenggot dalam hadits-hadits yg disebutkan, tidak bermakna wajib; akan tetapi dibawa ke rana sunnah. Hal ini dengan faktor pemaling (shōrif) dari hukum wajib, dua hal:

a. Perkara jenggot itu masuk dalam ranah 'ādāt dan bukan ibādāt. Maka, hukum asal dalam 'ādāt adalah mubah. Dan kalau ada perintah dalam hal 'ādāt, hukum asalnya adalah sunnah.

b. Penyebutan perintah memanjangkan jenggot, disebutkan dan dikelompokkan dengan perkara-perkara lain yg hukumnya sunnah. Seperti mencukur kumis. Dan kita tahu, memanjangkan kumis, tidak dihukumi haram. Maka disini, masalah yg sama hukumnya, dikumpulkan dalam satu hadits.


Kedua, riwayat dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu anhuma;


رأيتُ ابنَ عمرَ يقبِضُ علَى لحيتِهِ فيقطعُ ما زادَ علَى الكَفِّ

"Aku melihat Ibnu Umar radhiyallahu anhuma menggenggam jenggotnya, lalu mencukur yg melebihi genggaman telapak tangannya." [ HR.Abu Dawud (11) ]


Seandainya mencukur jenggot itu haram, tidak mungkin sahabat yg mulia Ibnu Umar berani mencukur jenggotnya. Dimana beliau yg terkenal sebagai salah satu sahabat yg sangat mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam.


***

KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas, kami membuat sebuah kesimpulan dalam beberapa poin;

Pertama, hukum mencukur jenggot adalah makruh sesuai pendapat mu'tamad madzhab Syafiiy, sesuai dg kuatnya hujjah dan penalaran yg disampaikan, menurut henat penulis.

Kedua, meskipun hukumnya makruh, tetap saja seorang muslim tetap menjaga jenggotnya. Karena dia adalah salah satu identitas pribadi muslim, dari generasi ke generasi. Wallahu ta'ala a'lam.


Jombang, 15 September 2025

Danang Santoso

• Alumni Mahad Aliy Al-Aimmah

• Santri Mahad Nawawi Takhossus Fiqh Syafii

• Pengasuh Fiqhgram

,

Pertanyaan ;

Assalamualaikum, ustadz mau tanya terkait muamalah.

Kita beli voucher di surya mart untuk dibagikan ke anggota. Tetapi kita tidak tahu voucher itu digunakan atau tidak sama anggota. Hukum buat *****mart apabila voucher yg kita beli tidak sama dengan voucher yg dipakai oleh anggota seperti apa mohon penjelasannya?

Voucher yang kita beli tersebut ada masa expirednya selama 3 bulan dari tanggal pembelian.

Hamba Allah, Mojokerto

***

Jawaban :

Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Bismillah wassholatu wassalamu ala Rasulillah. Amma ba'du,

Mengenai voucher belanja, kami ingin sampaikan bahwa hal tersebut hukum asalnya adalam mubah (boleh). Dan ini sudah kami tuliskan penjelasan lengkapnya disini. Namun perlu kiranya kami jelaskan detail lain dalam masalah ini;

Pertama, voucher dijual dengan harga yang sama dengan nilai pembelian yang bisa dibeli dengan voucher. Misal, seseorang beli voucer belanja seharga Rp 100.000, dan dia bisa membeli dengan voucher itu, barang dengan nilai yang sama. Maka ini tidak mengapa. Alasannya, karena hukum asal muamalah adalah mubah (mubah) sampai ada alasan pelarangan. Sedangkan disini tidak ada alasan pelarangan.

Kedua, voucher bukan untuk membeli barang, tapi sebagai pemberi manfaat untuk mendapatkan diskon barang (bithoqoh takhfidh). Maka dia memiliki dua kondisi;

1. Jika voucher diskon ini dijual dengan harga tertentu, maka ini diharamkan. Karena ada sisi ghoror (spekulasi tinggi). Dimana jika kartu dimanfaatkan, maka konsumen untung. Jika tidak dipakai, maka konsumen akan rugi.

2. Jika voucher diskon ini diberikan secara cuma-cuma, maka diperbolehkan. Karena ini sebagai bentuk pemberian (hibah) dari penjual kepada konsumen.

3. Jika voucher diberikan dengan membayar biaya cetak voucher atau kartu, maka disini ada sisi syubhat. Dan yang difatwakan, maka bentuk ketiga ini juga hendaknya dijauhi.

***
Dari sini kita tahu, bahwa secara asal model voucher yang ditanyakan di atas, masuk dalam kategori voucher pertama. Maka secara asal hukumnya diperbolehkan; baik dipakai untuk dirinya sendiri maupun diberikan sebagai hadiah kepada orang lain. Landasan dalam hal ini, adalah firman Allah ta'ala;

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
"Dan Allah halalkan jual beli dan mengharamkan riba." [ QS Al-Baqarah ayat 275 ]

Namun, yang perlu diperhatikan juga dari pertanyaan di atas, adalah keberadaan masa berlaku dari voucher terebut. Maka ini masuk dalam kategori ghoror. Dan kalau kita merujuk kepada stadart AAOIFI (1/782), disebutkan parameter ghoror yang merusak akad adalah;

Pertama, ghoror berlaku dalam akad ekonomi bukan akad sosial.

Kedua, ghoror (spekulasi) memiliki nilai yg cukup tinggi.

Ketiga, ghoror ada dalam objek akad secara asal.

Keempat, tidak ada hajat (kebutuhan) secara syari yang membolehkannya.

Maka semua karakter ghoror yang merusak akad ini, terterapkan pada batasan masa aktif voucher yang ditanyakan. Jika tidak dipakai, sampai batas waktu yang ditentukan, konsumen akan rugi karena dia membayar uang tanpa timbal balik apapun. Sedangkan dalam hadits yang shahih, disebutkan;

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (jual beli dengan lempar batu) dan jual beli ghoror (spekulasi tinggi)." [ HR.Muslim (1513) ]

Disisi lain, dalam aturan jual beli tidak boleh ada syarat berbatas waktu. Jual beli dianggap sah jika tanpa ada batas waktu (عدم التأقيت), sebagaimana dalam kitab Al-Yaqūt An-Nafis dan kitab fikih yg lainnya.


***
Kesimpulan dari pertanyaan di atas, jawabannya adalah bahwa transaksi yang dilakukan tidak sah karena ada unsur ghoror pada batas waktu (limit) yg diberikan. Wallahu ta'ala a'lam.


Mojoketo, 13 September 2025
Danang Santoso
• Alumni Mahad Aliy Al-Aimmah Malang
• Mahasiswa Mahad Nawawi Takhossus Fiqh Syafii
• Founder & Pengasuh Fiqhgram


***
Referensi : 
2. Ketetapan Dewan Fatwa Ulama Yordania, No.138 3/2010
3. Al-Ma'ayir As-Syar'iyyah. AAOIFI. Safar 1439 H/ November 2018 M.
4. www.abuharits.com
5. Al-Yāqūt An-Nafīs fi Madzhab Ibn Idrīs. Ahmad bin Umar As-Syatiri (w.1360 H)

Sabtu, 13 September 2025

,


Voucher belanja yg dimaksud adalah, sebuah kertas atau semacamnya yg diterbitkan oleh pihak-pihak tertentu, yg bisa digunakan untuk berbelanja di tempat tertentu, dengan nilai tertentu.


Sebagai contoh, fiqhgramart menerbitkan voucher belanja dengan type premium seharga Rp 500.000, dan type biasa seharga Rp 100.000. Yang nantinya, dengan voucher ini, konsumen bisa membeli barang dari fiqhgramart senilai Rp 500.000 untuk type premium, dan Rp 100.000 untuk type biasa.


***

TAKYĪF (ADAPTASI) MASALAH

Voucher semacam ini, kita anggap bahwa di pembeli voucher sudah membeli barang namun belum mengambilnya. Jadi, voucher dianggap barang, bukan dianggap uang. Sehingga, jika semisal dia menjual lagi voucher tersebut, tidak ada masalah jika dia dapat secara gratis. Baik dengan harga yg lebih mahal, harga yg sama, ataupun harga yg lebih murah.


Padanan dalam masalah ini, juga sudah terjadi di masa lampau. Dimana, sebagian pemimpin membagikan kertas, bertuliskan nama orang dan berhak untuk mendapatkan barang ini dan itu di tempat tertentu. Menurut Imam Nawawi, pemilik kupon boleh menjual kuponnya secara mutlak. Dalam kitabnya Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (1/946) menyatakan;


الصِّكَاكَ جَمْع صَكّ وَهُوَ الْوَرَقَة الْمَكْتُوبَة بِدَيْنٍ وَيُجْمَع أَيْضًا عَلَى صُكُوك , وَالْمُرَاد هُنَا الْوَرَقَة الَّتِي تَخْرُج مِنْ وَلِيّ الْأَمْر بِالرِّزْقِ لِمُسْتَحِقِّهِ بِأَنْ يَكْتُب فِيهَا لِلْإِنْسَانِ كَذَا وَكَذَا مِنْ طَعَام أَوْ غَيْره فَيَبِيع صَاحِبهَا ذَلِكَ لِإِنْسَانٍ قَبْل أَنْ يَقْبِضهُ. وَقَدْ اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِي ذَلِكَ ; وَالْأَصَحّ عِنْد أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ جَوَاز بَيْعهَا

"Shokāk bentuk jamak dari shokkun, yaitu secarik kertas yg ditulis padanya hutang barang. Juga dibentuk jamak dengan kata shukūk. Maksud disini, dia adalah semacam kertas yg diterbitkan oleh pemimpin untuk memberikan harta kepada yg berhak. Dimana tertulis disitu; 'untuk si fulan sekian jumlah makanan atau semacamnya'. Lalu, jika penerima kertas itu menjual kepada orang lain, sebelum dia tukarkan dengan barang yg dimaksud, maka ada khilaf diantara para ulama. Dan pendapat paling shahih menurut ulama madzhab kami; boleh dia jual."


Perlu diketahui, Imam Nawawi dalam hal ini sedang menjelaskan hadits Abu Hurairah radhiyallah anhu;

أَنَّهُ قَالَ لِمَرْوَانَ : أَحْلَلْتَ بَيْعَ الرِّبَا ، فَقَالَ مَرْوَانُ : مَا فَعَلْتُ ؟ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : أَحْلَلْتَ بَيْعَ الصِّكَاكِ ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الطَّعَامِ حَتَّى يُسْتَوْفَى ، قَالَ : فَخَطَبَ مَرْوَانُ النَّاسَ ، فَنَهَى عَنْ بَيْعِهَا

"Beliau berkata kepada Marwan; (Kau sudah menghalalkan riba). Maka Marwan berkata; (Aku tidak melakukannya ?) Abu Hurairah berkata; (Kau sudah halalkan jual beli shokāk, sedang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli makanan sampai sudah dibawah kuasanya). Lalu Marwan pun melarang orang-orang menjualnya." [ HR.Muslim (2913) ]


Yg jadi titik fokus dari hadits di atas adalah, bagaimana Abu Hurairah radhiyallahu anhu menarik kesimpulan, bahwa shokāk itu masuk jual beli barang, sehingga tidak boleh dijual sampai dia kuasai / terima barangnya terlebih dahulu. Maka dari sini kita tahu, voucher juga memiliki kesamaan dg shokāk tersebut. Sehingga takyīf fikih-nya (adaptasi fikih), voucher tersebut barang yg belum dia ambil.


***

KLASIFIKASI & HUKUMNYA

Pada dasarnya, hukum asal voucher belanja semacam ini adalah mubah (boleh). Namun jika kembangkan, dalam masalah; apakah pemilik voucher itu boleh menjual voucher-nya kepada orang lain ? Maka dalam hal ini, kita kategorikan voucher belanja ini dalam dua kategori;


Pertama, voucher tersebut didapatkan dengan membayar dengan nilai tertentu. Maka bagi pembeli voucher, dilarang menjual voucher belanjanya. Dengan harga berapapun. Karena disini, jatuhnya dia menjual barang yg belum dia pegang (barang masih ada di toko). Sedang dalam hadits disebutkan;

نَهَى النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنْ يُبَاعَ الطَّعَامُ إذَا اشْتَرَاهُ حتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang menjual makanan yg tidak ada disisinya." [ HR. Bukhari (2123) ]


Dalam hadits yg lain disebutkan;

نهى رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عن سلفٍ وبيعٍ، وعن شرطين في بيعٍ واحدٍ، وعن بيعِ ما ليس عندَك، وعن ربحِ ما لم يضمنْ

"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari; hutang dg syarat jual beli, dua syarat dalam satu jual beli, jual beli barang yg tidak ada disisinya, keuntungan tanpa ada tanggung jawab kerugian." [ HR. An-Nasai (4631) ]


Kedua, voucher itu didapatkan secara gratis. Maka sebagaimana pendapat dari fuqoha Syafiiyyah dalam penjelasan Imam Nawawi di atas. Pemilik voucher boleh menjual lagi kepada orang; baik dengan harga lebih mahal, harga sama, atau lebih murah. Karena jatuhnya disini, dia seperti menjual barang yg dihibahkan oleh orang lain.


Jika ditanya, bukankah dalam kasus kedua, barang belum berada di tangannya ? Maka kita jawab; benar, namun status barang sudah menjadi miliknya secara sempurna. Berbeda halnya dg hasil beli, pembeli belum dianggap memiliki barang secara sempurna, sampai dia terima barangnya. Wallahu ta'ala a'lam.


***

KESIMPULAN

1. Hukum asal jual beli voucher belanja adalah boleh. Dan voucher belanja berbeda dengan voucher diskon.

2. Boleh menjual lagi voucher belanja yg didapatkan secara gratis. Namun jika hasil membeli, maka tidak boleh dijual. Wallahu ta'ala a'lam.


Mojokerto, 14 September 2025

Danang Santoso

• Alumni Mahad Aliy Al-Aimmah Malang

• Santri Mahad Al-Nawawi Takhossus Fiqh Syafii

• Founder & Pengasuh Fiqhgram


***

Referensi:

1. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Al-Hajjāj. Yahya bin Syaraf An-Nawawi.

2. Shahih Muslim. Muslim bin Al-Hajjāj (w.261 H) .

3. Sunan An-Nasaī (w.303 H). Ahmad bin Syu'aib An-Nāsaī.

4. islamqa.info

Selasa, 09 September 2025

,


Ibnu Hajar Al-Haitami (w.974 H) dalam bukunya Kaff Ar-Ro'ā' menyampaikan;


الأوتار والمعازف كالطنبور والعود والصنج أي ذي الأوتار والرباب والجنك والكمنجة والسنطير والدريج وغير ذلك من الآلات المشهورة عند أهل اللهو والسفاهة والفسوق، هذه كلها محرمة بلا خلاف، ومن حكى فيها خلافا فقط غلط أو غلب عليه هواه حتى أصمه وأعماه ومتعه هداه وزل به عن سنن تقواه

"Alat-alat musik berdawai dan alat musik lain, seperti tanbura (gitar persia), gitar oud, shunj (semacam harpa), harpa, (kamunjah) semacam biola, kecapi besar, duraij (semacam oud) dan selainnya, dari alat-alat musik yg dimainkan orang-orang yg lalai, bodoh, dan fasik. Semuanya adalah haram tanpa ada khilaf. Dan jika ada yg menyampaikan, dari alat-alat tadi ada khilaf, maka dia salah, hanya mengikuti hawa nafsu hingga menjadi tuli dan buta, tergelincir dari taqwa."

[ Hal.78 ]


Dinukil dari kitab Ihya, bahwa alasan pengharaman alat musik berdawai, karena tiga perkara;


أنها تدعو إلى شرب الخمر فإن اللذة الحاصلة بها تدعو لذلك، ولهذا حرم شرب فليلة الذي يقطع بعدم إسكاره لأنه يجر لكثيره

"Pertama; bahwa alat ini bisa mendorong untuk meminum khomer, karena sebab kenikmatan yg dihasilkan dari suaranya."

أنها في قريب العهد بشربه تذكره محاسن الشرب والذكر سبب انبعاث الفسوق، وانبعاث الفسوق إذا قوى سبب للإقدام

"Kedua; mendorong untuk melakukan kefasikan."

أن الإجماع على الأوتار لما صار من عادة أهل الفسق منع من التشبه بهم، إذ ((من تشبه بقوم فهو منهم))

"Ketiga; telah ada konklusi (kesepakatan) ulama akan keharaman alat musik berdawai, dimana dia adalah syiar orang fasik." [ Hal.86 ]


***

DALIL KEHARAMAN

Diantara dalil nash yg diajukan oleh para ulama dalam hal ini, sebagaimana yg disebutkan Ibnu Hajar;


{ومن الناس من يشتري لهو الحديث} فسره ابن عباس والحسن بالملاهي

"{Dan sebagian manusia ada yg membeli lahwal hadīts}, Ibnu Abbas dan Al-Hasan Al-Basri menafsiri lahwal hadits sebagai alat malāhiy (musik)."

{واستفزز من استطعت منهم بصوتك} فسره ابن مجاهد بالغناء والمزامر

"{Dan ajaklah siapapun yg engkau mampu dari mereka dg suaramu}, ditafsiri oleh Mujāhid dg nyanyian dan seruling."

((ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الخز والحرير والخمر والمعازف)) رواه البحاري ووصله الإشماعيلي وأبو نعيم في المستخرج وأبو داود بأسانيد صحيحة

"((Akan ada dari umatku yg menghalalkan zina, sutera, khomr, dan ma'āzif / alat musik)), hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari secara mu'allaq, namun diriwayatkan Al-Ismā'īliy dan Abu Nu'aim dan Abu Dawud dengan sanad bersambung yg shahih."


***

Ibnu Hazm Ad-Dhohiriy mengklaim akan kehalalan alat musik berdawai. Dengan alasan;


Hadits tentang ma'āzif adalah hadits munqothi', tidak bisa menjadi dalil. Maka Ibnu Hajar (hal.85) menyatakan;


وقد كذب في ذلك وافترى على الله وعلى نبيه وشريعته الغراء، كيف وقد صرح الأئمة الحفاظ الذين هم أمناء الله على شريعة نبيهم بتصحيح كثير من الأحاديث الواردة في ذلك كما قدمت

"Sungguh dia telah dusta atas nama Allah, rasul-Nya, dan syariat-Nya. Bagaimana tidak, sedang para imam penghafal hadits yg mereka adalah pemegang amanah Allah dan rasul-Nya, berupa syariat, menyatakan kesahihan hadits-hadits yg berhubungan dg masalah ini, sebagaimana telah berlalu penjelasannya."


Ibnu Hazm mengklaim, bahwa diriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah mendengar terompet. Maka, riwayat ini benar, namun sejatinya, yg dilakukan beliau adalah menghindari suara musik itu dengan sampai menutup telinganya. Bukan menunjukkan bahwa suara musik itu mubah. Sebagaimana sudah berlali, bahwa hadits ini malah menjadi dalil keharaman terompet dan semacamnya. (Lihat hal.74)


Ibnul Qommāh (w.667 H) menukil bahwa Izzuddin Ibn Abdissalam ketika ditanya tentang hukum alat musik, maka beliau katakan, "Mubah." Maka, Ibnu Hajar (hal.87) menyatakan;


معاذ الله أن سلطان العلماء يبيح ما أجمع العلماء على تحريمه ومن توهم ذلك فيه لم يثق بعد بكلام عالم قط لأن مثل هذا الخبر إذا صرح في كتبه بحرمة تلك الآلات كلها

"Aku berlindung kepada Allah, bahwa sulthonul ulama membolehkan sesuatu yg disepakati keharamannya. Dan siapa yg mengira seperti itu, tentu tidak ada seorang alim pun yg ucapannya bisa dipercaya. Karena semacam ini, padahal beliau di dalam banyak kitabnya, meyampaikan keharamannya secara terang-terangan."


Demikian juga, diriwayatkan dari Tājuddin Al-Fazārā, Ibnu Daqīq Al-Īd, dan beberapa fuqoha. Mereka hadir dalam majelis yg ada rebana dan seruling (syabābah). Maka, seandainya ini shahih, maka ditakwil; rebana adalah perkara yg halal, sedang seruling ada khilaf. Maka hal pengecualian semacam ini, tidak mungkin menjadi hukum umum untuk semuanya. (Hal.88)

***

KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas, sesuai penjelasan Ibnu Hajar Al-Haitami (w.974 H), maka bisa disimpulakan.

Bahwa hukum semua alat musik berdawai adalah haram, tanpa terkecuali. Wallahu ta'ala a'lam.


***

Serial bedah kitab Kaff Ar-Ro'a

Karya Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy As-Syafi'iy (w.974 H) 


Jombang, 10 September 2025

Danang Santoso

|  Alumni Mahad Aliy Al-Aimmah Malang

| Santri Mahad Nawawi Takhossus Fiqh Syafii

| Founder & Pengasuh Fiqhgram

Jumat, 05 September 2025

,
Wahai kalian para pemimpin, di negara kita, secara kasat mata, kalian menjadi pemimpin karena pilihan rakyat. Terlepas, berapa banyak kalian telah berikan uang kotor itu, berapa banyak janji yg sejak awal kalian tak ingin tepati itu. Tapi, kami tetap yakin, kalau bukan takdir Allah, kalau tidak diizinkan Allah, kalian tidak akan menjadi pemimpin kami.

Maka ingatlah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;

ما مِنْ عبدٍ يسترْعيه اللهُ رعيَّةً ، يموتُ يومَ يموتُ ، وهوَ غاشٌّ لرعِيَّتِهِ ، إلَّا حرّمَ اللهُ عليْهِ الجنَّةَ

"Tidak ada seorang hamba pun, yang Allah buat dia jadi pemimpin, lalu dia mati dalam kondisi mengkhianati rakyat, kecuali Allah haramkan baginya surga."
[ HR.Bukhari (7150), Muslim (142) ]

Apakah engkau mengkhianati kami ? Apakah engkau gunakan kekuasaan itu untuk mengenyangkan perutmu dan kronimu, dan tak peduli dg rakyatmu ? Ingat sabda Nabi kami shallallahu alaihi wa sallam juga;

مِنْ أخونِ الخيانَةِ تجارَة الوالي في رعِيَّتِهِ

"Tidak ada pengkhianatan yg lebih mengkhianati, melebihi pemimpin yg menjual rakyatnya sendiri."
[ HR.Abu Ashim (871), At-Thobroni dalam Mu'jam As-Syamiyīn (1323), Ibnu Asākir dalam Tarikh Dimasyq (37/348) ]

Berlakulah baik, kerjakan amanah kepemimpinan sebaik mungkin. Jangan khianat. Pikirkan yg terbaik untuk rakyat, bahkan meski merugikan diri kalian sendiri.

Kenapa ? Berat melakukannya ? Jangan khawatir, kalau kalian berlaku baik dan benar, berusaha memberikan yg terbaik untuk rakyat, kalian akan dapat jaminan keteduhan dari Allah ta'ala. Bukan disini ! Tapi nanti ketika kalian mati dan dihidupkan kembali untuk mempertanggung-jawabkan semua kelakuan kalian. Akan dijamin keteduhan kalian di hari itu, jika kalian menjadi pemimpin yg adil. Dan, keamanan kalian terjamin, serta mendapatkan kenikmatan abadi.

وَأَهْلُ الجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ: ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ

"Penduduk surga ada tiga (diantaranya); pemimpin yg adil, memberikan kesejahteraan, dan diberikan taufiq oleh Allah untuk melakukan kebaikan."
[ HR.Muslim (2865) ]

Tapi sekali lagi, jangan juga lupa doa Nabi kami shallallahu alaihi wa sallam;

اللهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ

"Wahai Allah, siapa yang diserahi mengurus salah satu di antara urusan umatku, lalu dia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan atasnya. Dan barang siapa yang diserahi untuk mengurus salah satu di antara urusan umatku, lalu dia memudahkan urusan mereka, maka berilah kemudahan pada urusannya."
[ HR. Ahmad (24622), Muslim (1828), Ibnu Hibban (553) dan yang lainnya ]

Terakhir, kami juga tak lupa. Bisa jadi wujud keburukan kalian, karena kami para masyarakat juga buruk. Kami pun akan selalu berusaha, untuk menjadi manusia-manusia baik. Sehingga, kebaikan datang untuk kita semua. Amīn.

***
Danang Santoso
Rakyat Indonesia
4 September 2025