Rabu, 03 Maret 2021

Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa

Pertanyaan :

Sy mau bertanya. Tentang hukum menggambar makhluk hidup. Krn sy lihat byk sekali jaman skrg bertebaran seperti di IG. Poster2 dakwah yg terdapat gambar kartun manusia yg lucu seperti di xxx (nama akun ig), atau ada jg yg tidak ada wajahnya seperti di xxx (nama akun ig). Sebenarnya baiknya seperti apa nggih?

Jawaban :

بسم الله و الصلاة و السلام على رسول الله و على آله و صحبه و من والاه و بعد. 

Yang perlu kita fahami dahulu, bahwasanya hukum asal menggambar makhluk yang bernyawa yaitu manusia dan hewan, adalah terlarang. Dalam hadits disebutkan :

إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ القِيَامَةِ يُعَذَّبُونَ، فَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
“ Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini pada hari kiamat akan di adzab, maka akan dikatakan kepada mereka : hidupkan apa yang sudah kalian ciptakan.”[1]

Maka dimaknai dari sabda Nabi di atas : ‘hidupkan’, berarti gambar itu terbatas pada apa yang dahulu memang pernah hidup di dunia atau yang menyerupai apa yang hidup di dunia. Dan juga dalam asbabul wurud hadits-hadits ini berkenaan dengan gambar-gambar hewan. Akan tetapi ada beberapa kondisi dimana hal tersebut diperbolehkan dalam menggambar atau memakainya dengan beberapa rincian :

Gambar tersebut dipergunakan untuk mainan atau pendidikan anak-anak, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya ketika Nabi pulang dari peperangan, dan melihat Aisyah radhiyallahu anhu bermain boneka dengan teman-temannya maka beliau apa ini wahai Aisyah ? Maka Aisyah menjawab, “Itu adalah anak-anak perempuanku.” Kemudian dalam hadits disebutkan :

وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ
“ Dan beliau melihat kuda yang memiliki 2 sayap yang terbuat dari kain.”[2]

Dan disitu beliau tidak mengingkari dan membiarkan saja. Dan berkata Al-Khathib Asy-Syirbini ;

يُسْتَثْنَى مِنْ صُورَةِ الْحَيَوَانِ لُعَبُ الْبَنَاتِ فَلَا تَحْرُمُ كَمَا فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ لِلْمُصَنِّفِ تَبَعًا لِلْقَاضِي عِيَاضٍ فِي نَقْلِهِ ذَلِكَ عَنْ الْعُلَمَاءِ: «وَلِأَنَّ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا - كَانَتْ تَلْعَبُ بِهَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» رَوَاهُ مُسْلِمٌ
“ Dan dikecualikan dari gambar hewan adalah mainan untuk anak-anak perempuan maka tidak diharamkan sebagaimana dalam syarah Muslim karya penulis (baca; Imam Nawawi) mengikuti Qodhi Iyadh dalam menukil hal tersebut dari para ulama. Dan juga karena Aisyah radhiyallahu anha bermain dengan hal tersebut di sisi Rasulullah .”[3]

Boleh menggambar makhluk bernyawa secara mutlak dengan syarat dihilangkan dari anggota tubuhnya apa yang dia tidak bisa hidup dengannya, seperti dengan menghilangkan kepalanya. Berkata Imam Nawawi :

ويجوز ما على أرض وبساط ومخدة ومقطوع الرأس وصورة شجر ويحرم تصوير حيوان

“ Dan boleh gambar yang ada di atas lantai, karpet, bantal guling, yang terpotong kepalanya, dan pepohonan. Dan haram menggambar hewan.”[4]
Al-Millibari mengatakan ;

و لا يحرم أيضا تصوير حيوان بلا رأس

“ Dan tidak diharamkan pula menggambar hewan dengan tanpa kepala.”[5]

Jika gambar tersebut dalam hal-hal yang tidak diperhatikan dan dipajang (banyak dilihat) seperti pada keset, karpet, panci, dan bukan pada hal yang banyak diperhatikan seperti bantal sofa, hiasan dinding, gorden, baju, dan semisalnya. Maka boleh memakainya dan bukan menggambarnya. Adapun menggambarnya tetap terlarang. Berkata Imam Nawawi :

ومن المنكر فراش حرير وصورة وحيوان على سقف أو جدار أو وسادة أو ستر أو ثوب ملبوس
“ Dan termasuk kemunkaran adalah permadani dari sutra, juga gambar hewan pada atap, tembok, bantal sofa, gorden, atau pakaian.”[6]

Berkata Khothib Asy-Syirbini :

(وَيَجُوزُ مَا) أَيْ صُورَةُ حَيَوَانٍ كَائِنَةٌ (عَلَى أَرْضٍ وَبِسَاطٍ) يُوطَأُ (وَمِخَدَّةٍ) يُتَّكَأُ عَلَيْهَا وَآنِيَةٍ تُمْتَهَنُ الصُّوَرُ بِاسْتِعْمَالِهَا كَطَبَقٍ وَخِوَانٍ وَقَصْعَةٍ، وَالضَّابِطُ فِي ذَلِكَ إنْ كَانَتْ الصُّورَةُ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا يُهَانُ جَازَ وَإِلَّا فَلَا، لِمَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرَتْ عَلَى صُفَّةٍ لَهَا سِتْرًا فِيهِ الْخَيْلُ ذَوَاتُ الْأَجْنِحَةِ فَأَمَرَ بِنَزْعِهَا» وَفِي رِوَايَةٍ: «قَطَعْنَا مِنْهَا وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَرْتَفِقُ بِهِمَا»

“ Dan boleh gambar hewan yang ada pada lantai, karpet, yang diinjak, bantal guling yang diduduki, juga wadah-wadah yang gambar tersebut diremehkan dan tak diperhatikan untuk dipergunakannya seperti piring, meja makan, nampan. Dan kaidahnya bahwa jika gambar berada pada sesuatu yang diremehkan dan tak diperhatikan maka boleh. Sebagaimana yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha, “Bahwa Nabi datang dari safar kemudian melihat dan beliau menutupi kamar Nabi dengan gorden yang bergambar kuda bersayap, maka beliau memerintahkan untuk melepasnya.” Dan dalam satu riwayat, “Maka kami pun memotongnya menjadi satu atau dua bantal dan Nabi duduk bersandar atasnya.”[7]

Maka dari penjelasan di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil jika dikiaskan dalam beberapa permasalahan kontemporer hari ini. Diantaranya ;

1. Bahwa diharamkan menggambar manusia atau hewan baik dengan aplikasi (bukan foto) atau dengan tangan yang, baik kartun atau bukan, lengkap dengan seluruh anggota tubuhnya.

2. Boleh menggambar kartun manusia atau hewan dengan syarat dihilangkan bagian tubuhnya yang dia tidak bisa hidup dengannya; seperti dengan memotong kepalanya (bukan hanya menghapus wajah).

3. Boleh menggambar kartun manusia atau hewan dengan sempurna untuk permainan dan pendidikan anak-anak.

Demikian pemaparan dari apa yang disampaikan oleh para ulama dalam madzhab Syafi’iyyah. Semoga bisa menjawab. Wallahu Ta’ala A’lam.

Dijawab oleh Abu Harits Al-Jawi.


[1] . HR. Bukhari dari Aisyah radhiyallahu anha, Bab At-Tijarah fi ma Yukrahu Lubsuhu

[2] . HR. Abu Dawud, Bab Al-Lu’ab lil Banat

[3] . Mughnil Muhtaj, Al-Khothib Asy-Syirbini, ( Daarul Kutub Al-Ilmiyah ), cet. Pertama, tahun. 1994, Fashl; fil Walimah (4/408)

[4] . Minhajut Thalibin, An-Nawawi, ( Surabaya : Toko Kitab Al-Hidayah ), Kitab Ash-Shadaq Fashl fil Walimah, hal. 92

[5] . Fathul Mu’in, Zainuddin Al-Millibari, ( Jakarta : Daarul Kutub Al-Islamiyah ), cet. Pertama, tahun. 2010, Fashul fish Shodaq hal. 222

[6] . Minhajut Thalibin, An-Nawawi, ( Surabaya : Toko Kitab Al-Hidayah ), Kitab Ash-Shadaq Fashl fil Walimah, hal. 92

[7] . Mughnil Muhtaj, Al-Khothib Asy-Syirbini, ( Daarul Kutub Al-Ilmiyah ), cet. Pertama, tahun. 1994, Fashl; fil Walimah (4/408)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar