Jual beli fudhūli/fadhūli adalah jual beli dengan harta orang lain tanpa seizin pemilik harta tersebut. Dalam madzhab jual beli fudhuli hukumnya haram. Dengan dalil hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
لا تبع ما ليس عندك
" Jangan kamu jual apa yang bukan milikmu."
[ HR. Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan selainnya. Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu' (9/259) ]
Dan alasan lain yang dikemukakan oleh Asy-Syirozi (w.476 H) beliau berkata :
ولأن مالا يملكه لا يقدر على تسليمه فهو كالطير في الهواء أو السمك في الماء.
" Dan karena apa yang tidak dia miliki dia tidak mampu untuk menyerahkannya sebagaimana (jual) burung di langit atau ikan dalam air."
[ Al-Muhadzdzab, Abu Ishaq Asy-Syirozi, (Darul Kutub Al-Ilmiyyah), (2/13) ]
Dan juga termasuk rukun jual beli adalah wilayatul 'aqid (hak transaksi yang dimiliki peng-akad). Dan hak ini bisa berupa izin secara lisan, atau izin secara syariat seperti hak transaksi yang dimiliki oleh wali dari harta anak kecil. Jika tidak ada wilayatul 'aqid maka tidak sah jual belinya.
Adapun hadits Hakim ibn Huzām atau 'Urwah Al-Bāriqi yang mengkisahkan bahwa dia diberi 1 dinar untuk membeli 1 kambing ternyata dia membeli 2 kambing kemudian satunya dijual dengan harga 1 dinar sehingga dia kembali dengan 1 kambing dan 1 dinar. Maka ada beberapa hujjah :
1. Hadits Hakim ibn Huzam adalah dhoif. Berkata Imam Nawawi (w.676 H)
أنه حديث ضعيف أما إسناد أبي داود فيه ففيه نسخ مجهول و أما إسناد الترمذي ففيه انقطاع بين حديث ابن أبي ثابت و حكيم بن حزام
" Bahwasanya hadits ini dhoif; adapun sanad riwayat Abu Dawud maka ada perawi Naskh yang majhul, adapun riwayat Tirmidzi maka sanadnya terputus; antara Ibn Abi Tsabit dan Hakim ibn Huzam."
[ Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi, ( Darul Fikr ), tanpa tahun, (2/259) ]
2. Adapun hadits Urwah Al-Bariqi maka haditsnya shahih, akan tetapi maksudnya adalah sahabat tadi menjadi wakil Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bukan jual beli fudhuli. Yang menunjukkan hal itu, bahwa madzhab yang berpendapat bolehnya jual beli fudhuli mengatakan tidak boleh menyerahkan barang untuk dijual kecuali dengan izin pemiliknya; sedangkan Urwah Al-Bariqi tadi menyerahkan kambing yang kedua untuk dijual kembali sebelum meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Maka disini ada kontradiksi jika kita biarkan maknanya adalah fudhuli, maka yang dimaksud adalah wakil.
[ Lihat Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi, ( Darul Fikr ), tanpa tahun, (2/259) ]
CONTOH PRAKTEK FUDHULI
• Transaksi fudhuli terbagi menjadi 2 :
1. Menjual Fudhūli (شراء الفضولي)
Yaitu seseorang menjual barang yang dia tidak punya hak izin untuk menjualkan barang tersebut.
Contoh Praktis :
• Ada dua pedagang, salah satu pedagang pergi sebentar meninggalkan kiosnya, tanpa menyampaikan izin kepada temannya untuk bertransaksi. Kadang hanya mengatakan, "titip toko ya", atau yang semacamnya. Maka ketika ada yang ingin membeli barang dari toko orang yang sedang pergi tadi, di teman tidak boleh bertransaksi / menjuali pembeli tersebut. Kecuali pemilik toko memberikan izin secara lisan kepadanya seperti dengan berkata, "nanti kalau ada yang beli tolong jualin ya". Kalau hanya titip toko saja bukanalah izin. Maka transaksi seperti ini adalah transaksi menjual fudhuli.
2. Membeli Fudhuli (بيع الفضولي)
Yaitu seseorang membeli dengan harta orang lain tanpa izin dari pemilik harta tersebut.
Contoh Praktis :
• Si A dititipi uang oleh si B untuk membeli 1ekor kambing, kemudian ternyata si B membeli 2 ekor kambing tanpa izin dahulu kepada si A karena melihat di pasar harganya sedang murah. Maka transaksi semacam ini tidak saha karena ada unsur membeli fudhuli.
• Si A berangkat ke pasar dan melihat ada buka yang sedang dicari-cari oleh si B. Maka si A berinisiatif membelikan untuk si B dengan hutang atau dengan uangnya sendiri. Maka ini juga praktek fudhuli (dengan catatan berikut).
Catatan : Dalam contoh kedua ini, jika si B ridho dan menyetujui apa yang dilakukan si A, maka si A berhak meminta uang biaya kepada si B. Jika tidak setuju, maka biaya berada pada tanggungan si A.
• Dalam pembahasan ini ada juga bentuk yang mirip dengan fudhuli. Yaitu berhutang tanpa izin untuk membeli kebutuhan pribadi dengan niat nanti akan diganti. Jual beli seperti ini sah, akan tetapi si penghutang berdosa.
Contoh Praktis :
• Si A menitipkan uang kepada si B untuk membeli baju. Ketika sampai di pasar, si B melihat baju yang dia sukai, dan dia pun menggunakan sisa uang si A untuk membeli baju tersebut, dengan niatan nanti akan diganti. Tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada si A. Maka ini adalah ghoshob (menggunakan hak orang lain tanpa seizin pemilik).
• Pegawai diberikan uang oleh perusahaan untul belanja peralatan toko. Ketika sampai di pasar, dia menghutang sisa uang belanja dari perusahaan untuk membeli kebutuhan pribadi, tanpa izin dahulu. Dengan niatan nanti akan diganti.
SOLUSI
Jika terjadi transaksi fudhuli, maka solusinya ada dua :
1. Solusi dalam madzhab Syafi'i maka barang harus dikembalikan, begitu juga uangnya. Karena dalam madzhab praktek ini adalah jual beli yang tidak sah, baik diizinkan atau tidak oleh yang bersangkutan. Jika ada kerusakan barang, jika barang sudah berada di tangan pembeli maka wajib bagi pembeli untuk mengganti kerusakan. Karena kaidah mengatakan :
البيع قبل القبض من ضمان المشتري
"Jual beli setelah barang diterima, maka kerusakan ditanggung pembeli."
2. Solusi kedua adalah solusi di luar madzhab Syafi'i. Dimana dalam madzhab Hanbali praktek fudhuli sah dengan syarat izin dari orang yang dia menjual atau membelikan untuknya.
Wallahu Ta'ala A'lam.
Abu Harits Al-Jawi
Pengasuh Website abuharits.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar