Sabtu, 13 Maret 2021

Sudah Bayar Hutang Puasa Ramadhan Belum ?!

Puasa Ramadhan telah Allah Ta'ala wajibkan atas umat Islam. Maka tidak boleh bagi seorang muslim yang sudah baligh, berakal, dan tidak ada udzur untuk tidak berpuasa pada saat datangnya bulan Ramadhan. Namun terkadang saat Ramadhan tiba, ada udzur-udzur yang mengharuskan seseorang untuk tidak berpuasa. Akan tetapi dia tetap diharuskan untuk mengganti nantinya di luar Ramadhan. Allah Ta'ala berfirman :

{ ... فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرࣲ فَعِدَّةࣱ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۚ ... }
"... Barangsiapa yang sakit atau safar diantara kalian, maka gantilah pada hari-hari yang lain..."
[ QS Al-Baqarah: 184 ]

Dan hendaknya seorang muslim ketika akan memasuki bulan Ramadhan, dia mengingat kembali apakah masih hutang puasa atau tidak. Jika iya, maka harus dia bersegera untuk membayar hutang puasanya. Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha berkata :

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
" Dahulu saya pernah punya hutang puasa Ramadhan, maka saya pun tidak bisa mengqodho'nya hingga datang bulan Sya'ban (menjelang Ramadhan berikutnya -edt) karena sibuk melayani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam."
[ HR.Muslim (2/208) ]

Akan tetapi, sering hal ini terlalaikan. Hingga tak terasa hutang puasa pun belum terbayar hingga datang Ramadhan berikutnya. Terkhusus lagi dari kalangan wanita.

TINJAUAN FIQH SYAFI'I

Dalam pendapat yang mu'tamad madzhab Syafi'i, apabila seseorang memiliki hutang puasa Ramadhan, kemudian dia memiliki kelonggaran untuk mengqodhonya. Lantas jika dia tidak mengqodho hingga datang Ramadhan berikutnya, maka yang harus dia lakukan bukan hanya qodho puasa, akan tetapi ditambahi dengan membayar fidyah satu hari satu mud (kurang lebih 700 gram) bahan makanan pokok. Dan fidyah ini diakumulasikan pada ramadhan-ramadhan setelahnya (jika terlewat hingga 2 Ramadhan maka 2 mud perhari, jika 3 Ramadhan maka 3 mud perhari, begitu seterusnya). Berkata An-Nawawi (w. 676 H) :

ومن أخر قضاء رمضان مع إمكانه حتى دخل رمضان آخر لزمه مع القضاء لكل يوم مد والأصح تكرره بتكرر السنين
" Barangsiapa yang menunda qodho puasa Ramadhan padahal memungkinkan baginya untuk melakukannya hingga masuk Ramadhan berikutnya; maka wajib baginya bersama dengan qodho (fidyah -edt) satu mud untuk setiap harinya."
[ Minhājut Thōlibin, hal.78 ]

Demikian hal senada disampaikan oleh Asy-Syīrōzi (w.476 H) dalam Al-Muhadzdzab (1/343) dan mayoritas ulama Syafi'iyyah. Bahkan An-Nawawi menambahkan orang tersebut berdosa. Beliau berkata :

فلو أخر القضاء إلى رمضان آخر بلا عذر أثم و لزمه صوم رمضان الحاضر
" Kalau seseorang menunda qodho hingga datang Ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur, maka dia berdosa dan harus berpuasa di Ramadhan tersebut."
[ Al-Majmū' Syarh Al-Muhadzdzab (6/364) ]

Dalil

Dalil dari hal ini adalah pendapat sahabat Ibnu Abbās dan Abu Hurairah radhiyallahu anhuma.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، فِي رَجُلٍ أَدْرَكَهُ رَمَضَانُ وَعَلَيْهِ رَمَضَانُ آخَرُ , قَالَ: " يَصُومُ هَذَا، وَيُطْعِمُ عَنْ ذَاكَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَيَقْضِيهِ "
" Dari Ibnu Abbās tentang seorang lelaki yang memasuki bulan Ramadhan sedang dia masih punya hutang puasa Ramadhan yang sebelumnya, beliau berkata: (Puasa untuk ramadhan sekarang, dan memberi makan untuk ramadhan sebelumnya perhari satu orang miskin serta menqodho)."
[ HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubrō (4/422) ]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: يَصُومُ الَّذِي حَضَرَ، وَيَقْضِي الْآخَرَ، وَيُطْعِمُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا 
" Dari Abu Hurairah beliau berkata: (Dia berpuasa untuk ramadhan yang sekarang, dan memgqodho yang selainnya serta memberi makan setiap harinya satu orang miskin."
[ HR. Al-Baihaqī dalam As-Sunan Al-Kubrō (4/422) ]

Atsar di atas disahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu', adapun riwayat yang marfu’ dalam hal ini adalah dho'īf.

• Pendapat Lain Dalam Madzhab

1. Sudah diketahui tentang pendapat mu'tamad dalam madzhab. Bahwa bila memiliki hutang puasa lantas tidak dibayar hingga ramadhan berikutnya, maka selain qodho ada kewajiban fidyah. Hanya saja beberapa ulama madzhab menyatakan tidak perlu fidyah, cukup qodho saja. Ini adalah pendapat pilihan Al-Muzani, An-Nawawi berkata :

... إلا المزني فقال لا تجب الفدية ...
" Kecuali Al-Muzani dia berkata: tidak wajib fidyah."
[ Al-Majmū' (6/364) ]

Dan ini juga yang dhōhir (tampak) dari pendapat Al-Baihaqi (w.458 H), beliau berkata:

وَعَنِ الْحَسَنِ وَطَاوُسٍ وَالنَّخَعِيِّ: يَقْضِي وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ , وَبِهِ نَقُولُ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
" Dan dari Al-Hasan, Thōwūs dan An-Nakho'i: cukup qodho saja tanpa kafarah. Dan kami berpendapat dengan ini sebagaimana firman Allah Ta'ala { Maka ganti pada hitungan hari yang lain }."
[ As-Sunan Al-Kubrō (4/423) ]

2. Yang mu'tamad dalam madzhab bahwa hitungan fidyah diakumulasikan sesuai dengan jumlah ramadhan yang terlewati. Namun pendapat yang lain dalam madzhab, cukup satu fidyah saja tanpa terakumulasi. Jadi, meskipun terlewat beberapa ramadhan dan belum mengqodho, maka hanya berlaku satu mud perhari saja. Ini adalah pendapat Al-Māwardi (w.450 H), sebagaimana yang disampaikan oleh An-Nawawi :

و خالفهم صاحب الحاوي فقال الأصح أنه يكفي مد واحد لجميع السنين
" Dan penulis kitab Al-Hāwi (Al-Māwardi) menyelisihi mereka dan berkata: Yang benar cukup satu mud untuk seluruh tahun."
[ Al-Majmū' (6/364) ]

KESIMPULAN

Yang mu'tamad dalam madzhab Syafi'i bahwa hutang puasa bila tidak dibayar hingga ramadhan berikutnya, maka wajib ditambah fidyah satu mud untuk satu hari. Dan berlaku kelipatannya jika ramadhan yang terlewat lebih dari satu.

Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam

Abu Harits Al-Jawi

___________
REFERENSI
1. Al-Quran Al-Karīm
2. As-Sunan Al-Kubrō, Ahmad ibn Al-Husain Al-Baihaqi, (Beirut : Dārul Kutub Al-Ilmiyyah), cetakan ketiga, tahun.1424 H/ 2003 
3. Shahih Muslim, Muslim ibn Al-Hajjāj, (Beirut : Dār Ihyā At-Turōts Al-Arabiy)
4. Al-Muhadzdzab, Abu Ishāq Asy-Syīrōzi, (Dārul Kutub Al-Ilmiyyah)
5. Al-Majmū' Syarh Al-Muhadzdzab, Yahya ibn Syaraf An-Nawawi, (Dārul Fikr)
6. Minhājut Thōlibīn wa Umdatul Muftīn, Yahya ibn Syaraf An-Nawawi, (Dārul Fikr), cetakan pertama, tahun.1425 H/ 2005 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar