Ketika menulis suatu buku, saya tidak langsung menuliskannya pada halaman word. Saya lebih suka bikin corat-coret dahulu. Biasanya saya tulis tangan, habis itu saya akan lihat lagi. Yang menurut saya pas maka saya biarkan. Kalau ada kata yang tak sesuai (apalagi berbahasa Arab), maka tak segan saya coret sajalah. Nggak pakek tipex atau stipo ? Nggak, saya lebih suka langsung coret. Karena disitu saya masih bisa melihat bahwa saya makhluk lemah dan bodoh, terbukti saya nggak bisa nulis dengan sekali tulis.
.
Setelah saya bikin coretan di buku pakek bolpen, terus saya lihat kembali, terus saya coretin sana-sini. Menambah yang kiranya perlu di tambah. Barulah saya ketik ulang di word, dengan format yang cakep sambil dikasih layout apa adanya. Kebanyakan buku yang saya tulis prosesnya kayak gitu. Jarang yang langsung tulis di word, kecuali kalo emang cuma kumpulan artikel² saya yg diformat jadi buku.
.
Dua proses di atas dalam dunia literasi Islam disebut taswīd dan tabyīdh. Yups. Taswīd berasal dari kata سوّد yg maknanya menghitamkan. Karena memang di proses ini, penulis akan banyak menghitamkan kertas karena koreksi sana sini. Sedangkan proses kedua yakni tabyīdh berasal dari kata بيّض yang maknanya memutihkan. Karena disini penulis menulis ulang tulisannya dg lebih rapih dan cakep tanpa perlu coret kembali.
.
Btw, sudah menuliskah anda hari ini ?! Kalau belum, silahkan baca buku. Karena mustahil menulis kalau tak mau baca buku.
.
#literasi #santri #santrikeren #santrigayeng #santriindonesia #bookstagram #instabook #booktuber #menulis #kitabkuning #kitabklasik #membaca #ngaji #ngajikitab
Abu Harits Al-Jawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar