Ilmu dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja alima-ya’lamu-ilman. Yang maknanya adalah pengetahuan atas sesuatu dengan yakin dan cahaya dari Allah yang diberikan kepada hati hamba yang dicintai-Nya. Dalam Lisanul Arab disebutkan bahwa ilmu adalah lawan dari al-jahl (kebodohan), apabila satu orang dikatakan aalimun atau aliimun sedangkan untuk jamak dikatakan ulama.
Berkata Imam Ibnu Abdil Barr : ”Batasan ilmu di sisi ulama dan ahli kalam adalah setiap hal yang diyakini dan jelas, maka siapa saja yang meyakini sesuatu (setelah mencari tahu ) dan jelas baginya maka dia telah mengilmuinya. Atas dasar ini barang siapa yang tidak meyakini sesuatu sedang dia berkata dengannya karena mengikuti (taklid) maka tidak disebut dia mengetahuinya. Dan dalam bahasa selain arab ilmu bisa diterjemahkan makrifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman)." [Jami’ Bayan Al-Ilmu wa Fadhluhu dengan sedikit perubahan]
Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan tentang ilmu dengan perkataan beliau ; ”Para ulama mengatakan ilmu adalah makrifah (pengetahuan); lawan dari kebodohan. Yang lain mengatakan ilmu itu lebih jelas dari definisi-definisi yang diungkapkan. Sedangkan yang menjadi perhatian kita adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang Allah Ta’ala turunkan atas rasul-Nya dari penjelasan-penjelasan dan petunjuk. Maka ilmu yang dipuji adalah ilmu wahyu saja. Ilmu syar’i adalah ilmu yang dipuji bagi orang yang memilikinya, akan tetapi saya juga tidak menafikan ilmu-ilmu lain selama ilmu tersebut memiliki dua hal ; jika ilmu tersebut dipakai untuk ketaatan kepada Allah dan untuk menolong agama-Nya maka ilmu tersebut juga baik. Dan bisa jadi mempelajarinya adalah suatu hal yang wajib di beberapa kondisi jika ilmu tersebut masuk dalam firman Allah Ta’ala ;
و أعدوا لهم ما استطعتم من قوة و من رباط الخيل
“Dan persiapkanlah apa mampu kalian persiapkan dalam hal kekuatan dan tali kekang kuda.”
[Lihat Kitab Al-Ilm hal. 11-12]
Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani di dalam kitabnya Manahil Al-Quran menyebutkan definisi-definisi ilmu. Maka definisi ilmu di sisi ahli hikmah ilmu adalah gambaran sesuatu yang muncul dari pikiran atau melekatnya jiwa terhadap sesuatu yaang tersingkap hakikatnya. Para ahli kalam mendefinisikan ilmu sebagai suatu sifat yang dengannya suatu perkara menjadi jelas. Sedangkan definisi di sisi syariat secara umum ilmu adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan ayat-ayat Nya dan perbuatan-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya. Adapun para ahli adab mendefinisikan ilmu adalah keyakinan-keyakinan khusus yang bergantung kepada indra. Sedangkan Syaikh Az-Zarqani sendiri mendefinisikan ilmu dari sisi penulisan umum adalah pengetahuan-pengetahuan yang terstruktur dari satu sisi; baik sisi tema atau sisi tujuan.
Dari definisi-definisi dan pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan atas sesuatu dengan pasti ; dimana tidak ada keraguan dan kegamangan di dalamnya.
URGENSI ILMU DAN BELAJAR
Kebutuhan manusia terhadap ilmu melebihi kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Terutama hari ini dimana banyak ruwaibidhah yang berbicara, lembaran-lembaran asing yang bersuara diiringi dengan hembusan para pembawa syubhat. Allah Ta’ala berfirman ;
أَمّن هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Apakah orang yang berdiri di tengah malam ( untuk beribadah ) dengan bersujud dan berdiri juga takut akan akhirat, juga mengharap rahmat Rabb-Nya, katakanlah apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Sesungguhnya yang bisa mengambil pelajaran hanyalah orang yang memiliki akal.” [QS Az-Zumar : 9]
Dan rasul kita shallallahu alaihi wa sallam telah diperintahkan sejak awal diutusnya, untuk berpaling dari orang-orang yang jahil (bodoh) yang bersikukuh denga kebodohannya dan menolak ilmu. Allah Ta’ala berfirman ;
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Maafkanlah dan perintahkanlah dengan kebaikan dan berpalinglah dari orang-orng bodoh.”
Demikian pula Allah Ta’ala juga mensifati kehidupan orang-orang kafir yang berpaling dari agama Allah Ta’ala dengan firmannya ;
وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan tidaklah mereka memiliki ilmu, mereka hanya mengikuti prasangka belaka, dan prasangka itu tidaklah bermanfaat untuk kebenaran sama sekali.” [QS Al-A’raf : 199]
Maka Allah Ta’ala menjadikan pemisah antara mukmin dan kafir adalah ilmu; orang mukmin memiliki ilmu sedangkan orang kafir hanya berprasangka.
Bagi orang yang mau memperhatikan masalah ilmu ini, tentu akan mendapati pentingnya ilmu tidak hanya di awal-awal Islam dan turunnya Al-Qur’an. Bahkan ilmu sudah menjadi hal penting sejak diciptakannya manusia, sebagaimana yang terekam dalam Al-Quran. Allah Ta’ala menciptakan Adam, dan menjadikannya khalifah (pemimpin) di atas muka bumi. Allah pun memerintahkan para malaikat untuk bersujud terhadap Adam, menghormatinya dan meninggikannya. Kemudian Allah sebutkan sebab tingginya kedudukan Adam ini adalah ilmu.
Dan tidak cukup sampai disitu saja, bahkan pentingnya ilmu sudah disebut sejak sebelum penciptaan manusia. Makhluk pertama yang diciptakan Allah Ta’ala adalah Al-Qalam (pena) yang mana pena adalah perangkat ilmu yang abadi. Sebagaimana hal tersebut diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;
إن أول ما خلق الله القلم فقال : اكتب فقال: ما أكتب؟ قال: اكتب القدر ما كان و ما هو كائن إلى الأبد
“Sesungguhnya hal pertama yang diciptakan Allah adalah Al-Qalam, maka Allah berfirman : Tulisalah ! Dia berkata : Apa yang kutulis ? Allah berfirman : Tulislah takdir segala yang sudah terjadi dan yang akan terjadi hingga hari akhir.”
Maka disini kita faham tidaklah suatu hal yang berlebihan ketika Rasullullah mengatakan bahwa dunia dan seisinya ini tidak ada harganya - bahkan terlaknat - kecuali dirinya berhias dengan ilmu dan dzikir kepada Allah. Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ;
الدنيا ملعونة ملعون ما فيها إلا ذكر الله و ما ولاه أو عالما أو متعلما
“Dunia seisinya ini terlaknat kecuali dzikir kepada Allah dan semisalnya, atau seorang yang berilmu dan penuntut ilmu.”
Bekata Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu ;
لموت ألف عابد قائم بالليل صائئم بالنهار أهون من موت عالم بصير بحلال الله و حرامه
“Sungguh kematian seribu ahli ibadah yang bangun di malam hari dan berpuasa di siangnya lebih ringan dari kematian seorang ahli ilmu yang mengetahui hal yang halal dan haram.” [Bughyatul Bahits ‘an Zawaid Musnad Al-Harits (2/813)]
PEMBAGIAN ILMU
Ada beberapa pembagian ilmu yang dipaparkan oleh par ulama. Diantaranya adalah Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’, beliau membagi ilmu menjadi tiga bagian :
Pertama, ilmu fardhu ‘ain. Yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap mukallaf atas kewajiban-kewajiban syariat yang dia tanggung seperti cara wudhu, sholat, dan semisalnya.
Kedua, ilmu fardhu kifayah. Yaitu ilmu yang wajib atas manusia pengamalannya dalam agama secara umum. Seperti menghafal Al-Quran dan hadits serta bagian-bagiannya, fiqh dan usulnya, nahwu dan bahasa, mengetahui para perawi hadits, ijma’, dan khilafnya. Adapun ilmu dunia seperti kedokteran dan hitungan maka juga fardhu kifayah sebagaimana yang di jelaskan oleh Al-Ghozali.Dan para ulama berselisih tentang ilmu yang berhubungan dengan kemaslahatan dunia seperti jahit dan pertanian. Imam Al-Haramain dan Al-Ghazali mengatakan hal tersebut bukan fardhu kifayah, sedangkan Imam Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad in Ali Ath-Thabari teman Imam Al-Haramain mengatakan hal tersebut juga fardhu kifayah dan ini yang kuat.
Ketiga, ilmu sunnah. Seperti menyelami ilmu ushul dalil-dalil, juga belajar amal-amal sunnah bagi orang awam dengan tujuan untuk diamalkan bukan seperti ulama yang memisah antara yang wajib dan sunnah, karena ini merupakan fardhu kifayah bagi para ulama tersebut. [Lihat Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab hal. 45-49]
Adapun Imam Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa ilmu terbagi menjadi dua :
Pertama, ilmu dharuri. Yaitu ilmu yang mustahil bagi orang yang berilmu untuk ragu di dalamnya, dan ilmu tersebut ada tanpa berfikir dan meneliti. Hal ini didapat dari indra dan akal seperti kemustahilan sesuatu itu bergerak dan diam, atau berdiri dan duduk, atau sakit dan sehat dalam satu waktu.
Kedua, ilmu muktasab. Yaitu ilmu yang didapat dengan bukti ilmiyah dan penelitian, dan hal tersebut memiliki dua sifat ; khafiy (tersembunyi) dan jaliy (jelas). Semakin ilmu tersebut mendekati dengan ilmu dharuri maka semakin jaliy, jika semakin menjauhinya maka semakin khafiy. Juga ilmu pengetahuan terbagi menjadi 2 jenis ; syahid (tampak) dan ghoib (tidak tampak). Adapun yang pertama dapat diketahui secara pasti, adapun yang kedua maka diketahui dengan merujuk pada petunjuk syahid.
Imam Ibnu Abdil Barr juga melanjutkan bahwasanya ilmu di sisi ahli-ahli teologi terbagi menjadi 3 bagian ; ilmu a’la, ilmu asfal, dan ilmu awsath.
Ilmu A’la (ilmu tertinggi) menurut mereka adalah ilmu agama yang haram bagi seseorang untuk berbicara tentangnya tanpa dalil jelas dari Al-Qur’an ataupun hadits shahih. Ilmu Awsath (ilmu pertengahan) adalah ilmu duniawi yang didapat dari penelitian dan percobaan seperti ilmu kedokteran dan ilmu teknik. Ilmu Asfal (ilmu bawah) adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan produktifitas dan keterampilan seperti renang, berkuda, tulis-menulis dan semisalnya. [Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi (2/45-50) dengan perubahan]
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwasanya ilmu dari sisi hukum mempelajarinya terbagi menjadi 3 ; fardhu ain (wajib untuk setiap individu), fardhu kifayah (wajib secara umum), dan nafl (sunnah). Jika ditinjau dari segi asal ilmu tersebut maka terbagi menjadi dua ; dharuri (pasti), dan muktasab (dengan mempelajari). Jika ditinjau dari kedudukannya maka terbagi menjadi tiga ; a’la (tertinggi), awsath (pertengahan), dan asfal (bawah).
Wallahu Ta'ala A'lam
-
Disadur dari buku Jalan Menuntut Ilmu
Karya Abu Harits al-Jawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar