وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -: «لا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ» أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ، وَلِلْبُخَارِيِّ: «لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ»، وَلِمُسْلِمٍ: «مِنْهُ» ، وَلِأَبِي دَاوُدَ: «وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنَ الْجَنَابَةِ»
"Dari Abu Hurairah radhiyallah anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
- ((Jangan mandi salah seorang kalian di air yang menggenang sedang dia dalam kondisi junub)) HR.Muslim, dan dalam lafadz Bukhari;
- ((Jangan kencing salah seorang dari kalian di air menggenang yang tidak mengalir, lalu di mandi di dalamnya)), dan dalam lafadz Muslim;
- ((Lalu dia mandi dari air itu)), dan dalam riwayat Abu Dawud;
- ((Dan jangan dia mandi di dalam air itu untuk mandi junub))"
***
Dari apa yang dikumpulkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam satu hadits ini dengan berbagai redaksi, ada beberapa gambaran larangan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Pertama, mandi junub dengan mencelupkan diri pada air yang menggenang.
Kedua, kencing di air menggenang, lalu dia mandi junub dengan air tadi dengan memasukkan diri ke dalamnya.
Ketiga, kencing di air yang menggenang, lalu dia mandi junub dengan air tadi dengan menciduk airnya.
Ta'lil atau alasan mengapa untuk kasus pertama dilarang, karena air yang digunakan untuk mandi junub tersebut, akan menjadi air musta'mal, yang statusnya hanya suci saja tanpa bisa menjadi mensucikan kembali. Dan hal ini berlaku jika air kurang dari 2 qullah (sekitar 200 liter). Jika mencapai 2 qullah atau lebih, tidak ada menjadi musta'mal.
Adapun untuk kasus kedua dan ketiga, alasannya jelas karena air yang dikencingi menjadi air mutanajjis yang statusnya tidak suci, apalagi mensucikan.
Maka dalam semua kasus tadi, ta'līl-nya (alasan hukumnya) adalah karena ifsādul mā' (merusak status air yang suci mensucikan).
***
Adapun perincian hukum tentang mandi di air yang menggenang, maka terbagi menjadi dua;
Pertama, jika airnya kurang dari dua qullah, maka makruh hukumnya mandi dengan mencelupkan diri ke dalamnya. Dan larangan tadi diturunkan ke derajat makruh, karena air musta'mal bisa disucikan dengan mukātsaroh (ditambahkan air hingga mencapai dua qullah).
Kedua, jika air dua qullah atau lebih, maka tidak mengapa mandi dengan mencelupkan diri ke dalamnya, karena status air tidak akan berubah menjadi musta'mal.
Sebagai catatan pula, hal ini berlaku untuk mandi yang bersifat wajib. Karena mandi sunnah atau bahkan mandi 'ādah (seperti untuk kesegaran badan misalnya), tidak merubah status air secara syar'i.
***
Adapun hukum kencing dalam air menggenang, maka perinciannya sebagai berikut;
Pertama, hukum asal dari kencing dalam air, baik air sedikit (kurang dari dua qullah), atau air banyak (dua qullah atau lebih) adalah haram. Dihukumi haram karena merubah status air turun ke derajat mutanajjis, bukan suci saja. Sehingga air tidak akan bisa digunakan untuk apapun, kecuali dibuang atau menyiram tanaman misalnya.
Kedua, dikecualikan dari hal pertama di atas, satu kondisi. Yaitu jika airnya banyak (dua qullah atau lebih), dan kencing tidak merubah sifat air. Maka hukumnya turun menjadi makruh, karena tidak merubah status air. Namun tetap terlarang, karena menimbulkan rasa jijik secara tabiat bagi orang lain.
Sebagai tambahan catatan, air yang mustabhir (sangat-sangat banyak seperti danau yang luas atau laut), maka tidak mengapa kencing di tempat tersebut. Karena status air tidak berubah, dan secara tabiat orang lain tidak akan merasa jijik.
Wallahu Ta'ala A'lam wa Ahkam
***
Jombang, 28 Safar 1445 H
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi
#ngajibulughulmarom #ngajikitab #fikihsyafii #fikihbersuci #fikihhadits
~ Seri kajian fikih hadits dari kitab Bulūghul Marōm, bisa disimak di kanal youtube Fiqhgram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar