Senin, 11 Desember 2023

FIKIH MUSIM HUJAN

Dalam al-Quran, Allah Ta'ala memberikan beberapa sifat kepada air hujan. Dinantara sifat-sifat tersebut adalah, yang pertama hujan adalah rahmat Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman;


{ وَهُوَ ٱلَّذِی یُرۡسِلُ ٱلرِّیَـٰحَ بُشۡرَۢا بَیۡنَ یَدَیۡ رَحۡمَتِهِۦۖ حَتَّىٰۤ إِذَاۤ أَقَلَّتۡ سَحَابࣰا ثِقَالࣰا سُقۡنَـٰهُ لِبَلَدࣲ مَّیِّتࣲ فَأَنزَلۡنَا بِهِ ٱلۡمَاۤءَ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦ مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَ ٰ⁠تِۚ كَذَ ٰ⁠لِكَ نُخۡرِجُ ٱلۡمَوۡتَىٰ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ }

"Dan Dialah (Allah) yang mengirimkan angin sebagai pemberi kabar gembira dihadapan rahmat-Nya. Hingga ketika berkumpul awal yang berat maka Kami sirami kepada negeri yang mati, dan Kami turunkan air, lalu Kami keluarkan dengannya berbagai macam buah. Demikianlah Kami keluarkan (hidupkan kembali) tanah yang mati semoga kalian mengingat."

[ Surat Al-A'raf ayat 57 ]


Diantara sifat hujan, air yang dibawanya memberikan keberkahan. Allah Ta'ala berfirman;


{ وَنَزَّلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ مَاۤءࣰ مُّبَـٰرَكࣰا فَأَنۢبَتۡنَا بِهِۦ جَنَّـٰتࣲ وَحَبَّ ٱلۡحَصِیدِ }

"Dan Kami turunkan dari langit air yang terberkahi dan kami tumbuhkan dengannya kebun-kebun dan bijian."

[ Surat Qof ayat 9 ]


Diantara sifat air hujan yang lain, bahwa air hujan adalah air yang suci dan mensucikan. Sebagaimana firman Allah Ta'a'a;


{ وَهُوَ ٱلَّذِیۤ أَرۡسَلَ ٱلرِّیَـٰحَ بُشۡرَۢا بَیۡنَ یَدَیۡ رَحۡمَتِهِۦۚ وَأَنزَلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ مَاۤءࣰ طَهُورࣰا }

"Dan Dialah (Allah) yang mengirimkan angin sebagai kabar gembira dihadapan rahmat-Nya. Dan Kami turunkan dari langit air yang suci mensucikan."

[ Surat Al-Furqon ayat 48 ]


Juga firman Allah Ta'ala;

{ إِذۡ یُغَشِّیكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةࣰ مِّنۡهُ وَیُنَزِّلُ عَلَیۡكُم مِّنَ ٱلسَّمَاۤءِ مَاۤءࣰ لِّیُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَیُذۡهِبَ عَنكُمۡ رِجۡزَ ٱلشَّیۡطَـٰنِ وَلِیَرۡبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمۡ وَیُثَبِّتَ بِهِ ٱلۡأَقۡدَامَ }

"Ketika Dia selimutkan kepada kalian rasa kantuk dan menurunkan kepada kalian dari langit; air untuk mensucikan kalian, menghilangkan kotoran setan, menguatkan hati kalian, dan meneguhkan kaki-kaki kalian."

[ Surat Al-Anfal ayat 11 ]


Syaikh Muhammad Nawawi Banten menyampaikan dalam Hasyiyah Fathul Qorib, bahwa sumber air di bumi pada mulanya adalah dari langit. Dan ternyata penelitian modern pun menyatakan, bahwa air di bumi berasal dari luar angkasa dalam bentuk bongkahan es asteroid pada mulanya. Allah Ta'ala berfirman;


{ أَلَمۡ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ مَاۤءࣰ فَسَلَكَهُۥ یَنَـٰبِیعَ فِی ٱلۡأَرۡضِ ثُمَّ یُخۡرِجُ بِهِۦ زَرۡعࣰا مُّخۡتَلِفًا أَلۡوَ ٰ⁠نُهُۥ ثُمَّ یَهِیجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرࣰّا ثُمَّ یَجۡعَلُهُۥ حُطَـٰمًاۚ إِنَّ فِی ذَ ٰ⁠لِكَ لَذِكۡرَىٰ لِأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِ }

"Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah menurunkan air dari langit lalu Dia alirkan pada aliran-aliran di bumi, lalu Allah keluarkan dengannya tumbuhan yang beraneka ragam warnanya, lalu berubahlah dia menjadi menguning, kemudian dia jadikan tumbuhan tersebut hancur. Sesungguhnya yang demikian itu, ada pertanda bagi orang yang memiliki akal."

[ Surat Az-Zumar ayat 21 ]


Dan sekarang, musim hujan telah tiba. Sebagai seorang muslim, menghadapi semua fenomena alam sesuai dengan syariat Islam dan ajarannya. Maka, perlu kiranya kita memperhatikan bahwa ada beberapa hal-hal yang dibahas oleh fikih Islam berkenaan dengan musim hujan.

Pertama, mandi hujan ketika hujan, disertai dengan membuka pakaian yg tidak menutup auratnya, supaya terkena air hujan. Juga bisa digunakan untuk mandi & berwudhu dengan aliran air hujan. Karena air hujan adalah berkah dari Allah. Serta hadits Anas radhiyallahu anhu, beliau berkata;

أَصَابَنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطَرٌ. قَالَ: فَحَسَرَ رَسُولُ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبَهُ. حَتَّى أَصَابَهُ مِنَ الْمَطَرِ. فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ! لِمَ صَنَعْتَ هَذَا؟ قَالَ: "لِأَنَّهُ حَدِيثُ عهد بربه تعالى".
"Kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terkena hujan, maka beliau membuka bajunya hingga tubuh beliau terkena air hujan. Maka kami katakan; Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan ini ? Beliau berkata ((Air hujan ini baru datang dari sisi Allah))."
[ HR.Muslim (898) ]

Dan disunnahkan hal ini di setiap hujan, namun hujan pertama di musim penghujan lebih utama. Al-Khothīb As-Syirbīni (w.977) berkata;

بَلْ يُسَنُّ عِنْدَ أَوَّلِ كُلِّ مَطَرٍ، كَمَا قَالَ الزَّرْكَشِيُّ لِظَاهِرِ خَبَرٍ، رَوَاهُ الْحَاكِمُ. وَلَكِنَّهُ فِي الْأَوَّلِ آكَدُ
"Disunnahkan juga disetiap awal hujan, sebagaimana ucapan Az-Zarkasyi sesuai riwayat Al-Hākim, akan tetapi hujan pertama di musim hujan lebih ditekankan."
[ Mughnil Muhtāj (1/610) ]

Kedua, bertasbih ketika mendengar petir (bahasa Jawa : gluduk) dan kilat, dengan membaca doa (subhanallahilladzi yusabbihur ro'du bihamdihi wal malāikatu min khīfatihi). Sebagaimana atsar dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhuma;

أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَمِعَ الرَّعْدَ تَرَكَ الْحَدِيثَ، وَقَالَ: " سُبْحَانَ اللهِ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ،  وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: إِنَّ هَذَا الْوَعِيدَ لِأَهْلِ الْأَرْضِ شَدِيدٌ
"Bahwa beliau ketika mendengar petir maka berhenti berbicara dan membaca doa ((Subhanallah alladzi yusabbihur ro'du bihamdihi wal malāikatu min khīfatihi)). Lalu beliau berkata; 'Sungguh ini adalah ancaman yang keras bagi penduduk bumi'."
[ HR.Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro (6471), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf (31175) ]

Ketiga, tidak melihat ke arah kilat, karena bisa merusak pandangan mata. Dalam tafsir As-Syinqithī;

قوله {يكاد البرق يخطف أبصارهم} يكاد يخطف بصر ناظره ، ولا سيما إذا كان البصر ضعيفا ; لأن البصر كلما كان أضعف ، كان النور أشد إذهابا له
"Firman Allah Ta'ala {Hampir saja kilat menyambar pandangan mereka} yaitu menyambar penglihatan mata terlebih lagi jika penglihatan sudah melemah. Karena semakin lemah pandangan mata, maka sinar akan semakin kuat membuatnya buta."


(وَ) أَنْ (لَا يُتْبِعَ بَصَرَهُ الْبَرْقَ) لِأَنَّ السَّلَفَ الصَّالِحَ كَانُوا يَكْرَهُونَ الْإِشَارَةَ إلَى الرَّعْدِ وَالْبَرْقِ
"Dan hendaknya tidak mengikuti dengan pandangannya ke arah kilat, karena salafus sholeh membenci isyarat (dengan pandangan -edt) dalam hal tersebut."
[ Mughnil Muhtāj (1/610) ]

Urwah bin Zubair (w.94 H) seorang tabiin berkata;


إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الْبَرْقَ أَوِ الْوَدْقَ  فَلَا يُشِرْ إِلَيْهِ، وَلْيَصِفْ، وَلْيَنْعَتْ
"Jika salah seorang dari kalian melihat petir atau hujan yang amat lebat, jangan dia berisyarat (dengan melihat), cukup dia gambarkan saja (tanpa perlu melihat)."
[ HR.As-Syafii dalam Musnad-nya (521), Abdurrazzaq dalam Mushonnaf (5055) ]

Imam Ar-Rōfi'i dalam Syarah Musnad Syafii (2/62) mengatakan;

قال الشافعي في "الأم" لم أزل أسمع عددًا من العرب يكره الإشارة إليه ويشبه أن يكون هذا من جملة التفاؤلات
"Berkata Imam Syafii dalam kitabnya Al-Umm; 'Aku senantiasa melihat orang Arab tidak menyukai melihat ke arah petir.' Dan ini masuk dalam kategori tafāulāt (optimisme terhadap sesuatu)."

Keempat, berdoa ketika turun hujan; (Allahumma shoyyiban hanīan wa sayyiban nāfi'a) tiga kali, lafadz shoyyiban diriwayatkan oleh Bukhori (1032) dan An-Nasāi (1523), sedangkan tambahan hanīan diriwayatkan oleh Ibnu Majah (3890) dan Abu Dawud (5099). Sebagaimana pula riwayat Ibnu Majah (3889) dari hadits Aisyah radhiyallahu anha berkata;

فَإِنْ أَمْطَرَ قَالَ: «اللَّهُمَّ سَيْبًا نَافِعًا» مَرَّتَيْنِ، أَوْ ثَلَاثًا،
"Jika turun hujan maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca doa (Allahumma sayyiban nāfi'a) dua kali atau tiga kali."

Dalam hadits Abu Dawud (5099) dalam Sunan-nya dari Aisyah radhiyallahu anha berkata;

 أن النبيَّ- صلى الله عليه وسلم -كان إذا رأى ناشئاً في أُفُقِ السَّماءِ تركَ العملَ، وإن كان في صلاةِ، ثم يقول: "اللَّهُمَ إني أعوذُ بك مِن شرِّها"، فإن مُطِرَ قال: "اللَّهُم صَيَّباً هَنيئاَ"  
"Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam jika melihat sesuatu di ufuk langit (perubahan langit) maka beliau tinggalkan aktifitas, jika beliau sedang shalat maka beliau berdoa 'Allahumma innī a'ūdzubika min syarrihā'. Dan jika turun hujan beliau berdoa 'Allahumma shoyyiban hanīan'."

Serta setelah turun hujan dengan mengucap; (muthirnā bi fadhlillāhi wa rohmatihi), diriwayatkan oleh Bukhari (846).

Kelima, berdoa dengan doa apapun (karena termasuk waktu mustajab ketika musim hujan, edt-). Dalam satu hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

ثِنْتانِ مَا تُرَدَّانِ:  الدُّعاءُ عَنْدَ النِّدَاءِ وتَحْتَ المطر
"Dua waktu yang tidak tertolak; ketika adzan dan ketika turun hujan."
[ HR.As-Suyūthi dalam Al-Jāmi' As-Shoghīr (5389), dihasankan oleh Al-Albāni, dan asalnya dari riwayat Al-Hākim dalam Mustadrok-nya (2563) ]

Keenam,
dimakruhkan mengatakan; telah turun hujan dengan bintang ini, atau ucapan semisal. Landasan dalam hal ini adalah hadits qudsi;

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ. فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ:  مُطِرْنَا بِنَوْءِ  كَذَا وَكَذَا، فَذَلِكَ كَافِرٌ بي مؤمن بالكواكب
"Di pagi hari ada dari hamba-Ku yang beriman dan kafir. Adapun yang mengatakan; kami diberikan hujan dengan keutamaan Allah dan rahmat-Nya, maka dia beriman kepada-Ku dan dan kufur kepada bintang-bintang. Adapun yang mengatakan; kami diberikan hujan dengan sebab bintang ini dan ini, maka dia kufur kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang."
[ HR.Muslim (71) ]

Imam Ar-Rōfi'i dalam Syarah Musnad Syafii (2/56) mengatakan;

وكانوا يقولون: إذا سقط نجم وطلع آخر حدث مطر أو ريح، وكانوا يضيفون الحادث إليها فنهوا عن ذلك وأمروا بالإضافة إلى فضل الله ورحمته
"Orang arab dulu mengatakan, 'Jika tenggelam bintang ini dan muncul bintang ini, maka terjadilah hujan.' Dan mereka menisbatkan kejadian tersebut kepada bintang-bintang, maka mereka dilarang mengucapkan hal yang demikian. Dan diperintahkan untuk menisbatkan semua kejadian kepada keutamaan dan rahmat Allah."

Imam Nawawi (w.676 H) mengatakan;

قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءٍ  كَذَا مُعْتَقِدًا أَنَّهُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى وَبِرَحْمَتِهِ وَأَنَّ النَّوْءَ مِيقَاتٌ لَهُ وَعَلَامَةٌ اعْتِبَارًا بِالْعَادَةِ فَكَأَنَّهُ قَالَ مُطِرْنَا فِي وَقْتِ كَذَا فَهَذَا لَا يَكْفُرُ وَاخْتَلَفُوا فِي كَرَاهَتِهِ وَالْأَظْهَرُ كَرَاهَتُهُ لَكِنَّهَا كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ لَا إِثْمَ فِيهَا وَسَبَبُ الْكَرَاهَةِ أَنَّهَا كَلِمَةٌ مُتَرَدِّدَةٌ بَيْنَ الْكُفْرِ وَغَيْرِهِ فَيُسَاءُ الظَّنُّ بِصَاحِبِهَا وَلِأَنَّهَا شِعَارُ الْجَاهِلِيَّةِ وَمَنْ سَلَكَ مَسْلَكَهُمْ
"Perkataan 'kami diberi hujan dengan sebab bintang ini' dengan meyakini bahwa hujan tersebut berasal dari Allah dan rahmat-Nya, sedangkan bintang hanyalah petunjuk waktu datangnya hujan dan tandanya sesuai dengan kebiasaan (bahasa Jawa; ilmu titen -edt). Maka ucapannya seperti ucapan 'kami diberi hujan di waktu ini', maka hal semacam ini bukanlah kekufuran. Namun ada khilaf tentang kemakruhannya, dan yang pendapat paling tampak (adzhar) ucapan ini adalah makruh tanzih, tidak berdampak dosa. Sedangkan sebab kemakruhan ucapan ini karena ucapan ini ada indikasi kemungkinan antara kekufuran dan selain kekufuran, maka orang yang mengucapkan akan diprasangkai dengan prasangka yang kurang baik. Alasan lain (akan hukum kemakruhannya), karena kalimat semacam ini termasuk syiar Jahiliyyah dan orang yang mengikuti jalan mereka."
[ Syarah Shahih Muslim (2/60-61) ]

Ini berlaku jika dia mengakui penyebab turun hujan adalah Allah Ta'ala, namun hujan turun di waktu munculnya bintang ini atau itu. Namun jika dia meyakini bahwa bintang tersebut adalah penyebab turunnya hujan dan penciptanya, maka jelas ini kekufuran. Ibnu 'Allān mengatakan;

(فذلك كافر بي) كفراً حقيقياً إن اعتقد أن النوء موجد للمطر حقيقة، وإلا فكافر للنعمة إن لم يعتقد ذلك، وأسند ما لله لغيره

"Kekufuran yang hakiki jika sampai dia meyakini bahwa bintang tersebutlah yang menciptakan dan menurunkan hujan secara nyata, namun jika tidak meyakini hal semacam ini maka masuk kategori kufur nikmat, dan menisbatkan kepada selain Allah, itulah makna dari hadits (maka itulah kufur kepada-Ku)."

[ Dalīl Al-Fālihīn Syarh Riyādhus Shōlihīn (8/548) ]


Ketujuh, dimakruhkan mencela angin. Berkata Imam Syafii;

قال الشافعي رحمه الله: لا ينبغي لأحدٍ أن يسبَّ الرياحَ، فإنها خلقٌ لله تعالى مطيع، وجندٌ من أجناده، يجعلُها رحمةً ونقمةً إذا شاء
"Berkata Imam Syafii; 'tidak selayaknya seseorang mencela angin, karena angin adalah ciptaan Allah yang taat kepada-Nya, dan dia adalah salah satu dari bala tentara-Nya, dan Allah jadikan dia sebagai rahmat dan adzab jika Dia kehendaki."
[ Al-Adzkār An-Nawawiyyah (hal.180) ] 

Kedelapan, jika timbul mudhorot dengan turunnya hujan (seperti banjir dan semisalnya), maka disunnahkan untuk meminta kepada Allah agar diangkat hujan tersebut dengan berdoa; (Allahumma hawālainā wa lā 'alaina). Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari (933), Muslim (898), dan lainnya.

Wallahu Ta'ala A'lam

Jombang, 12 Desember 2023
Abu Harits Danang Santoso


Sumber utama: Minhājut Thōlibin, Imam Nawawi, (Jakarta : Dārul Kutub Al-Islamiyyah ), cetakan pertama, 2013 M, hal. 64

Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar