Orang tua adalah salah satu nikmat Allah Ta'ala yang dihadirkan kepada kita. Dengan kasih sayang keduanya, kita pun tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya kita diiperintahkan untuk berterimakasih kepada kedua orang tua. Allah Ta'ala berfirman;
{ وَوَصَّیۡنَا ٱلۡإِنسَـٰنَ بِوَ ٰلِدَیۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنࣲ وَفِصَـٰلُهُۥ فِی عَامَیۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِی وَلِوَ ٰلِدَیۡكَ إِلَیَّ ٱلۡمَصِیرُ }
"Dan Kami wasiatkan manusia terhadap kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam kondisi yang susah di atas kesusahan lainnya. Lalu manusia disapih ketika berumur dua tahun. Maka (Kami wasiatkan) berterimakasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, kepada-Ku lah kalian akan kembali."
[ QS Lukman ayat 14 ]
Dalam kitab Taisirul Khollaq, bahwa orang tua adalah sebab keberadaan manusia di dunia. Kalau bukan sebab perantara orang tua, kita bukanlah sesuatu yang tida ada. Oleh karenanya, suatu kewajiban kita berterimakasih kepada keduanya. Dan bentuk berterimakasih serta berbuat baik kepada kedua orang tua, diungkapkan dan dibahasakan oleh syariat Islam sebagai birrul walidain.
HUKUM BIRRUL WALIDAIN
Secara umum, birrul walidain hukumya adalah wajib. Hal ini dilandasi oleh ijmak kaum muslimin, serta beberapa ayat dan hadits yang cukup masyhur dalam hal ini. Diantaranya firman Allah Ta'ala;
{وَاعْبُدُوا اللهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ}
"Dan sembahlah Allah dna jangan kalian menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun, dan terhadap kedua orang tua maka berbuat baiklah. Juga kepada kerabat, anak yatim, orang -orang miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, dan teman dekat, dan orang yang dalam perjalanan, serta budak yang kalian miliki."
[ QS An-Nisa ayat 36 ]
Juga firman Allah Ta'ala;
{وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا}
"Dan Rabb-mu telah menetapkan bahwa janganlah kalian sembah kecuali Allah, dan terhadap kedua orang tua maka berbuat baiklah. Dan ketika kedua orang tua atau salah satunya telah mencapai usia tua disisi kalian, maka janganlah kalian katakan kepada 'Ah', dan jangan kau hardik keduanya, dan berbicaralah kepada keduanya dengan ucapan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu disisi keduanya dalam berkasih sayang, dan katakanlah; wahai Rabbku kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya telah mengasihku sewaktu kecil."
[ QS Al-Isro ayat 23-24 ]
Maka dari dua ayat dia atas diketahui bahwa hukum berbuat baik kepada kedua orang tua adalah wajib. Karena dalam ayat (wa bil walidaini ihsana) adaah sebuah perintah dalam bentuk khobar. Dan perintah hukum asalnya memberikan konsekuensi kewajiban.
KEUTAMAAN DAN KEDUDUKAN BIRRUL WALIDAIN
1. Birrul walidain termasuk amalan yang paling besar dan paling dicintai Allah. Sebagaimana hadits Abdullah ibn Mas'ud radhiyallahu anhu, beliau berkata;
سألت النبي - صلى الله عليه وسلم: أيُّ العَمَلِ أحَبُّ إِلَى اللهِ تَعَالَى؟ قَالَ: «الصَّلاةُ عَلَى وَقْتِهَا»، قُلْتُ: ثُمَّ أي؟ قَالَ: «بِرُّ الوَالِدَيْنِ»، قُلْتُ: ثُمَّ أيٌّ؟ قَالَ: «الجِهَادُ في سبيلِ الله». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
"Aku bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam; amal apakah yang paling dicintai Allah ? Maka beliau menjawab ((Shalat pada waktunya)). Lalu apa ? Beliau menjawab ((Birrul walidain)). Aku katakan; lalu apa ? Beliau menjawab ((Jihad di jalan Allah))."
[ HR.Bukhari dan Muslim ]
2. Birrul walidain setara dengan jihad di jalan Allah, bahkan bisa jadi lebih utama daripada jihad di jalan Allah dalam beberapa kondisi. Seperti ketika pasukan kaum muslimin sudah mencukupi tanpa tambahan kita. Dalilnya adalah hadits Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu anhu berkata;
أقبلَ رَجُلٌ إِلَى نَبيِّ الله - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: أُبَايِعُكَ عَلَى الهِجْرَةِ وَالجِهَادِ أَبْتَغي الأجْرَ مِنَ الله تَعَالَى. قَالَ: «فَهَلْ لَكَ مِنْ وَالِدَيْكَ أحَدٌ حَيٌّ؟» قَالَ: نَعَمْ، بَلْ كِلاهُمَا. قَالَ: «فَتَبْتَغي الأجْرَ مِنَ الله تَعَالَى؟» قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: «فارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ، فَأحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ، وهذا لَفْظُ مسلِم
"Suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata; aku membaiatmu untuk hijrah dan jihad, aku mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala. Maka beliau bersabda ((Apakah engkau masih memiliki salah satu dari kedua orang tua yang masih hidup ?)) Orang tersebut menjawab; iya, bahkan keduanya masih hidup. Lalu beliau berkata lagi ((Lalu engkau ingin mendapatkan pahala dari Allah ?)) Orang itu mennjawab; iya. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda ((Kembalilah kepada kedua orang tuamu, dan perbaguslah dirimu dalam menemani mereka berdua))."
[ HR.Bukhari dan Muslim, dan ini dalam lafadz Muslim ]
3. Sebagaimana birrul walidain memiliki keutamaan yang besar dan berhukum wajib, maka durhaka kepada kedua orang tua hukumnya adalah haram. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ: عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنْعٍ وَهَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ: قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
"Sesungguhnya Allah Ta'ala mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu, mengubur anak perempuan, pelit namun meminta-minta kepada orang lain. Dan membenci dari kalian katanya dan katanya (menebar kabar burung), banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta."
[ HR.Bukhari (2408) ]
4. Durhaka kepada orang tua bukan hanya sekedar haram hukumnya, bahkan dia termasuk dosa besar. Sebagaimana dalam hadits Abu Bakrah Nufai' ibn Al--Harits radhiyallahu anhu berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
«ألا أُنَبِّئُكُمْ بأكْبَرِ الكَبَائِرِ؟» - ثلاثًا - قُلْنَا: بَلَى، يَا رَسُول الله، قَالَ: «الإشْرَاكُ بالله، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ»، وكان مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ: «ألاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ» فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
"((Maukah aku beri tahu kalian dosa besar yang paling besar ?)) -beliau ulangi tiga kali-, maka para sahabat menjawab; tentu saja wahai Rasulullah. Maka beliau bersabda ((Menyekutukan Allah Ta'ala, dan durhaka kepada kedua orang tua)) Lalu beliau beranjak dari tempat bersandarnya lalu duduk dan melanjutkan ((Ketahuilah, dan persaksian dusta)). Dan beliau mengulangi hal tersebut berkali-kali hingga kami berharap beliau diam tidak melanjutkan lagi."
[ HR.Bukhari dan Muslim ]
BENTUK BIRRUL WALIDAIN
Jika ditanya, bagaimanakah caranya birrul walidain kepada kedua orang tua ? Maka secara umum birrul walidain mencakup semua perbuatan baik kepada orang tua yang sudah ma'ruf diketahui. Serta mentaati perintah kedua orang tua selama bukan dalam ranah kemaksiatan. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta'ala;
{ وَإِن جَـٰهَدَاكَ عَلَىٰۤ أَن تُشۡرِكَ بِی مَا لَیۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمࣱ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِی ٱلدُّنۡیَا مَعۡرُوفࣰاۖ وَٱتَّبِعۡ سَبِیلَ مَنۡ أَنَابَ إِلَیَّۚ ثُمَّ إِلَیَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ }
"Dan jika kedua orang tua memaksamu untuk menyekutukan-Ku (Allah) yang kamu tidak memiliki ilmu dalam hal itu maka jangan patuhi mereka. Dan bersamailah keduanya di dunia dengan kebaikan yang ma'ruf (sudah diketahui secara adat). Dan ikuilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku lalu kepada-Ku lah tempat kembali kalian, lalu Aku akan beritahukan apapun yang sudah kalian kerjakan."
[ QS Lukman ayat 15 ]
Adapun secara rinci, maka ada beberapa kebaikan yang bisa kita berikan kepada orang tua. Dan penjelasannya sebagai berikut;
1. Berusaha untuk membersamai mereka jika memungkinkan. Jika tidak paling tidak harus ada waktu luang yang digunakan untuk menjenguk. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu berkata;
جاء رجل إِلَى رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ: يَا رَسُول الله، مَنْ أحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: «أُمُّكَ» قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «أُمُّكَ»، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «أُمُّكَ»، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: «أبُوكَ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
"Datang seseorang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata; wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak untuk aku berikan kebaikan saat membersamainya ?. Maka beliau bersabda ((Ibumu)). Lalu dia bertanya; siapa lagi ? Lalu beliau menjawab ((Ibumu)). Lalu dia bertanya lagi; lalu siapa lagi ? Lalu beliau menjawab ((Ibumu)). Lalu dia bertanya; lalu siapa lagi ? Beliau menjawab ((Ayahmu))."
[ HR.Bukhari dan Muslim ]
Bahkan kalaupun orang tua kita masih kafir, tetap berusaha kita membersamai mereka dan berbuat baik kepadanya. Sebagaimana hadits Asma binti Abi Bakr radhiyallahu anhu, beliau berkata;
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشركةٌ في عَهْدِ رسولِ الله - صلى الله عليه وسلم - فاسْتَفْتَيْتُ رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم - قُلْتُ: قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أفَأصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: «نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ». مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
"Suatu ketika datang kepadaku ibuku yang masih musyrik. Maka akupun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata; ibuku datang kepadaku, dan meminta bantuan kepadaku, apakah aku harus menyambutnya ?. Maka beliau bersabda ((Tentu, sambunglah hubunganmu dengannya))."
[ HR.Bukhari dan Muslim ]
2. Berbakti kepada orang tua dengan memanfaatkan potensi harta. Maka ini bisa dilakukan dengan beberapa cara. Diantara ketika memiliki kelebihan harta, adalah dengan menafkahi mereka, bahkan bisa menjadi wajib jika orang tua miskin sedang anaknya memiliki kelebihan harta setelah tercukupi nafkah dirinya dan keluarganya. Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ
"Sebaik-baik harta yang dimakan seseorang adalah dari hasil jerih payahnya, dan anaknya adalah hasil jerih payahnya."
[ HR.Ibnu Majah (2137), An-Nasai (4452) ]
3. Dengan mendoakan kedua orang tua, maka ini adalah bentuk berbakti dengan memanfaatkan potensi agama pada diri kita.
BATAS DURHAKA
Termasuk kerugian terbesar dalam hidup adalah, dia mendapati kedua orang tuanya masih hidup namun dia tidak bisa memaksimalkan birrul walidainnya kepada keduanya dan bertindak durhaka hingga wafat.
Sehingga keduanya tidak menjadi sebab dirinya masuk surga. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
«رغِم أنفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أنْفُ مَنْ أدْرَكَ أبَويهِ عِنْدَ الكِبَرِ، أَحَدهُما أَوْ كِليهمَا فَلَمْ يَدْخُلِ الجَنَّةَ». رواه مسلم.
"Celaka, lalu celaka, lalu celaka .. orang yang mendapati keduanya orang tuanya masih hidup saat sudah tua namun tidak menjadi sebab dia masuk surga."
[ HR.Muslim ]
Namun, sampai mana batasan sebuah perilaku itu disebut kedurhakaan kepada orang tua, yang dihukumi haram dan dosa besar ? Maka pengertian 'uqūq wālidain (durhaka pada orang tua), sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Shalāh Asy-Syafii (w.643 H) dalam fatwanya yang dinukil oleh Ibnul 'Aththōr menyatakan;
العقوق المحرم كل فعل يتأذى به الوالد أو نحوه تأذيًا ليس بالهين مع كونه ليس من الأفعال الواجبة
"Kedurhakaan yang haram adalah setiap perbuatan yang menyakiti orang tua atau semisalnya yang bukan dalam hal remeh (cukup menyakitkan) yang mana perbuatan tersebut bukan dalam ranah wajib dalam syariat."
[ Al-Uddah fi Syarh Umdah. Ibnul Aththor Asy-Syafii. Beirut, Dārul Basyāir Al-Islamiyyah. Cetakan pertama. Tahun 2006 ]
Hal yang senada juga diungkapkan oleh para ulama lainnya yang mana semua bermuara bahwa batas durhaka adalah perilaku tersebut sampai memberi dampak menyakiti orang tua dengan rasa sakit yang tidak ringan (laisa bil hayyin). Namun, sudut pandang ringan atapun tidak ini juga memiliki kemungkinan. Dari sudut pandang subjektif orang tua, atau sudut pandang keumuman manusia (urf). Ibnu Allan As-Syafii dalam Dalilul Falihin Syarah Riyadhus Shalihin (3/177) lebih condong kepada sudut pandang 'urf. Beliau berkata;
والذي يظهر أن المراد الثاني بدليل أنه لو أمر ولده بنحو فراق حليلته لم يلزمه طاعته وإن تأذى بذلك كثيراً، فعلمنا أنه ليس المناط وجود التأذي الكثير، بل أن يكون ذلك من شأنه أنه يتأذى به كثيراً
"Yang nampak maksudnya adalah yang kedua (sudut pandang 'urf), dengan alasan seandainya orang memerintah anaknya untuk mencerai istrinya, maka tidak wajib bagi si anak untuk mencerainya, meskipun hal tersebut berdampak sakit hati pada orang tua secara cukup mendalam. Maka, dari situ kita tahu bahwa ukurannya bukan sekedar rasa sakit yang besar, namun rasa sakit yang besar yang memang keumuman manusia pun akan merasakan yang sama."
DURHAKA KEPADA ORANG TUA YANG SUDAH MENINGGAL, ADAKAH JALAN BETAUBAT
Imam An-Nawawi rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini. Dimana si penanya berkata;
مسألة: إِذا كان الإنسان عاقًا لوالديه، وماتا ساخطين عليه فما طريقه إِلى إِزالة ذلك، وإِسقاط مطالبتهما له في الآخرة؟.
"Jika seseorang pernah durhaka kepada kedua orang tuanya, lalu keduanya meninggal dalam kondisi marah kepadanya, maka bagaimana cara untuk menghilangkan hal tersebut dan terlepas dari hukuman di akhirat ?"
Beliau pun memberikan jawabannya dengan mengatakan;
الجواب: أما مطالبتهما له في الآخرة فلا طريق إِلى إِبطالها، ولكن ينبغي له بعد الندم على ذلك، أن يُكثر من الاستغفار لهما والدعاء، وأن يتصدق عنهما إن أمكن، وأن يكرم من كانا يحبان إِكرامَه: من صديق لهما ونحوه، وأن يصلَ رَحِمَهما، وأن يقضي دَيْنهما (١)، أو ما تيسر له من ذلك (٢).
"Adapun hukuman di akhirat maka tidak ada solusi untuk menghapusnya. Akan tetapi hendaknya (setelah si anak menyesal atas kedurhakaannya) memperbanyak istighfar bagi kedua orang tuanya dan mendoakan keduanya, juga bersedekah atas nama keduanya jika memungkinkan, dan dan memuliakan orang-orang yang dulu dimuliakan oleh kedua orang tuanya, baik teman atau lainnya. Juga menyambung tali silaturahim orang tuanya, membayar semua hutang keduanya atau semampunya."
[ Fatawa An-Nawawi. Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Beirut, Dārul Basyāir Al-Islamiyyah. Cetakan keenam. Tahun 1996. Hal,96 ]
Maka, jika terasa ada perilaku kita yang menyakiti orang tua atau sudah masuk dalam batasan durhaka, segeralah meminta ridho kepada orang tua. Sebelum penghakiman di akhirat tidak bisa dihindari lagi.
Wallahu Ta'ala A'lam
Jombang, 11 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi
Klik https://linktr.ee/fiqhgram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar