Jumat, 19 Januari 2024

FIKIH KAIN SUTERA

 


Kain sutera memiliki hukum yang khusus dibandingkan dengan kain dengan bahan lainnya, dari suut pandang fikih Islam. Oleh karenanya kami akan menjelaskan hal ini dalam beberapa poin berikut;


Pertama, hukum asal memakai pakaian apapun dari kain yang berbahan sutera adalah terlarang. Landasannya adalah hadits Hudzaifah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لا تَلْبَسُوا الحَرِيرَ ولَا الدِّيبَاجَ، ولَا تَشْرَبُوا في آنِيَةِ الذَّهَبِ والفِضَّةِ، ولَا تَأْكُلُوا في صِحَافِهَا؛ فإنَّهَا لهمْ في الدُّنْيَا، ولَنَا في الآخِرَةِ
"Janganlah kalian memakai sutera (harir ataupun dibaj), dan janganlah kalian meminum dari wadah emas dan perak, serta jangan makan darinya. Karena semua ini bagi orang kafir di dunia, dan untuk kita kaum muslimin di akhirat kelak."
[ HR.Bukhari (5426) ]

Kedua, yang dimaksud dengan kain sutera yang terlarang dalam pemabahasan fikih Islam adalah kain yang dibuat dari benang ulat sutera. Adapun jika dibuat dari bahan lain, maka tidak terlarang. Meskipun dinamai kain sutera atau silk.


Ketiga, keharaman ini hanya berlaku bagi laki-laki saja. Adapun untuk wanita maka diperbolehkan memakai sutera secara mutlak. Sebagaimana hadits Ali radhiyallah anhu beliau berkata;

إنَّ نبيَّ اللهِ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ أخذ حريرًا فجعلَه في يمينِه ، وأخذ ذهبًا فجعلَه في شمالِه ، ثم قال : إنَّ هذيْنِ حرامٌ على ذكورِ أمتي
"Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam memegang sutera dan meletakkan di tangan kanan beliau, lalu mengambil emas dan meletakkan di tangan kirinya, lalu bersabda ((Dua hal ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku))."
[ HR.Abu Dawud (4057) ]

Imamul Haramain dan Imam Al-Ghozali menyebutkan, ta'lil (alasan hukum) haram bagi laki-laki dan boleh bagi wanita, karena kain sutera dan pakaiannya identik dengan wanita dan kelembutannya, dan bertentangan dengan sifat maskulin pria (syahamah).


Keempat, larangan yang sudah disebutkan berlaku bagi kain yang secara utuh semuanya terbuat dari benang ulat sutera. Namun, jika kain tersebut bahannya campuran antara benang non sutera dengan benang sutra, maka dia memiliki dua kondisi;


a. Kalau berat bahan suteranya lebih berat, maka maka diharamkan kain tersebut dipakai oleh laki-laki.

 
b. Kalau bahan non suteranya lebih berat daripada suteranya, atau memiliki berat yang sama maka kain ini boleh dipakai laki-laki.

Dan ukuran berat ini dengan diperkirakan sendiri saja; dengan melihat dari sisi intensitas benang sutra yang dipakai di kain itu. Jika ragu apakah suteranya lebih berat atau lebih ringan, maka hukum asalnya boleh. Landasan dari hal ini adalah hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma;

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الثوب المصمت من الحرير
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari kain sutera yang mushommat (yang murni dari benang sutera saja)."
[ HR.Abu Dawud (4055) ]

Kelima, jika kain murni dari sutera, lalu ingin digunakan sebagai tambahan bahan di pakaiannya yang bukan sutera, maka diperbolehkan, namun dengan syarat; maksimal lebarnya hanya 4 jari saja. Dalilnya hadits Umar radhiyallahu anhu berkata;

نَهَى نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ عن لُبْسِ الحَرِيرِ إلَّا مَوْضِعَ إصْبَعَيْنِ، أَوْ ثَلَاثٍ، أَوْ أَرْبَعٍ
"Nabi shallallahu alaih wa sallam melarang dari memakai sutera, kecuali seukuran dua jari, atau tiga jari, atau empat jari."
[ HR.Muslim (2069) ]


Sedangkan pembatasan ukuran empat jari ini, para fuqoha berbeda pendapat. Dan menurut Al-Halabi juga Al-Bujairimi, hitungan empat ini dilihat dari sisi lebar, adapun panjang maka tidak masalah lebih dari itu. Sebagaimana disebutkan dalam Busyrol Karim.


Keenam, jika kain sutera hanya digunakan untuk pelipit di bagian-bagian ujung pakaian, maka diperbolehkan dengan batas yang wajar. Sebagaimana hadits Abdullah Abu Amr maula (budak yang sudah dibebaskan) Asma binti Abi Bakr radhiyallahu anha berkata;

رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ فِي السُّوقِ اشْتَرَى ثَوْبًا شَامِيًّا، فَرَأَى فِيهِ خَيْطًا أَحْمَرَ فَرَدَّهُ، فَأَتَيْتُ أَسْمَاءَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ : يَا جَارِيَةُ، نَاوِلِينِي جُبَّةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَخْرَجَتْ جُبَّةَ طَيَالِسَةٍ مَكْفُوفَةَ الْجَيْبِ وَالْكُمَّيْنِ وَالْفَرْجَيْنِ بِالدِّيبَاجِ
"Aku melihat Ibnu Umar di pasar membeli pakaian dari Syam, dan dia melihat ada jahitan benang merah (dari sutera) di kain tersebut, maka dia tidak mau. Lalu saya datangi Asma' dan aku menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka berkata kepada budak perempuannya: Tolong ambilkan jubbahnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka budak perempuan itu pun mengeluarkan jubah yang bagian krah baju, lengan baju, dan bagian depan baju, di beri pelipit dengan sutera."
[ HR.Abu Dawud (4054) ]


Ketujuh, jika benang sutera hanya digunakan untuk menjahit pakaian, atau semacam bordiran, maka tidak mengapa.


Kedelapan, larangan memakai kain sutera bagi lelaki ini juga berlaku untuk alas duduknya. Adapun wanita, maka  untuk alas duduk ada dua pendapat dalam madzhab Syafii, dan pendapat yang shahih adalah diperbolehkan bagi wanita untuk duduk di atas kain sutera. .Sebagaimana hal ini dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam Minhajut Tholibin-nya. Dalil dalam masalah ini, adalah lafadz lain dari hadits Hudzaifah radhiyallahu anhu yang mengatakan;

نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَشْرَبَ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَأَنْ نَأْكُلَ فِيهَا، وَعَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ ، وَأَنْ نَجْلِسَ عَلَيْهِ
"Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang kami minum dan makan dari wadah emas dan perak, dan melarang memakai sutera ataupun duduk di atasnya."
[ HR.Bukhari (5837) ]


Kesembilan, untuk anak-anak yang belum baligh maka diperbolehkan memakai sutera; meskpun dia laki-laki. Sebagaimana Ibnu Hajar Al-Haitami menyampaikan;

(أَنَّ لِلْوَلِيِّ إلْبَاسَهُ) أَيْ الْحَرِيرِ (الصَّبِيَّ) وَلَوْ مُمَيِّزًا، إذْ لَيْسَ لَهُ شَهَامَةٌ تُنَافِي خُنُوثَةَ الْحَرِيرِ وَلِعَدَمِ تَكْلِيفِهِ
"Dan boleh bagi wali untuk memakaikan pakaian sutera bagi anak-anak meskipun sudah mumayyiz; karena tidak ada sisi syahamah (sifat kejantanan pria) padanya ketika memakai sutera, serta anak-anak pun belum diberikan beban taklif hukum syari."
[ Mughnil Muhtaj. (1/582) ]


Kesepuluh, diperbolehkan penggunaan sutera untuk kiswah Ka'bah. Syaikh Said Ba'asyan menyampaikan;


و) يحل (الحرير للكعبة) أي: سترها به إن خلا عن نقد، سواء الديباج وغيره؛ لفعل السلف والخلف
"Dan halal pemakaian sutera untuk Ka'bah jika tidak ada emasnya; karena hal tersebut sudah diketahui sejak zaman salaf dan kholaf."
[ Busyrol Karim (hal.413) ]


Kesebelas, jika sutera ditutupi dengan sesuatu lalu dijadikan sebagai alas, bantal, atau yang semisalnya; maka diperbolehkan. Syaikh Said Ba'asyan mengatakan;


(و) يحل (حشو) لنحو مخدة وجبة وكوفية بالحرير؛ لاستتاره بالثوب كإناء نقد غشي بغيره، فيحل استعمالها؛ لأنه لا يعد مستعملاً لحرير
"Dan halal mengisi bantal atau jubah dengan sutera, karena sutera tertutpi dengan kain lainnya. Hal ini seperti wadah yang terbuat dari emas, lalu ditutupi dengan bahan lainnya; maka boleh dipakai. Karena ketika ditutupi suteranya, secara adat (urf) tidak dikatakan dia sedang memakai sutera."
[ Busyrol Karim (hal.414) ]


Keduabelas, diharamkan juga menghias rumah atau tempat-tempat tertentu dengan kain sutera yang terlarang; baik pemakai rumah itu laki-laki atau wanita. Syaikh Said Ba'asyan mengatakan;


ويكره تزيين البيوت ولو لغير ذكر، حتى مشاهد الصلحاء، والمساجد بالثياب غير الحرير، ويحرم به وبالصور؛ لعموم الأخبار
"Dan dimakruhkan menghias rumah (meski bukan laki-laki), atau kuburan orang sholeh, atau masjid-masjid dengan kain-kain selain sutera. Adapun kalau menggunakan kain sutera atau kain bergambar makhluk bernyawa; maka hukumnya haram karena banyak riwayat dalam hal ini."
[ Idem ]


Wallahu Ta'ala A'lam


Jombang, 20 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi

https://linktr.ee/fiqhgram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar