Kamis, 11 Januari 2024

MADZHAB SYAFII, SHALAT, DAN KUBURAN

 


Membicarakan antara shalat dan kuburan dari sisi fikih, maka terjadi dalam dua pembahasan besar.

Pertama, masalah shalat di komplek pemakaman. Maka dalam hal ini, landasan pembahasan adalah hadits Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ، إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
"Bumi seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan pemandian."
[ HR.Abu Dawud (492), At-Tirmidzi (317), Ibnu Majah (745) ]


Maka para ulama pun bersilang pendapat tentang hukumnya. Pendapat pertama menyatakan hukumnya adalah haram, dan ini pendapat Hanabilah. Sedangkan pendapat kedua menghukuminya makruh dan shalatnya pun tetap sah, dan ini pendapat madzhab Syafii dan kebanyakan dari para ulama. Alasannya, karena memandang larangan disini ta'lilnya adalah kemungkinan adanya najis yang ada di tanah kuburan. Karena kuburan tanahnya bercampur dengan bangkai manusia; yang ada darah, nanah, dan najis lainnya. Dan shalatnya tidak sah.


Oleh karenanya, kemakruhan ini berlaku jika memenuhi beberapa syarat berikut;

a. Kuburan tersebut adalah kuburan baru yang belum dibalik tanahnya (tanah yang digunakan untuk mengubur jenazah belum digunakan untuk mengubur jenazah), atau dalam istilah fikih disebut ghoiru manbusyah. Maka jika kuburan tersebut sudah dibalik, hukumnya haram karena shalat di tempat najis. Berkata Imam Ar-Rofi'i;


المقبرة إن كانت نجسة لاختلاطها بصديد الموتى وما يخرج منهم فلا تجوز الصلاة فيها، وكذلك الحمام إن اشتمل على البول والدم والأنجاس، وإن كانا طاهرين فتجوز الصلاة مع كراهة
"Kuburan jik najis karena bercampur dengan nanah mayit dan kotoran yang keluar darinya; maka tidak boleh shalat disitu. Demikian juga pemandian yang tercampur dengan tempat kencing, darah, dan najis lainnya. Namun jika keduanya (kuburan dan  pemandian) suci, maka boleh shalat disitu namun makruh."
[ Syarah Musnad Syafii. Imam Ar-Rofi'i. (1/207) ]

b. Shalat yang dilakukan langsung di atas tanah kuburan. Maka apabila tanah kuburan sudah ditutupi oleh keramik, batu, atau semisalnya dan dia shalat di atasnya, hukumnya mubah tanpa ada kemakruhan. Ibnu Roslam mengatakan;


النجسَة لا تصَح الصَّلاة فيهَا إلَّا أن يَكون بَينَهُ وبَينها حَائل. قال النوَوي وغيرهُ: إن تحقق نبشها لمْ تصَحّ صَلاته فيهَا بلا خلاف إذا لم يَبسُط تحته شَيئًا، وإن تحقق عَدَم نبشها صَحت بلا خلاف، وهي مكروهة كراهة تنزيه، وإن شك في نبْشها فالأصح الصحة مَعَ الكرَاهَة
"(Kuburan) yang najis tdak sah shalat disana; kecuali jika ada penghalang antara dirinya dengan tanah kuburan. Berkata Imam Nawawi dan selainnya: (Jika dipastikan kuburan itu sudah dibalik tanahnya, maka tidak sah shalat disana tanpa ada khilaf, jika tidak dihamparkan dibawahnya sesuatu. Dan jika dipastikan tidak di balik tanahnya, maka sah tanpa ada khilaf juga, akan tetapi makruh tanzih. Jika ragu apakah tanah sudah dibalik atau belum, maka tetap sah shalat namun tetap makruh."
[ Syarah Sunan Abi Dawud. Ibnu Roslan. (3/353) ]


Kedua, permasalahan shalat menghadap ke arah kuburan. Landasan pembahasan disini, adalah hadits Abu Martsad radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alalihi wa sallam bersabda;

لَا تَجْلِسُوا  عَلَى الْقُبُورِ وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
"Janganlah kalian duduk di atas kuburan, dan janganlah shalat ke arahnya."
[ HR. Muslim (972) ]

Maka disini pun ada dua pendapat dari para ulama. Pendapat pertama menghukumi makruh, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama Syafiiyyah dan lainnya. Sebagaimana larangan ini bersifat makruh, telah dinukil oleh Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim;

فيه تصريح بالنهى عن الصلاة إلى القبر قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ وَأَكْرَهُ أَنْ يُعَظَّمَ مَخْلُوقٌ حَتَّى يُجْعَلَ قَبْرُهُ مَسْجِدًا مَخَافَةَ الْفِتْنَةِ عَلَيْهِ وَعَلَى مَنْ بَعْدَهُ مِنَ النَّاسِ
"Dalam hadits ini adalah kejelasan larangan shalat menghadap ke arah kubur. Berkata As-Syafii; (Dan aku benci makhluk diagungkan hingga kuburannya dijadikan masjid, karena khawatir fitnah untuk dirinya dan orang setelahnnya dari manusia)."
[ Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim. (7/38) ]

Jika dikatakan, maksud dari ucapan Imam Syafii akrohu (aku memakruhkan) maksudnya haram, maka pemahama para ulama Syafiiyah dalam memahami ucapan Imam Syafii tidak maksudnya haram, namun memang benar makruh. Sebagaimana pepatah mengatakan, 'Orang lebih faham dengan jalan-jalan di Makkah.' Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu';

ِ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَتُكْرَهُ الصَّلَاةُ إلَى الْقُبُورِ  سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ صَالِحًا أَوْ غَيْرَهُ قَالَ الْحَافِظُ أَبُو مُوسَى قَالَ الْإِمَامُ أَبُو الْحَسَنِ الزعفراني رحمه الله ولا يصلي إلي قبر وَلَا عِنْدَهُ تَبَرُّكًا بِهِ وَإِعْظَامًا لَهُ لِلْأَحَادِيثِ والله أعلم
"Berkata Imam Syafii dan para ulama Syafiiyyah; dimakruhkan shalat menghadap ke arah kuburan. Sama saja apakah kuburan itu kuburan orang shalih atau bukan. Berkata Al-Hafidz Abu Musa, berkata Abul Hasan Az-Za'farani (murid Imam Syafii -edt); Dan tidak boleh shalat menghadap kubur atau disisinya dan memuliakan kuburan karena adanya hadits. Wallahu A'lam."
[ Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab. Imam Nawawi. (5/316-317) ]

Lantas bagaimana dengan hadits Aisyah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alihi wa sallam bersabda pada saat beliau sakit menjelang wafatnya;

لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؛ اتَّخَذُوا قُبُورَ  أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا
"Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani; mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat sujud."
[ HR. Bukhari (1330) ]

Juga haditsnya Jundub radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda sebelum wafat;

أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
"Ketahuilah, sesungguhnya orang sebelum kalian menjadikan kuburan nabi-nabi mereka dan kuburan orang shalih mereka menjadi tempat sujud. Ketahuilah, maka jangan kalian jadikan kuburan-kuburan menjadi masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari hal tersebut."
[ HR.Muslim (532) ]

Maka Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqolani mengatakan dalam Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari;

وَقَالَ الْبَيْضَاوِيُّ لَمَّا كَانَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى يَسْجُدُونَ لِقُبُورِ الْأَنْبِيَاءِ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِمْ وَيَجْعَلُونَهَا قِبْلَةً يَتَوَجَّهُونَ فِي الصَّلَاةِ نَحْوَهَا وَاتَّخَذُوهَا أَوْثَانًا لَعَنَهُمْ وَمَنَعَ الْمُسْلِمِينَ عَنْ مِثْلِ ذَلِكَ فَأَمَّا مَنِ اتَّخَذَ مَسْجِدًا فِي جِوَارٍ صَالِحٍ وَقَصَدَ التَّبَرُّكَ بِالْقُرْبِ مِنْهُ لَا التَّعْظِيمَ لَهُ وَلَا التَّوَجُّهَ نَحْوَهُ فَلَا يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ الْوَعيد
"Dan berkata Al-Baidhow; ketika orang Yahudi dan Nashrani sujud kepada kuburan para nabi, sebagai wujud pemuliaan kepada mereka, dan menjadikan kuburan itu kiblat dimana mereka shalat menghadap ke kuburan itu, dan menjadikan kuburan itu berhala-berhala. Maka Allah melaknat mereka, dan melarang kaum muslimin meniru hal itu. Adapun orang yang menjadikan masjid di sisi kuburan orang shalih, dengan maksud tabarruk ketika dekat dengannya, bukan maksud pemuliaan kepadanya, maka tidak masuk dalam ancaman tersebut."
[ Fathul Bari. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqqolani. (1/525) ]

Kami katakan; kendati demikian laknat memberikan implikasi hukum haram. Maka taruhlah hukum haram tidak berlaku disini, paling tidak kemakruhan masih tetap ada sebagaimana yang dijelaskan secara gamblang oleh ucapan Imam Syafii sendiri serta ulama madzhab lainnya. Wallahu A'lam.

Pendapat kedua dalam masalah ini, hukum shalat menghadap kuburan adalah haram dan bukan makruh. Dan ini adalah pendapat sebagian ulama Syafiiyyah, serta pendapat madzhab lain seperti Hanabilah. Diantara ulama Syafiiyyah yang berpendapat haram adalah Ibnu Mulaqqin dalam Al-Ilmam mengatakan;

فيه تحريم الصلاة إلى القبور  وإن لم يقصد  الشافعية فجزموا بالكراهة. والحديث الصحيح السالف "لا تصلوا إليها" ظاهر في التحريم، وكذا هذا أيضاً وغيره من الأحاديث
"Dalam hadits ini (hadits Aisyah -edt) ada faedah keharaman shalat menghadap ke kuburan, meskipun tidak bermaksud menghadap ke kuburan tersebut, meskipun ulama Syafiiyyah menetapkan hukumnya makruh. Dan hadits shahih yang terdahulu ((Jangan shalat menghadapnya)) jelas sekali dalam penetapan haram. Demikian hadits ini (hadits Aisyah -edt) dan selainnya dari hadits."
[ Al-I'lām bi Fawāid Umdatil Ahkam. Ibnu Mulaqqin. (4/520-521) ]

Demikian juga Ibnul 'Aththtor murid Imam Nawawi dalam Al-Uddah mengatakan;

وفيه: تحريم السجود إلى القبور،  والصلاة إليها، وإن لم يقصد تعظيمها، والله أعلم
"Dan dalam hadits ini ada faedah keharaman sujud ke arah kuburan, serta shalat kepadanya, meskipun tidak bermaksud memuliakan kuburan tersebut. Wallahu A'lam.
[ Al-Uddah fi Syarhil Umdah. Ibnul 'Aththor. (2/789) ]

Kami sendiri lebih condong ke hukum haram ini, sebagai bentuk kehati-hatian. Dan juga sebagai wujud keluar dari khilaf sebagaimana telah tetap dalam kaidah fikih, 'keluar dari khilaf adalah disukai.' Namun, dalam dua kondisi; entah hukumnya haram atau makruh sepakat dalam madzhab Syafii dan lainnya dari para ulama, menghukumi shalat yang dilakukan tetaplah sah secara fikih.
Sebagaimana hal itu disebutkan secara jelas oleh Imam Syafii sendiri yang diriwayatkan oleh muridnya Imam Al-Muzani yang mengatakan;

وإنْ صَلَّى فوق قَبْرٍ أو إلى جَنْبِه  لم يُنْبَش .. أجزأه
"Dan jika tetap shalat di atas kubur, atau ke arah kubur, atau disisi kubur yang belum dibalik tanahnya ... sah shalatnya."
[ Mukhtashor Al-Muzani. Imam Al-Muzani. Tahqiq Ad-Daghistāni. (1/115) ]
.
Wallahu Ta'ala A'lam.
.
Jombang, 11 Januari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi

Klik https://linktr.ee/fiqhgram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar