Di bulan Sya’ban ini ada beberapa hal yang patutnya kita perhatikan sebagai seorang muslim. Ada amalan yang bisa kita amalkan, ada ilmu yang bisa kita terapkan, dan ada kesempatan untuk lebih matang dalam menyambut datangnya Ramadhan. Diantaranya adalah;
Pertama, manfaatkan bulan Sya’ban untuk kembali memurojaah dan mengulang pengetahuan kita berkenaan dengan fikih puasa dan ibadah Ramadhan. Dimana Ramadhan sudah dihadapan kita, maka sebelum beramal, persiapkan ilmu untuk beramal. Agar Ramadhan menjadi lebih bermakna dan berkesan, serta dilandaskan dengan ilmu; bukan sekedar memperkirakan sendiri.
Kedua, kita bisa manfaat bulan Sya’ban untuk memperbanyak puasa sunnah. Sebagaimana dalam hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu anhuma, berkata;
“Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam sebulan melebihi puasamu di bulan Sya’ban ?” Maka beliau pun menjawab;
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Itu adalah bulan dimana banyak manusia yang lalai darinya; karena terletak antara bulan Rajab dan Ramadhan. Sedangkan Sya’ban adalah bulan dimana amal-amal diangkat pada saat itu ke sisi Rabb semesta alam. Maka aku suka jika amalku diangkat dalam kondisi aku sedang puasa.”
[ HR.An-Nasai (2357), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya (9765), Ahmad dalam Musnad-nya (21753) ]
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu anha beliau mengatakan;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa berpuasa sehingga kami mengira beliau tidak pernah berbuka, dan beliau senantiasa berbuka sehingga kami mengira beliau tidak pernah berpuasa. Dan tidak pernah aku melihat beliau puasa satu bulan penuh kecuali saat Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak puasa dibandingkan bulan Sya’ban.”
[ HR.Bukhari (1969), Muslim (1156) ]
Ketiga, ketika sudah memasuki bulan Sya’ban maka hendaknya tidak berpuasa sunnah; kecuali bagi orang yang memiliki kebiasaan puasa sunnah sebelumnya atau memiliki hutang puasa. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallah anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلا تَصُومُوا -و في لفظ- فَكُفُّوا عَنِ الصَّوْمِ
“Jika sudah memasuki pertengahan Sya’ban maka janganlah berpuasa.” -dalam riwayat lain- “Tahanlah diri kalian dari berpuasa.”
[ HR.Abu Dawud (2337), An-Nasai dalam Sunan Kubro-nya (2923), dishahihkan oleh Al-Arnauth ]
Dalam riwayat Tirmidzi (738) dan beliau katakan, “hadits hasan shahih”, lafadznya;
إِذَا بَقِيَ نِصْفٌ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُومُوا
“Jika tersisa setengah bulan Sya’ban maka jangan puasa.”
Dan sebagaimana yang sudah disebutkan, larangan ini berlaku kecuali bagi orang yang terbiasa puasa sunnah sebelumnya dan orang yang punya hutang puasa Ramadhan. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا، فَلْيَصُمْهُ
“Jangan dahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya; kecuali orang yang sudah terbiasa sebelumnya maka silahkan dia berpuasa.”
[ HR. Muslim (1082) dan ini lafadznya, Bukhari (1914) ]
Dalam hadits Abu Hurairah juga bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلا تَصُومُوا، وَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ صَوْمٌ مِنْ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدِ الصَّوْمَ فَلا يَقْطَعْ
“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban maka jangan puasa. Dan siapa yang masih punya hutang puasa Ramadhan, maka hendaknya tetap dia bayar puasa dan jangan putus (sampai lunas -edt).”
[ HR. Abu Awanah dalam Mustakhraj-nya (2713) ]
Keempat, bulan Sya’ban adalah garis terakhir bagi orang yang masih memiliki hutang puasa. Maka, bagi siapapun yang masih memiliki hutang puasa dan tidak ada udzur, wajib dia bayar di bulan Sya’ban sebelum datangnya bulan Ramadhan. Sebagaimana hadits Aisyah radhiyallahu anha beliau berkata;
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلا فِي شَعْبَانَ
“Dahulu aku memiliki hutang puasa Ramadhan, lalu aku tidak bisa mengqadhanya kecuali ketika di bulan Sya’ban.”
Dan konsekuensi orang yang tidak mengqodho hingga datang Ramadhan berikutnya, padahal dia tidak memiliki udzur; maka wajib baginya untuk menambah membayar fidyah (disamping tetap harus mengqodho). Sebagaimana fatwa Abu Hurairah radhiyallah anhu;
يَصُومُ هَذَا مَعَ النَّاسِ وَيَصُومُ الَّذِي فَرَّطَ فِيهِ , وَيُطْعِمُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“Berpuasa bersama manusia, lalu dia qodho puasanya yang dia belum qodho, dan dia membayar fidyah.”
[ HR.Ad-Daraquthni (2344) dan dishahihkannya, Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya (8213) ]
Demikian juga fatwa Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma;
مَنْ فَرَّطَ فِي صِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى يُدْرِكَهُ رَمَضَانُ آخَرُ فَلْيَصُمْ هَذَا الَّذِي أَدْرَكَهُ , ثُمَّ لِيَصُمْ مَا فَاتَهُ وَيُطْعِمُ مَعَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“Siapa yang tidak puasa Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya, hendaknya dia puasa Ramadhan tersebut, lalu dia qodho, dan dia membayar fidyah.”
[ HR.Ad-Daraquthni (2347), Al-Baihaqi dalam Sunan Kubro-nya (8211) ]
Kelima, dianjurkan secara khusus menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan ibadah seperti dzikir, membaca Al-Quran, shalat sunnah, atau semisalnya. Meski dalam hal ini, ada sedikit khilaf (perselisihan pendapat) dikalangan para ulama. Landasan dalam hal ini, diantaranya hadits Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata;
يَطْلُعُ اللَّهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah melihat kepada makhluk-Nya pada malam pertengahan Sya’ban, lalu Dia mengampuni seluruh dosa makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”
[ HR.Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (5665), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid (48), dihasankan oleh Al-Albani dan dishahihkan oleh Al-Arnauth ]
Dalam riwayat yang lain dari hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Sesungguhnya Alah turun di malam pertengahan Sya’ban ke langit dunia, lalu Dia mengampuni banyak dari makhluknya melebihi jumlah bulu kambing.”
[ HR.Tirmidzi (739), Ibnu Majah (1389) ]
Sedangkan dalam hadits Ali radhiyallahu;
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا
“Jika malam nisfu Sya’ban, maka bangunlah shalat malam dan berpuasalah di siang harinya.”
[ HR.Ibnu Majah (1388) ]
Al-Hafidz Ibnu Rojab Al-Hanbali dalam kitabnya Lathoif Ma’arif (hal.137) mengatakan;
وليلة النصف من شعبان كان التابعون من أهل الشام كخالد بن معدان ومكحول ولقمان بن عامر وغيرهم يعظمونها ويجتهدون فيها في العبادة وعنهم أخذ الناس فضلها وتعظيمها وقد قيل أنه بلغهم في ذلك آثار إسرائيلية فلما اشتهر ذلك عنهم في البلدان اختلف الناس في ذلك فمنهم من قبله منهم وافقهم على تعظيمها منهم طائفة من عباد أهل البصرة وغيرهم وأنكر ذلك أكثر علماء الحجاز منهم عطاء وابن أبي مليكة ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة وهو قول أصحاب مالك وغيرهم وقالوا: ذلك كله بدعة
“Dan malam nisfu Sya’ban maka para tabi’in negeri Syam seperti Kholid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir, dan lainnya mengagungkannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di dalamnya. Dan kaum muslimin pun mengikuti mereka , dan ada yang mengatakan dalam hal ini ada riwayat Israiliyat. Dan ketika perkara ini menjadi masyhur di berbagai negeri; maka mulailah tampak ada perselisihan. Ada yang setuju dalam menghidupkan malam tersebut dengan ibadah seperti para ahli ibadah penduduk Basrah. Dan para ulama Hijaz mengingkari hal tersebut, seperti ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang menukil dari fuqoha Madinah. Dan ini pendapat ulama Malikiyyah dan selainnya, dan mereka mengatakan; ini perbuatan bid’ah.”
Adapun menghidupkan malam nisfu Sya’ban dengan ibadah-ibadah khusus yang tidak ada riwayatnya sama sekali; seperti shalat alfiyah atau shalat 100 rakaat, maka tidak ada landasannya sama sekali bahkan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab (4/56) menyebutnya dengan istilah bi’ah dan munkar (baca disini ).
Ketujuh, memperbanyak membaca Al-Quran. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan;
كَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا دَخَلَ شَعْبَانُ أَكَبُّوا عَلَى الْمَصَاحِفِ وَأَخْرَجُوا الزَّكَاةَ وَدَعَا الْوُلَاةُ أهل السجون
“Dahulu kaum muslimin jika memasuki bulan Sya’ban, mereka fokus pada mushaf Al-Quran, mengeluarkan zakat, dan para pemimpin memanggil orang-orang yang dipenjara.”
[ Fathul Bari (13/311) ]
Wallahu Ta'ala A'lam
Jombang, 23 Februari 2024
Abu Harits Danang Santoso Al-Jawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar