Senin, 26 Februari 2024

PUASA IBU HAMIL DAN MENYUSUI

 

Ada tiga kondisi yang berkaitan dengan wanita hamil dan menyusui dalam hal puasa:

Kondisi Pertama:

Jika wanita hamil dan menyusui hanya khawatir pada diri mereka sendiri, bahwa puasa akan membahayakan mereka, tanpa membahayakan janin atau bayi,

maka mereka boleh berbuka puasa dan hanya perlu menggantinya di kemudian hari tanpa membayar fidyah.

Hal ini dikarenakan kondisinya sama dengan orang sakit, sehingga termasuk dalam firman Allah:

فمن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

"Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya) mengganti pada hari-hari yang lain."

(QS. Al-Baqarah: 184).

Syaikh Syubramilisi mengatakan:

ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﻓﻲ اﻋﺘﻤﺎﺩ اﻟﺨﻮﻑ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻣﻦ ﺇﺧﺒﺎﺭ ﻃﺒﻴﺐ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﺪﻝ ﻭﻟﻮ ﺭﻭاﻳﺔ ﺃﺧﺬ ﻣﻤﺎ ﻗﻴﻞ ﻓﻲ اﻟﺘﻴﻤﻢ.

“Dalam menetapkan risiko tersebut, diharuskan untuk berkonsultasi dengan dokter muslim yang adil, …"

Kondisi Kedua:

Jika wanita hamil khawatir pada janinnya atau wanita menyusui khawatir pada bayinya,

maka disebutkan dalam kitab al-I'ab:

ولو كان ﺣﺮﺑﻴﺎ ﻋﻠﻰ اﻷﻭﺟﻪ ﻷﻧﻪ ﻣﺤﺘﺮﻡ ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻤﺎ ﻳﻘﺘﻀﻴﻪ ﻛﻼﻡ اﻟﺰﺭﻛﺸﻲ.

"Meskipun bayinya non-Muslim, karena bayinya dihormati. Ini berbeda dengan pendapat Zarkasyi."

Tidak disyaratkan bahwa wanita menyusui adalah ibu kandung bayi.

Ibn Hajar berkata:

ﻭﻟﻮ ﻣﻦ ﺗﺒﺮﻋﺖ ﺑﺈﺭﺿﺎﻋﻪ ﺃﻭ اﺳﺘﺆﺟﺮﺕ ﻟﻪ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﺗﺘﻌﻴﻦ ﺑﺄﻥ ﺗﻌﺪﺩﺕ اﻟﻤﺮاﺿﻊ ﻛﻤﺎ ﺻﺮﺡ ﺑﻪ ﻓﻲ اﻟﻤﺠﻤﻮﻉ

"Meskipun dia adalah wanita sukarela yang menyumbangkan ASI atau dipekerjakan untuk menyusui, dan meskipun ada banyak wanita yang menyusui dia."

sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu’.

Dalam kondisi ini, jika mereka berbuka puasa, mereka harus mengganti puasa dan membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk setiap hari yang ditinggalkan.

Hal ini karena mereka berbuka puasa dengan sengaja dan manfaatnya dirasakan oleh dua orang (ibu dan anak-pen).

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata:

ﻧﺴﺨﺖ ﻫﺬﻩ اﻵﻳﺔ ﻭﺑﻘﻴﺖ ﻟﻠﺸﻴﺦ اﻟﻜﺒﻴﺮ ﻭاﻟﻌﺠﻮﺯ ﻭاﻟﺤﺎﻣﻞ ﻭاﻟﻤﺮﺿﻊ ﺇﺫا ﺧﺎﻓﺘﺎ ﺃﻓﻄﺮﺗﺎ ﻭﺃﻃﻌﻤﺘﺎ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ

"Ayat ini telah dihapuskan, dan yang tersisa adalah untuk orang tua yang lemah, wanita hamil, dan wanita menyusui, jika mereka khawatir, mereka berbuka puasa dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari."

(HR. Abu Dawud dengan sanad hasan).

Kekhawatiran pada anak karena ASI terhenti sehingga membahayakan bayi, maka diperbolehkan untuk berbuka puasa.

Sedangkan khawatir pada kehamilan adalah takut keguguran.

Fidyah untuk wanita hamil dan wanita menyusui dibayarkan dari hartanya sendiri, meskipun dia dipekerjakan untuk menyusui.

Fidyah tidak dikalikan dengan jumlah anak karena fidyah adalah pengganti puasa,

Kondisi Ketiga:

Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada diri mereka sendiri dan juga pada janin atau bayi,

maka dalam hal ini mereka hanya perlu mengganti puasanya tanpa membayar fidyah.

Hal ini karena dua alasan:

Pertama:
Kekhawatiran pada anak terjadi sebagai akibat dari kekhawatiran pada diri sendiri.

Kedua:
Kekhawatiran pada anak mengharuskan fidyah seperti pada kondisi kedua, sedangkan kekhawatiran pada diri sendiri menghalangi dia dari membayar fidyah seperti pada kondisi pertama.

Ketika alasan yang mengharuskan dan menghalangi bertemu, maka yang menghalangi biasanya didahulukan.

Wallahu A’lam

***

🔗 Diterjemahkan secara bebas dengan beberapa penyesuaian dari tulisan Syaikh Said al-Jabiry -حفظه الله- (https://t.me/saeed_algabry/4839)
✍️ Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar