Sabtu, 29 Juni 2024

,

Pertanyaan:

Bismillah ahsanallahu ilaikum ustadz. Apakah dalam madzhab Syafi'i boleh berdoa menggunakan bahasa Indonesia ketika sujud?


Jawaban:

Bismillah. Doa dalam shalat (yang bukan wajib) maka terbagi dua;

Pertama, doa yang ma'tsūr yaitu yang ada riwayatnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits. Maka ada khilaf dalam internal madzhab Syafii. Dan pendapat yang sahih dalam madzhab, boleh diterjemahkan ke bahasa non arab jika tidak bisa (seperti tidak hafal). Jika mampu maka dilarang menterjemahkannya. 


Kedua, doa yang dikarang sendiri (ghoiru ma'tsūr). Maka tidak ada khilaf dalam madzhab; jika dengan menggunakan bahasa arab diperbolehkan, jika menggunakan bahasa non arab maka haram bahkan bisa membatalkan shalat. 


Imam Nawawi dalam Majmu' Syarah Muhadzdzab (3/299-300) mengatakan;


وَأَمَّا مَا عَدَا الْأَلْفَاظِ الْوَاجِبَةِ فَقِسْمَانِ دُعَاءٌ وَغَيْرُهُ أَمَّا الدُّعَاءُ الْمَأْثُورُ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ أَصَحُّهَا تَجُوزُ التَّرْجَمَةُ لِلْعَاجِزِ عَنْ الْعَرَبِيَّةِ وَلَا تَجُوزُ لِلْقَادِرِ فَإِنْ تُرْجِمَ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ وَالثَّانِي تَجُوزُ لِمَنْ يُحْسِنُ الْعَرَبِيَّةَ وَغَيْرِهِ وَالثَّالِثُ لَا تَجُوزُ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لِعَدَمِ الضَّرُورَةِ إلَيْهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَخْتَرِعَ دَعْوَةً غَيْرَ مَأْثُورَةٍ وَيَأْتِي بها العجمية بِلَا خِلَافٍ وَتَبْطُلُ بِهَا الصَّلَاةُ بِخِلَافِ مَا لَوْ اخْتَرَعَ دَعْوَةً بِالْعَرَبِيَّةِ فَإِنَّهُ يَجُوزُ عِنْدَنَا بِلَا خِلَافٍ

"Adapun yang selain lafadz-lafadz wajib, maka terbagi menjadi dua; doa dan selain doa. Adapun doa yang ma'tsur maka ada tiga wajh (pendapat ashabul wujuh madzhab) dalam hal ini;


Yang paling shahih boleh diterjemahkan dari bahasa arabnya, namun tidak diperbolehkan bagi yang mampu membaca dengan bahasa arab, dan jika tetap menterjemahkan padahal bisa; batal shalatnya.


Pendapat kedua, boleh terjemah bahkan jika dia bisa bahasa arab dan selain bahasa arab.


Pendapat ketiga, tidak boleh sama sekali secara mutlak; karena tidak ada kedaruratan untuk menterjemahkan (karena bahkan kalau tidak dibaca pun, shalat tetap sah -edt).


Dan tidak boleh membaca doa yang ghoiru ma'tsur (yang tidak ada riwayatnya atau karangan sendiri -edt) dengan selain bahasa arab tanpa ada khilaf. Berbeda halnya jika doa karangan sendiri tersebut dia baca dengan bahasa Arab; maka boleh dalam madzhab tanpa ada khilaf."


Maka kesimpulannya, jika doa yang dibaca adalah doa karangan sendiri; dilarang dibaca dengan bahasa Indonesia. Dan jika dia ingin membaca doa dengan bahasa Indonesia, silahkan dicari waktu mustajab yang lain selain dalam shalat. Wallahu Ta'ala A'lam.


***

Oleh Danang Santoso

t.me/fiqhgram

#fikihshalat #fikihsyafii

Jumat, 21 Juni 2024

,


Idealnya, shalat wajib atau fardhu tidak dilaksanakan di atas kendaraan; namun ketika dia sudah turun darinya. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar disebutkan;

غير أنه لا يصلي عليها (اي الراحلة) المكتوبة -و في رواية- الفرائض
"Hanya saja Nabi shallallahu alahi wa sallam tidak shalat wajib di atas kendaraan."

Namun dalam beberapa kondisi, terkadang seseorang pun tetap shalat di atas kendaraan. Maka disini kami sampaikan beberapa kondisi;

Pertama, jika shalat di atas kendaraan tersebut dia tetap bisa secara sempurna. Bisa menghadap kiblat, berdiri, rukuk, dan sujud secara normal. Maka dipersilahkan dia shalat disitu, dan tidak perlu mengulangi shalat.

Kedua, jika tidak memungkinkan shalat secara sempurna (seperti tidak bisa menghadap kiblat, atau tidak bisa berdiri). Maka dalam kondisi semacam ini, ada dua opsi.

***

Opsi satu, dia melihat apakah memungkinkan dia nanti untuk turun dengan sisa waktu shalat masih ada. Termasuk juga waktu jamak jika dia safar. Jika masih ada sisa waktu shalat nanti ketika turun, maka silahkan dia tunda dulu shalatnya, sampai dia turun dan melaksanakan shalat secara sempurna.

Opsi dua, jika tidak memungkinkan ada waktu tersisa ketika nanti dia turun. Maka silahkan dia dia shalat sesuai kemampuannya tanpa menghadap kiblat atau dg duduk di atas kendaraan; sebagai bentuk hurmah lil waqt. Namun ketika dia turun nanti, dia harus mengulang shalatnya. Karena shalat yg dilakukan tadi secara asal tidak dianggap cukup sebagai penggugur kewajiban; dikarenakan kurang dalam syarat sah atau rukunnya. Inilah pendapat yang mu'tamad dari ashāb fuqoha.

Namun, sebagian ulama berpendapat tidak perlu mengulang. Berdalil bahwa mengulang ibadah perlu dalil baru, dan disini tidak ada dalil baru. Maka selama sudah melaksanakan ibadah semampunya, sudah cukup dan tidak perlu mengulang. Sebagaimana hal ini diisyaratkan Ibnul Atthōr As-Syāfii (w.724 H) dalam Al-Uddah Syarah Umdatul Ahkām. Wallahu ta'ala a'lam.

***
Oleh Danang Santoso
https://linktr.ee/fiqhgram
#fikihhadits #umdatulahkam #fikihshalat #fikihsafar

Kamis, 13 Juni 2024

,


Secara asal puasa Arofah adalah sunnah. Dalilnya sabda Nabi shallaallahu alaihi wa sallam;

صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله و السنة التي بعده
"Puasa hari Arofah, aku berharap kepada Allah, bisa menggapuskan dosa setahun yang sebelumnya dan setahun setelahnya."
[ HR.Muslim (1162), dari Abu Qotādah radhiyallahu anhu ]

***
Apakah yang dimaksud hari Arafah yang berhubungan dengan puasa dalam hadits ❓ Apakah hari dimana jamaah haji sedang wuquf di Arofah, ataukah tanggal 9 Dzulhijjah ❓

Yang masyhur dari pendapat ulama dalam masalah ini, yang dimaksud dengan puasa hari Arofah adalah; puasa di tanggal 9 Dzulhijjah. Berdalil dengan ikhtilāf mathla' (setiap daerah punya jadwal waktu masing-masing). Maka, maksud dari puasa hari Arofah adalah puasa yang dilakukan ditanggal dimana jamaah haji di tanggal itu melakukan wuquf. Maka, kalau tanggalnya berbeda, yang diambil tanggalnya bukan wuqufnya. Hal ini bisa dilihat dalam kitab-kitab syarah, seperti Tuhfatul Muhtāj syarah Minhaj, Nihayatul Muhtāj syarah Minhaj, Tuhfatut Thullab syarah Tahrīr, Busyrol Karim syarah Muqoddimah Hadromiyyah, dan lainnya.

***
Dosa manakah yang bisa dihapus oleh puasa Arofah ❓ Maka ada khilaf diantara para ulama. Pendapat yang paling masyhur, bahwa yang dihapus dengan puasa Arofah adalah dosa kecil saja. Seperti yang diisyaratkan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, juga Ibnu Hajar dalam Tuhfatul Muhtāj Syarah Minhaj. Hal itu, karena syarat penghapusan dosa kecil adalah menjauhi dosa besar, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Sulaiman Al-Kurdi dalam Syarah Muqoddimah-nya. Allah berfirman;

إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم و ندخلكم مدجلا كريما
"Jika kalian jauhi dosa besar yang dilarang, Kami akan hapus dosa-dosa kecil dan Kami masukkan kalian dengan kemuliaan."
[ Surat An-Nisa ayat 31 ]

Sebagian ulama yang lain, seperti Ibnul Mundzir, juga Syamsuddin Al-Romli dalam Nihayatul Muhtaj lebih condong; bisa menghapus dosa besar dan kecil semuanya. Mereka berdalil dengan keumuman hadits.

***
Bukankah banyak amal-amal yang sudah bisa juga menghapus dosa. Seperti shalat lima waktu, shalat jumat, ramadhan ke ramadhan. Lantas apa fungsi penghapus dosa bagi puasa Arofah ❓

Maka ada beberapa keutamaan dalam masalah ini. Sebagaimana ini jawaban Imam Nawawi dalam Al-Majmu' dan dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Tuhfatul Muhtaj.

Bahwa, puasa Arofah menghapus dosa-dosa di kedua tahun tersebut. Jika tidak ada dosa tersisa yang diampuni, maka akan meringankan dosa besar yang dilakukan. Jika tidak ada, maka akan meninggikan derajatnya disisi Allah Ta'ala.

***
Hukum sunnah ini hanya berlaku bagi non jamaah haji. Adapun bagi jamaah haji yang sedang wuquf, maka tidak disunnahkan, seperti penjelasan Imam Nawawi dalam Majmū' atau Roudhotut Thōlibin. Dalilnya riwayat yang marfū' dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam;

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن صوم يوم عرفة بعرفة
"Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari puasa hari Arofah (ketika sedang berada -edt) di tanah Arofah."
[ HR.Abu Dawud (2440), Ibnu Majah (1732) dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ]

Hanya saja hadits di atas dinilai dhoif oleh Imam Nawawi dalam  Al-Majmū'. Namun dikuatkan juga riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, ketika ditanya tentang puasa Arofah di tanah Arofah, maka beliau mengatakan;

حججت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم و أبي بكر و عمر و عثمان فلم يصوموه، و أنا لا أصومه و لا آمر به و لا أنهى عنه
"Aku berhaji bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan mereka tidak puasa. Akupun tidak puasa; dan aku tidak memerintah ataupun melarang."
[ HR.Tirmidzi (751) ]

Hikmah daripada ini, karena jamaah yg sedang wuquf disyariatkan untuk memperbanyak dzikir, taubat, muhasabah, dan berdoa kepada Allah Ta'ala. Dan ini adalah kondisi yang cukup memberatkan jika dibarengi dengan puasa. Disisi lain juga kaidah fikih mengatakan;

المشغول لا يشغل
"Orang yg sudah sibuk dengan suatu amal, tidak disibukkan dengan yg lain lagi."

***
Berkata Al-Baghowi dan selainnya, bahwa hari Arofah adalah hari yang paling utama dari semua hari dalam setahun. Mereka berdalil dengan hadits bahwa hari itu dosa manusia 2 tahun bisa diampuni. Hal ini sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Roudhotut Tholibin. Wallahu ta'ala a'lam.

***
Oleh Danang Santoso
https://linktr.ee/fiqhgram
#fikihtematik #fikihpuasa #fikihsyafii

Jumat, 07 Juni 2024

,


Dari Athō' bin Yasār, beliau berkata; Aku bertanya kepada sahabat Abu Ayyūb Al-Anshōri radhiyallahu anhu bagaimana kurban di zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau menjawab;

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ
"Dahulu satu orang berkurban dengan seekor kambing untuk satu keluarganya, mereka pun memakan sebagiannya dan mensedekahkan sebagian."
[ HR.Tirmidzi (1505) ]

Hadits ini menjadi dalil bahwa qurban satu ekor kambing, cukup untuk satu keluarga. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah; apa yang dimaksud dengan "cukup untuk satu keluarga ?"

Imam Al-Baijūrī dalam Hasyiyah-nya (2/603) menyampaikan;

و تجزئ الشاة عن شخص واحد أي لا عن أكثر منه فلو اشترك مع غيره فيها لم تكف، نعم لو ضحى عنه و أشرك غيره معه في ثوابها لم يضر و كذلك لو ضحى عنه و عن أهله فلا يضر
"Dan satu kambing cukup untuk satu orang saja, tidak boleh lebih. Jika dia bermusyārokāh (iuran) untuk satu kambing; tidak sah.

Benar, kecuali jika kurban satu kambing dan meniatkan supaya orang lain juga mendapat pahala yang sama; tidak masalah.

Demikian juga jika dia kurban untuk dirinya dan keluarganya; juga tidak masalah."


Beliau juga menyampaikan di tempat yang lain (2/601) ;

فإذا أتى بها واحد من أهل بيت أي بحيث يكونون في نفقة واحدة، و قوله (كفى عن جميعهم) اي في سقوط الطلب فقط و إلا فثوابها خاص بالفاعل. و في كلام الرملي ما يقتضي حصول الثواب للجميع فراجعه.
"Jika dalam satu keluarga sudah ada yg kurban (maksud satu keluarga adalah yang dalam satu nafkah); maka sudah cukup untuk semua anggota keluarga.

Maksudnya 'cukup untuk satu keluarga', dari sisi keanjuran dan kesunnahan berkurban.

Adapun untuk masalah pahala, secara asal yang mendapat hanya pelaku kurban (yg beli kurban).

Akan ucapan Imam Ar-Romlī memberi isyarat; keluarga juga dapat pahala. Silahkan lihat kembali ucapan beliau."


Maka disini bisa kita ambil kesimpulan;

Pertama, maksud satu kambing untuk satu keluarga adalah dari sisi kesunnahan. Dalam artian, kalau dalam satu keluarga sudah ada yang kurban; sudah tidak disunnahkan lagi bagi anggota keluarga lainnya. Bukan satu kambing untuk iuran satu keluarga.

Kedua, jika di keluarga sudah ada yang kurban, maka pahala kurban untuk dia sendiri. Kecuali jika dia 'meniatkan' semoga pahala juga didapat untuk anggota keluarga. Wallahu ta'ala a'lam.

***
✍ Oleh Danang Santoso
https://linktr.ee/fiqhgram
#fikihqurban #fikihtematik #fikihhadits
,


Secara umum ada tiga macam jenis takbir-an yang disunnahkan ketika bulan Dzulhijjah. Dua takbir muqoyyad, dan satu takbir mutlak. Dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah hingga akhir tanggal 13 Dzulhijjah. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut.

***
Pertama, mulai tanggal 1-9 Dzulhijjah disunnahkan untuk bertakbir secara khusus (muqoyyad) ketika melihat hewan ternak yang sah digunakan untuk kurban (onta, sapi, kambing). Dimanapun dan kapanpun dia berada. Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala;

مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ
"Supaya mereka menyaksikan manfaat untuk diri mereka, dan mereka menyebut nama Allah di hari-hari yg diketahui atas apa yang Allah berikan rezeki kepada kalian dari hewan-hewan ternak..."
[ Surat Al-Hajj ayat 28 ]

Para ulama menyampaikan, bahwa yang dimaksud dengan hari-hari yang diketahui adalah 10 hari pertama Dzulhijjah. Dan jika diperhatikan, dalam ayat tersebut, dzikir di-taqyīd (dipersyaratkan) karena hewan ternak, dan bukan mutlak di setiap waktu.

***
Kedua, sejak ba'da shalat shubuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai sebelum tenggelamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Maka disunnahkan takbir muqoyyad yang kedua, yaitu takbir khusus selesai shalat (shalat apapun, baik wajib atau sunnah). Maksudnya, setelah salam dan sebelum mengucap dzikir lainnya, langsung bertakbir dahulu. Diantara dalilnya adalah riwayat dari sahabat Umar radhiyallahu anhu;

أنَّه كان يُكبِّر دُبرَ صلاةِ الغداةِ من يومِ عَرفةَ إلى صلاةِ العصرِ مِن آخِرِ أيَّامِ التَّشريقِ
"Bahwa beliau bertakbir selepas shalat shubuh sejak hari Arafah hingga selepas shalat ashar di akhir hari tasyrīq."
[ HR.Baihaqi (6496) ]

Hal yang semakna juga diriwayatkan dari sahabat Ali, Ibnu Mas'ūd, Ibnu Abbas, & Abu Hurairah radhiyallahu anhum. [ Silahkan lihat Sunan Kubro Al-Baihaqi, Mushonnaf Abdurrazzaq, Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya ]

Hal ini dikuatkan oleh sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;

أيَّامُ التَّشريقِ أيَّامُ أَكْلٍ وشُرْبٍ وذِكرٍ للهِ
"Hari-hari tasyrīq adalah hari makan, minum, dan dzikir."
[ HR.Muslim (1141) ]

***
Ketiga, sejak tenggelamnya matahari di malam iedul adha sampai khothib naik mimbar. Maka disunnahkan untuk bertakbir secara mutlak dimanapun dan kapanpun waktunya. Hal ini diqiyaskan kepada takbir mutlak Iedul Fitri.

Perincian di atas bisa dirujuk dalam Minhājut Thōlibīn beserta syarah²nya seperti Tuhfah dan Nihāyah dan hasyiyahnya. Dan yang cukup lengkap bisa melihat Busyrol Karīm Syarah Muqoddimah Hadromiyyah. Wallahu ta'ala a'lam.

***
Oleh Danang Santoso
https://linktr.ee/fiqhgram
#fikihtematik #fikihied #fikihsyafii

Selasa, 04 Juni 2024

,


عن حَنَشٍ قال؛ رأيت عليا يضحي بكبشين، فقلت له؛ ما هذا ؟ فقال ((رسول الله صلى الله عليهو سلم أوصاني أن أضحي عنه فأنا أضحي عنه))
"Dari Hanasy, bahwa beliau berkata; Aku melihat Ali radhiyallahu anhu kurban 2 ekor kambing gibas. Maka aku bertanya; Kurban siapa ini ? Maka beliau menjawab ((Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memberiku wasiat untuk berkurban atas nama beliau, maka sekarang aku kurban atas nama beliau.))"
[ HR.Abu Dawud (2790) ]

Imam Abu Dāwūd dalam sunan-nya meletakkan hadits ini pada bāb Al-Udhiyah 'anil Mayyit (kurban atas nama mayit). Yang memberikan isyarat kebolehan hal tersebut secara mutlak. Dan kami katakan, demikian juga pendapat sebagian ulama, diantaranya dalam madzhab Hanābilah -dan Imam Abu Dāwūd bermadzhab Hanābilah-.

Namun madzhab Syāfi'iyyah tidak berpandangan hal tersebut boleh secara mutlak. Akan tetapi boleh dengan syarat; jika sudah ada wasiat sebelumnya dari si mayit. Sebagaimana dalam hadits di atas. Dan tidak diambil kemutlakannya, karena;

Pertama, nash di atas secara jelas adalah muqoyyad (ada keterangan tertentu).

Kedua, jika tetap mengambil sisi kemutlakannya, maka akan bertentangan dengan kaidah umum, bahwa pada asalnya mayit tidak berlaku baginya ibadah. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman;

و أن ليس للإنسان إلا ما سعى
"Dan tidaklah bagi manusia kecuali yang dia upayakan sendiri."

Maka akhirnya pun kembali kepada syarat yg menjadi taqyīd di atas.

***

Disisi lain ada yang mengatakan, bahwa hadits di atas dhoif. Karena ada rawi Syarīk Al-Qōdhī yg dinilai dhoif oleh ahli hadits. Maka tidak bisa dijadikan dalil untuk masalah syaratnya. Maka kita jawab dari dua sisi;

Pertama, sebagian ulama ada menshahihkan hadits ini. Seperti Al-Hākim serta Adz-Dzahabi.

Kedua, taruhlah dia dhoif bukan berarti tidak bisa dijadikan dalil secara mutlak. Sebagaimana Abu Dāwūd sendiri (termasuk imam dalam jarh & ta'dīl) tidak mengomentari apapun. Yang hal tersebut memberi isyarat bahwa hadits ini bisa dijadikan hujjah. Sebagaimana ini diketahui bagi orang yang mempelajari Sunan Abu Dawud.

Kesimpulan, bahwa hukum asal tidak boleh & tidak sah kurban atas nama mayit; sesuai madzhab Syafiiyyah dan yang mengikutinya. Kecuali kalau dengan wasiat sebelumnya. Wallahu ta'ala a'lam.

***
Oleh Danang Santoso
https://linktr.ee/fiqhgram
#fikihqurban #fikihhadits #fikihsyafii

Senin, 03 Juni 2024

,


Pertanyaan:
Apa hukum merokok di masjid dan apa hukum merokok di samping pembaca Al-Qur'an dengan jarak sekitar tiga hasta.

Apakah karena ini dianggap dalam majelis Al-Qur'an sehingga haram?

Jawaban:

Wallahu al-Muwafiq lissawab

Hukum merokok pada dasarnya diperdebatkan oleh para ulama, mayoritas mereka mengharamkannya.

Sebagian mengatakan bahwa itu makruh tanzih (makruh yang dianjurkan untuk ditinggalkan), dan ini adalah pandangan yang dipegang oleh mazhab Syafi’i.

Namun, mereka sepakat bahwa merokok bisa menjadi haram dalam kondisi tertentu, seperti ketika sedang ada yang membaca Al-Qur'an, hadis Nabi, majelis ilmu syar'i, atau tempat-tempat lain yang dihormati.

Merokok dalam situasi tersebut adalah haram karena menunjukkan kurangnya adab dan meremehkan majelis yang harus dihormati.

Hal ini lebih haram lagi jika dilakukan di masjid, yang merupakan rumah Allah dan dianggap sebagai syiar Allah;

ومن يعظم شعائر الله فإنها من تقوى القلوب

"Barang siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati."

Allah Ta'ala berfirman:
 
في بيوت أذن الله أن ترفع ويذكر فيها اسمه
"Di rumah-rumah yang Allah izinkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya."

Makna memuliakan adalah menghormati dan menjauhi segala sesuatu yang tidak pantas dan merusak penghormatannya.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallhu ‘Anha ia berkata:
 
أمر رسول الله ببناء المساجد في الدور وأن تنظف وتطيب
“Rasulullah memerintahkan untuk membangun masjid di permukiman dan membersihkannya serta diberi wewangian.” 
(HR. Abu Dawud (455), Ibnu Majah (758), At-Tirmidzi (594))

Merokok di dalam masjid bertentangan dengan hal tersebut dan menggagalkan maksud syariat serta membuat masjid menyerupai kafe atau tempat hiburan.

Nabi berkata tentang masjid:
 
إنها بنيت لذكر الله والصلاة وقراءة القرآن
"Masjid dibangun untuk dzikrullah, shalat, dan membaca Al-Qur'an."
(HR. Muslim (285))

Dalam kitab "Tsamarah ar-Raudah ash-Syahiyah" disebutkan sebuah masalah yang bahayanya lebih kecil dari masalah dalam pertanyaan ini.

Berikut teks pertanyaan dan jawabannya:
 
( مسألة ) ما حكم شرب الدخان عند قارئ القرآن وبينهما قدر ثلاثة أذرع أهو جائز أم لا ؟
"(Masalah) Apa hukum merokok di samping pembaca Al-Qur'an dengan jarak sekitar tiga hasta, apakah diperbolehkan atau tidak?"

( الجواب ) حرام حيث اعتد أنها في مجلس واحد كما صرح بذلك في السم القائل نقلا عن قول الشبراوي الشافعي في شرح ورد السحر .
(Jawaban) Haram karena dianggap berada dalam satu majelis,

sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab "As-Sam al-Qatil" mengutip perkataan Asy-Syabraawi Asy-Syafi'i dalam "Syarh Wird as-Sahar".


وعبارته قال شيخنا محمد السباعي : الذي ندين الله عليه حرمة شرب الدخان في مجلس القرآن ولا وجه للكراهة ؛ بل نقل الإمام الحفني عن بعض أشياخه العارفين أن شربه في مجلس القرآن يخشى منه سوء الخاتمة -أعاذنا الله تعالى منها بمنه وكرمه إنه جواد كريم- اه تبصرة الإخوان
Beliau berkata: "Syekh kami Muhammad As-Siba’i berkata: Kami berpendapat bahwa merokok dalam majelis Al-Qur'an adalah haram, bukan hanya makruh; bahkan Imam Al-Hafni mengutip dari beberapa guru sufi bahwa merokok di majelis Al-Qur'an dikhawatirkan su’ul khatimah - semoga Allah melindungi kita dari hal tersebut dengan rahmat dan kemurahan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mulia dan Maha Pemberi."

Jika ini berlaku untuk majelis Al-Qur'an yang tidak berada di masjid, maka di masjid lebih utama untuk dihindari.

Bagaimanapun, kehati-hatian dalam beragama, menjaga kehormatan, dan mengikuti adab adalah ciri orang yang takut kepada Allah Azza wa Jalla, bertakwa kepada-Nya, dan mengharapkan keselamatan di dunia dan akhirat.

Kami memohon kepada Allah untuk keselamatan dan kesehatan dari mengikuti hawa nafsu dan cenderung kepada keinginannya.

فأما من طغى وآثر الحياة الدنيا، فإن الجحيم هي المأوى، وأما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى

"Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya neraka Jahim adalah tempat tinggalnya.

Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga adalah tempat tinggalnya."


Wallahu Subhanahu wa Ta'ala A'lam.

Semoga Allah melimpahkan rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi kita Muhammad yang mulia, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.


***
📚 Diterjemahkan dari Qurratul ‘Ain Bi Fatawa Isma’il Az-Zain, hal. 232-234

Alih bahasa Ahmad Reza Lc
#fatwaulama #fikihtematik

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.