Sabtu, 27 Juli 2024

,


PERTANYAAN:
Bismillah.. Afwan ustadzi.. Ahsanallahu ilaikun ustadz.. Ijin bertanya :

Apakah dlm islam ada dikatakan puasa ayyamussud ?? Bisa tolong dijelaskan krn kami masih bingung

Jazakumullahu khoiron jawabannya ustadz


***
JAWABAN:
Bismillah. Sebelum kami jawab, perlu kita ketahui dulu apa itu ayyāmussūd. Secara bahasa ayyāmussūd bermakna hari-hari gelap. Berasal dari dua suku kata; ayyām yg maknanya hari-hari, dan sūd yang bermakna hitam atau gelap. Dalam istilah fikih puasa ayyāmussū adalah puasa di tanggal 28, 29, dan 30 setiap bulannya. Karena ditanggal ini, rembulan sedang dalam kondisi mengecil dan beranjak menghilang. Sehingga malam hari lebih gelap dari biasanya karena cahaya rembulan meredup.

Para fuqoha Syafiiyyah, memandang disunnahkan untuk berpuasa pada ayyamussud ini. Diantaranya sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori dalam Asnal Matholib Syarh Roudhut Tholib (1/431-432);

وَيُسَنُّ صَوْمُ أَيَّامِ السُّودِ الثَّامِنِ وَالْعِشْرِينَ وَتَالِيَيْهِ وَيَنْبَغِي أَنْ يُصَامَ مَعَهَا السَّابِعُ وَالْعِشْرِينَ احْتِيَاطًا وَخُصَّتْ أَيَّامُ الْبِيضِ وَأَيَّامُ السُّودِ بِذَلِكَ لِتَعْمِيمِ لَيَالِي الْأُولَى بِالنُّورِ وَلَيَالِي الثَّانِيَةِ بِالسَّوَادِ فَنَاسَبَ صَوْمُ الْأُولَى شُكْرًا وَالثَّانِيَةِ لِطَلَبِ كَشْفِ  السَّوَادِ وَلِأَنَّ الشَّهْرَ قَدْ أَشْرَفَ عَلَى الرَّحِيلِ فَنَاسَبَ تَزْوِيدَهُ بِذَلِكَ
"Dan disunnahkan puasa pada ayyamussud; yaitu tanggal 28,29,30. Dan selayaknya juga puasa di tanggal 27 sebagai bentuk kehati-hatian (barangkali satu bulan hanya 29 hari). Dan alasan dikhususkan puasa di ayyamul bidh dan ayyamus sud; karena ayyamul bidh malamnya penuh dengan cahaya, dan ayyamus sud malamnya penuh dengan kegelapan. Maka sesuai (lil munasabah) puasa di ayyamul bidh sebagai bentuk syukur. Dan dianjurkan puasa ayyamus sud dengan harapan agar dihilangkan kegelapan dari hidupnya, serta karena bulan tersebut akan berlalu, maka sesuai jika dibekali dengan puasa tersebut."

Adapun landasan dalam hal ini, maka secara aqli sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam di atas; yaitu munasabatul hal. Adapun dalil naqli, sebagian ulama memang tidak menyebutkannya. Bahkan Syaikh Musthofa Al-Bugho dalam Al-Hadiyyah Al-Mardhiyyah Syarh Al-Muqoddimah Al-Hadromiyyah (hal,558) menyatakan;

وصفت بالسود لضعف ضوء القمر في لياليها بخلاف أيام البيض و لم أعثر على دليل نقلي لصيامها
"Dan disifati malam-malam tersebut dengan kegelapan; karena cahaya rembulan di tanggal itu sedang melemah. Berbeda halnya dengan ayyamul bidh. Dan aku belum mendapati dalil naqli sama sekali sebagai landasan puasa ayyamus sud ini."


***
Namun, melihat dari ta'lil fuqoha dan tasmiyah ayyamus sud; bahwa dia adalah hari-hari gelap di setiap bulannya. Maka ada dua point yang tambahan dalam hal ini;

Pertama, jika ta'lilnya karena malam yang gelap; maka tidak menutup kemungkinan awal bulan juga disebut ayyamus sud. Yaitu tanggal 1,2, dan 3. Karena di tanggal ini, rembulan belum keluar cahayanya. Dan hal ini, ditunjukkan oleh ucapan Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Iqna' fi Fiqh Syafii (hal,80);

وَصِيَام الْأَيَّام الْبيض من الشَّهْر سنة وَهِي الثَّالِث عشر والررابع عشر وَالْخَامِس عشر وكذلك صِيَام سرر الشَّهْر وَهُوَ ثَلَاثَة أَيَّام من أَوله
"Dan puasa di ayyamul bidh di setiap bulannya; yaitu tanggal 13, 14, ,dan 15. Demikian juga puasa di awal bulan, yaitu tiga hari di awalnya."

Ibnu Hajar dalam Tuhfatul Muhtaj Syarah Minhaj (3/208) menyatakan;

وَلَعَلَّهُ يُعَوَّضُ عَنْهُ بِأَوَّلِ الشَّهْرِ الَّذِي يَلِيهِ وَهُوَ مِنْ أَوَّلِ أَيَّامِ السُّودِ أَيْضًا لِأَنَّ لَيْلَتَهُ كُلَّهَا سَوْدَاءُ
"Sepertinya hal tersebut bisa diganti dengan awal bulan dan dua hari setelahnya, dan ini juga termasuk awal ayyamus sud juga; karena seluruh malamnya juga gelap."

Kedua, adapun puasa ayyamus sud di awal bulan, maka ada dalil naqli yang menjadi landasannya. Yaitu hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu yang marfu';

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ - يَعْنِي مِنْ غُرَّةِ كُلِّ شَهْرٍ - ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ
"Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam puasa di ghurroh setiap bulannya sebanyak tiga hari."
[ HR.Abu Dawud (2450), Tirmidzi (742), An-Nasai (2368), An-Nasai (2368), Ahmad (3860) ]

Para ulama berselisih tentang makna ghurrah di atas. Ada yang berpendapat ghurroh maksudnya adalah tengah bulan. Dan ada juga yang berpendapat ghurroh adalah akhir bulan. Sebagaimana Imam As-Suyuthi dalam Qutul Mughtadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi (1/268-269) menyatakan;

قال العراقي: يحتمل أن يراد بغرة الشهر أوله وأن يراد الأيام الغر وهي البيض
"Berkata Al-Iroqi; berkemungkinan maksud ghurroh bulan adalah awal bulan, bisa juga pertengahannya yaitu ayyamul bidh."


***
Maka disini kami berikan beberapa kesimpulan mengenai pembahasan puasa ayyamus sud ini;

Pertama, para fuqoha memandang disunnahkan puasa ayyamus sud.
Kedua, puasa ayyamus sud dilakukan tanggal 27 (jika kemungkinan bulan hanya 29 hari), 28, 29, dan 30 tiap bulan.
Ketiga, puasa ayyamus sud juga bisa dilakukan di awal bulan sejak tanggal 1,2, dan 3. Wallahu ta'ala a'lam.


***
✍️ Oleh Danang Santoso
#akademifiqhgram #qna #fikihpuasa

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram

Rabu, 24 Juli 2024

,

PERTANYAAN:

Bismillah Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Ahsanallahu Ilaikum ustadz,

Izin bertanya ustadz


Apa benar berjabat tangan dengan lawan jenis boleh dilakukan dengan alasan ketidakbolehan berjabat tangan laki dan perempuan bukanlah keharaman yang mutlak, tetapi karena ada sebab, agar tidak  timbulnya fitnah & syahwat yang diharamkan ? Bagaimana perspektif madzhab Syafi'iyah dalam hal ini ustadz?


Syukron jazaakumullah khoiron ustadz.


Barakallahu fiikum ustadz 🙏🏻


***

JAWABAN:

Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh.

Bismillah. Berjabat tangan dengan non mahram haram hukumnya, meskipun dengan tanpa syahwat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;


لَأنْ يُطعَنَ في رأسِ رجلٍ بِمِخْيَطٍ من حديدٍ خيرٌ من أن يمَسَّ امرأةً لا تَحل له

"Sungguh kepala seorang dari kalian ditusuk dengan tusukan besi itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya."

[ HR.Ar-Ruyani dalam Al-Musnad (1283), At-Thobroni (487), Al-Baihaqi, Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib (3/26) ]


Demikian juga hadits Umaimah binti Ruqoiqoh radhiyallahu anha bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;


إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ ". أَوْ : " مِثْلُ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ

"Sungguh aku tidak menjabat tangan para wanita, dan ucapanku kepada 100 wanita sama seperti kepada satu wanita."

[ HR.An-Nasai (4181) dan selainnya ]


Dan kita katakan, benar bahwasanya para ulama menta'lil (menjelaskan illat hukum) daripada keharaman ini, karena menyentuh adalah madzinnah syahwat (aktifitas yang memicu syahwat). Sebagaimana Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori mengatakan;


(فَرْعٌ) مَا حَرُمَ نَظَرُهُ حَرُمَ مَسُّهُ بِالْأَوْلَى؛ لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي اللَّذَّةِ وَأَغْلَظُ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ لَمَسَ فَأَنْزَلَ بَطَلَ صَوْمُهُ وَلَوْ نَظَرَ فَأَنْزَلَ لَمْ يَبْطُلْ

"(Cabang masalah) apa yang haram dilihat maka haram juga disentuh dengan dalil qiyas aula; karena menyentuh lebih mengarahkan kepada syahwat dan lebih kuat. Hal ini ditunjukkan bahwa kalau orang yang puasa lalu dia menyentuh dan keluar mani; batal puasanya. Berbeda halnya jika dia melihat saja lalu keluar mani; puasanya tidak batal."

[ Asnal Matholib Syarh Roudhut Tholib. (3/113) ]


Namun kita juga harus memahami kaidah ushul fikih; bahwa illat hukum dari hasil istinbath tidak boleh membatalkan dalil nash. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul Islam Zakariya dalam Lubbul Ushul-nya;


و أن لا تعود على الأصل بالإبطال

"Dan tidak boleh illat hukum membatalkan dalil asal (nash)."

[ Ghoyatul Wushul Syarh Lubbul Ushul. Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah Hal,299 ]


Maka kesimpulannya, hukum menyentuh non mahram tanpa penghalang meskipun tanpa disertai syahwat atau aman dari fitnah; tetaplah haram. Wallahu ta'ala a'lam.



***

✍🏻 Oleh Danang Santoso

t.me/fiqhgram

#akademifiqhgram #qna #tanyajawab

Sabtu, 20 Juli 2024

,


PERTANYAAN:
Bismillah Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Ahsanallahu Ilaikum ustadz,
Izin bertanya ustadz.

Bolehkah wanita mencalonkan diri sebagai pemimpin / pejabat daerah, menjadi menteri dan menjadi pemimpin ahlul Halli wal aqdi ? Dan bagaimana perspektif ulama Syafi'iyah dalam pembahasan ini ustadz?

Syukron jazaakumullah khoiron ustadz.

Barakallahu fiikum ustadz 🙏🏻


***
JAWABAN:
Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Bismillah. Secara asal wanita tidak diperkenankan menjadi pemimpin tertinggi dari sebuah otoritas tertentu. Misalkan presiden atau kepala daerah, atau camat, atau kepala desa, atau semisalnya.

Diantara dalilnya, firman Allah Ta'ala;

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"Para lelaki adalah qowwam atas para wanita, karena keutamaan yang Allah berikan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan apa yang mereka (para lelaki) nafkahkan dari harta mereka..."
[ Surat An-Nisa ayat 34 ]

Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya (5/168) mengatakan;

أي : يقومون بالنفقة عليهن ، والذب عنهن ، وأيضاً : فإنَّ فيهم الحكام والأمراء ومن يغزو ، وليس ذلك في النساء
"Maksudnya mereka (para lelaki) yang memberi nafkah wanita serta menjaganya. Juga para lelaki-lah yang menjadi pemimpin, panglima, dan orang yang perang yang mana hal ini tidak diperuntukkan bagi wanita."

Dalil yang lain, hadits Abu Bakrah radhiyallahu anhu, beliau berkata;

لما بلغ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم أن أهل فارس قد ملَّكوا عليهم بنت كسرى ، قال : ( لن يُفلح قومٌ ولَّوا أمرَهم امرأة )
"Ketika sampai kabar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya putri dari Kisro menjadi pemimpin tertinggi Persia (menggantikan ayahnya), maka beliau bersabda ((Tidak akan beruntung satu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita))."
[ HR.Bukhari (4163) ]

Imam Al-Mawardi (penulis Al-Hawi Al-Kabir) dalam kitabnya Ahkam As-Sulthoniyyah (hal.46) ketika membahas tentang wizaroh (pemangku kebijakan tertiinggi disetelah kholifah), beliau berkata;

ولا يجوز أن تقوم بذلك امرأة ، لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( ما أفلح قومٌ أسندوا أمرهم إلى امرأة ) ؛ ولأن فيها من طلب الرأي وثبات العزم ما تضعف عنه النساء
"Tidak boleh wanita menjadi wazir, berlandasakan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ((Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan kepada kaum wanita)). Dan juga karena dalam kewaziran terdapat unsur pengabilan pendapat dan penetapannya yang mana wanita lemah dalam hal ini."

Imam Al-Baghowi (penulis tafsir dan At-Tahdzib fi Fiqh Syafii) dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/77) mengatakan;

اتفقوا على أن المرأة لا تصلح أن تكون إماماً ولا قاضياً ، لأن الإمام يحتاج إلى الخروج لإقامة أمر الجهاد ، والقيام بأمور المسلمين ، والقاضي يحتاج إلى البروز لفصل الخصومات ، والمرأة عورة ، لا تصلح للبروز ، وتعجز لضعفها عند القيام بأكثر الأمور ، ولأن المرأة ناقصة ، والإمامة والقضاء من كمال الولايات ، فلا يصلح لها إلا الكامل من الرجال
"Para ulama sepakat bahwa wanita tidak diperkenankan menjadi pemimpin tertinggi (imam) ataupun qodhi (hakim). Karena imam harus keluar untuk jihad dan mengurusi urusan kaum muslimin. Sedangkan qodhi (hakim) harus keluar untuk menyelesaikan perselisihan masyarakat. Dan wanita itu aurot, serta tidak bisa mengurus semua urusan kaum muslimin karena memiliki sisi kelemahan. Juga karena wanita memiliki sifat kurang (naqishoh), sedangkan kepemimpinan dan kehakiman termasuk urusan yang membutuhkan kesempurnaan perangkat. Maka tidak layak menjadi imam atau qodhi kecuali laki-laki yang memiliki sifat kesempurnaan."

***
Akan tetapi akan timbul pertanyaan disini. Bukankah Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته والأمير راع والرجل راع على أهل بيته والمرأة راعية على بيت زوجها وولده فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas rakyatnya. Penguasa (amir) adalah pemimpin. Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya. Wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya.. Maka setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."
[ HR.Bukhari (4904) dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ]

Bukankah disini disebutkan bahwa wanita juga punya hak untuk memimpin, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebut wanita juga sebagai pemimpin ?

Maka kita katakan, wanita punya hak juga untuk memimpin namun bukan sebagai pemimpin tertinggi yang memegang keputusan dalam suatu otoritas.

Seperti misalnya wanita menjadi sekretaris, atau bendahara, atau semisalnya. Maka boleh. Namun sebagai pemimpin tertinggi, maka tidak diperbolehkan. Maka wanita tidak boleh menjadi presiden, ketua DPR, ketua MPR, kepala daerah, atau semisalnya. Sebagaimana hal ini diisyaratkan oleh Khothib Syirbini dalam Mughnil Muhtaj;

(وَيُنْدَبُ) عِنْدَ اخْتِلاَفِ وُجُوْهِ النَّظَرِ وَتَعَارُضِ اْلأَدِلَّةِ فِيْ الحُكْمِ (أَنْ يُشَاوِرَ الْفُقَهَاءَ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ. كَانَ النَّبِيُّ مُسْتَغْنِيًا عَنْهَا وَلَكِنْ أَرَادَ أَنْ تَصِيْرَ سُنَّةً لِلْحُكَّامِ إِلَى أَنْ قَالَ الْمُرَادُ بِالْفُقَهَاءِ كَمَا قَالَهُ جَمْعٌ مِنَ اْلأَصْحَابِ الَّذِيْنَ يُقْبَلُ قَوْلُهُمْ فِي اْلإِفْتَاءِ فَيَدْخُلُ اْلأَعْمَى وَالْعَبْدُ وَالْمَرْأَةَ 
"Dan ketika terjadi perbedaan pandangan dan kontradiksi dalil dalam suatu hukum maka hakim disunahkan bermusyawarah dengan para ahli hukum, sesuai firman Allah ta'la: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS Ali Imran: 159). Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Nabi saw tidak perlu musyawarah, namun beliau ingin menjadikannya sebagai tradisi bagi para juru hukum ... Yang dimaksud dengan ahli hukum adalah mereka yang diterima fatwanya, maka termasuk orang buta, budak dan wanita."
Wallahu ta'ala a'lam


***
✍️ Oleh Danang Santoso
#akademifiqhgram #qna #fikihisosial

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.


Kamis, 18 Juli 2024

,


• Keistimewaan Metode Irak dan Khorasan:

• Imam Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzab menyatakan:

• “Ketahuilah bahwa metode para ulama Irak atas nash-nash Imam Syafi’i dan kaidah-kaidah mazhabnya serta pandangan-pandangan ulama terdahulu lebih akurat dan kuat dibandingkan metode ulama Khorasan pada umumnya.

Sedangkan ulama Khorasan lebih unggul dalam mengembangkan, meneliti, memecahkan masalah, dan mengatur bab-bab fikih pada umumnya.”

• Abu Bakar As-Sam’ani menggambarkan metode ulama Khorasan sebagai metode yang lebih kuat, lebih jelas dalam penataan, dan lebih banyak penelitiannya.

• Ulama yang Menggabungkan Dua Metode:

• Setelah munculnya dua metode ini, beberapa ulama Syafi’i menggabungkan keduanya, di antaranya:

• Imam Abu Ali Al-Husain bin Syu’aib As-Sinji (w. 430 H): Pertama yang menggabungkan dua metode ini.

• Abdul Sayyid bin Muhammad bin Ash-Shabbagh (w. 477 H): Penulis kitab As-Syamil dan Al-Kamil.

• Imam Al-Haramain Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini (w. 478 H): Penulis kitab Nihayat Al-Mathlab.

• Abdul Rahman bin Al-Ma’mun Al-Mutawalli An-Naisaburi (w. 478 H): Penulis kitab Tatimatul Ibanah.

• Abdul Wahid bin Ismail bin Ahmad Ar-Ruyani (w. 502 H): Penulis kitab Bahrul Madzhab.

• Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi (w. 505 H): Penulis kitab Hilyatul Ulama.

• Qadhi Abu Al-Ma’ali Mujalli Al-Makhzumi Al-Arsufi (w. 505 H): Penulis kitab Az-Zakhair.

• Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (w. 505 H): Penulis kitab Al-Wasith dan Al-Wajiz.

• Penggabungan dan Penyatuan Metode:
• Para ulama tersebut menggabungkan dan menyatukan pandangan-pandangan dari kedua metode.

• Kebanyakan dari mereka cenderung lebih mengikuti metode ulama Irak.

• Pergeseran dan Penghapusan Metode:

• Pada masa Imam Ar-Rafi’i dan Imam Nawawi, perbedaan antara dua metode ini mulai menghilang.

• Tidak ada lagi pembedaan antara kedua metode ini kecuali untuk menjelaskan pendapat dan menisbahkan pendapat mereka kepada para pengucapnya.

• Transisi Mazhab:

• Pada masa Imam Ar-Rafi’i dan Imam Nawawi, mazhab Syafi’i mengalami masa penyempurnaan dan penataan ulang.


***
📖 Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

Oleh Ahmad Reza Lc
https://linktr.ee/fiqhgram
#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah
,


Terdapat dua metode besar dalam perkembangan mazhab Syafi’i, masing-masing metode mewakili sebuah aliran dengan ciri khas dan keistimewaannya:

Metode Baghdadi
• Pendiri: Abu al-Qasim Utsman al-Anmathi.
• Pengikut Utama: Imam Ibnu Surayj dan lainnya.
• Tokoh Terkenal: Abu Hamid Ahmad bin Muhammad al-Isfara’ini (w. 406 H).

• Karya: Menulis kitab “At-Ta’liqah” yang berisi pengetahuan berharga dan langka.

• Pengikut Lainnya:
• Abu al-Hasan Ahmad bin Muhammad al-Mahamili (w. 405 H): Penulis “Al-Muqni’” dan “Al-Lubab”.

• Qadhi Abu Ali al-Hasan al-Bandaniji (w. 425 H): Penulis “Adh-Dhakhirah”.

• Salim bin Ayyub ar-Razi (w. 447 H): Penulis “Al-Mujarrad” dan “Al-Isyarah”.

• Qadhi Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H): Penulis “Al-Hawi al-Kabir” dan “Adab ad-Dunya wa ad-Din”.

• Abu ath-Thayyib ath-Thabari (w. 450 H): Penulis “At-Ta’liqah al-Kubra”, yang baru-baru ini diterbitkan.

***
Metode Khurasan (Marwazi)

• Pendiri Metode:
• Abu Awanah Ya’qub an-Naisaburi, penulis kitab “Al-Mustakhraj”, dianggap sebagai pendiri metode ini dan diikuti oleh banyak ulama lainnya.

• Perkembangan Metode:
• Al-Qaffal Ash-Shaghir Al-Marwazi (w. 417 H) mengembangkan metode unik dalam penulisan cabang-cabang fikih dan diikuti oleh sejumlah ulama Syafi’i terkenal lainnya.

• Tokoh-Tokoh Terkemuka dalam Metode ini:
1. Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Malik Al-Mas’udi (w. setelah 420 H), penulis kitab “Syarh Al-Mukhtashar”.

2. Abu Ali Al-Husain bin Muhammad As-Sanji (w. 430 H), penulis kitab “Syarh Al-Mukhtashar” dan “At-Talkhis”.

3. Abu Bakar Muhammad bin Daud As-Saidalani (w. setelah 436 H), penulis kitab “Syarh Al-Mukhtashar”.

4. Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf An-Naisaburi Al-Juwaini (w. 438 H), penulis kitab “Al-Furuq” dan “As-Silsilah”.

5. Abu Al-Qasim Abdurrahman bin Muhammad Al-Furani (w. 461 H), penulis kitab “Al-Ibanah”.

6. Qadhi Husain bin Muhammad Al-Marwazi (w. 462 H), penulis kitab “At-Ta’liqat” yang sudah terkenal.


***
📖 Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

Oleh Ahmad Reza Lc
https://linktr.ee/fiqhgram
#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah
,


Sejarah Singkat Mazhab Syafi'i

- Sebelum Imam Syafi'i:
  - Terdapat dua sekolah fikih besar:

    1. Sekolah Pemikiran di Kufah, dipimpin oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit.

    2. Sekolah Hadis di Madinah, dipimpin oleh Imam Malik bin Anas.

- Perbedaan dan Kekurangan:

  - Sekolah Kufah banyak menggunakan analogi dan istihsan, namun kurang dalam meriwayatkan dan menggunakan hadis.

  - Sekolah Madinah lebih banyak mengandalkan hadis dan atsar, namun terkadang memberikan kaidah pada sebuah masalah yang bertentangan dengan kaidah yang ditetapkan di masalah yang lain.

- Imam Syafi'i:

  - Setelah menguasai bahasa Arab, Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik dan menguasai kitab Muwaththa'.

  - Beliau juga belajar kepada Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan memahami fikih Imam Abu Hanifah.

  - Kemudian, beliau pergi ke Mesir dan belajar dari murid-murid Imam al-Layth bin Saad.

- Keistimewaan Mazhab Syafi'i:

  - Imam Syafi'i berhasil menggabungkan kelebihan dari kedua sekolah fikih dan menghindari kekurangan mereka, sehingga mazhabnya menjadi salah satu mazhab yang paling lengkap dalam kaidah Ushul  dan furu’nya.

  - Mazhab baru Imam Syafi'i yang beliau tetapkan di Mesir setelah bertemu dengan murid-murid al-Laits bin Saad menjadi mazhab yang terakhir kali beliau ikuti.

Ini diriwayatkan oleh al-Muzani, ar-Rabi' al-Muradi, al-Buwayti, Yunus bin Abdul A'la, dan al-Humaidi, serta Harmalah dan ar-Rabi' al-Jizi.

- Murid-Murid Mazhab Lama:
- ⁠
  - Ahmad bin Hanbal, al-Hasan az-Zafrani, Abu Tsaur, dan al-Karabisi.

- Penyebaran Mazhab:
  - Setelah menyebar ke berbagai negeri, pengikut mazhab ini memperkuat dan memperluasnya dengan menulis, mengajarkan, dan mengembangkan cabang-cabang baru berdasarkan prinsip mazhab.

- Kategori Ulama Mazhab Syafi'i:

  - Ulama yang Banyak Berkata dan Berpendapat:

    - Ibnu Surayj, al-Qaffal, Abu Ishaq al-Marwazi, Ibnu al-Haddad, Ibnu al-Qash, asy-Syasyi, dan lainnya.

  - Ulama yang Sedikit Berkata dan Berpendapat:

    - Ibnu L'al, Abu Abdurrahman al-Qazzaz, Abu Bakar as-Salus, dan lainnya.


***
📖 Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

Oleh Ahmad Reza Lc
https://linktr.ee/fiqhgram
#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah

Senin, 15 Juli 2024

,


Al-Hafizh Ibn Rajab dalam risalahnya “al-Radd ‘ala man ittaba’a ghayra al-Madhahib al-Arba’ah” menjawab:

Tidak diragukan lagi bahwa para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka berbeda pendapat dalam banyak masalah halal dan haram.

Pada masa-masa awal, setiap orang yang dikenal dengan ilmu dan agama memberikan fatwa sesuai dengan apa yang tampak benar baginya dalam masalah-masalah ini.

Namun, mereka yang menyimpang dari mayoritas tidak lepas dari kritik para ulama.

Jika keadaan ini berlanjut pada zaman-zaman berikutnya, di mana setiap orang memberikan fatwa sesuai dengan apa yang tampak benar baginya, maka tatanan agama akan kacau.

Hal ini akan menyebabkan halal menjadi haram dan haram menjadi halal.

Setiap orang akan mengatakan apa yang mereka inginkan, dan agama kita akan menjadi seperti agama Ahlul Kitab sebelumnya.

Maka dari itu, hikmah Allah menetapkan bahwa agama ini harus dijaga dengan menempatkan para imam yang diakui ilmunya dan pemahamannya oleh umat.

Mereka mencapai puncak ilmu dalam hal hukum dan fatwa, baik dari kalangan ahli ra’yu maupun ahli hadits.

Semua orang kemudian bergantung pada mereka dalam hal fatwa dan merujuk kepada mereka dalam mengetahui hukum.

Allah menugaskan orang-orang untuk menyusun dan menyempurnakan mazhab-mazhab ini sehingga setiap hukum dapat merujuk kepada mazhab tersebut.

Hal ini merupakan salah satu bentuk rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.

Jika ada yang berkata:

“Mengapa membatasi orang pada pendapat ulama tertentu dan mencegah ijtihad atau mengikuti selain para imam tersebut?”

Dijawab:

“Sebagaimana para sahabat رضي الله عنهم mengumpulkan orang-orang pada satu huruf dari huruf-huruf Al-Qur’an, dan melarang orang-orang membaca dengan selainnya di seluruh negeri; karena mereka melihat bahwa kemaslahatan tidak akan tercapai kecuali dengan itu, dan jika orang-orang dibiarkan membaca pada berbagai huruf, mereka akan jatuh dalam perselisihan yang besar.”

Demikian pula halnya dengan masalah hukum dan persoalan halal dan haram.

Jika orang-orang tidak diikat dengan pendapat beberapa imam tertentu, hal itu akan menyebabkan kerusakan agama.

Setiap generasi baru yang mencari kebenaran akan menemukan pendapat yang berbeda dari para pendahulu, yang mengklaim bahwa pendapatnya adalah yang benar.

***
📖 Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, hal 5, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

Oleh Ahmad Reza Lc
t.me/fiqhgram
#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah
,


(1) Adanya Kesenjangan Antara Para Dai dengan Kalangan Pemuda Pada Umumnya

Kesenjangan ini mengakibatkan kurangnya pemahaman tentang realita yang terjadi pada pemuda dan menyebabkan masing-masing pihak saling menutup diri.

Lebih parah lagi, hal ini mengakibatkan terganggunya peran teladan yang memiliki pengaruh besar dalam aspek perbaikan.

Anda dapat mengingat kehidupan Nabi, bagaimana kedekatannya dengan berbagai lapisan masyarakat, dan pengaruhnya terhadap orang-orang yang melihat akhlak mulia, kesabaran, dan ketenangan yang tercermin dalam dirinya.


(2) Kurangnya Variasi dalam Metode Dakwah

Nabi Muhammad sangat memperhatikan variasi metode dalam menyampaikan pesan syariah.

Terkadang beliau menggunakan pertanyaan, gambar, khutbah, dan berbagai cara lainnya.

Hal ini untuk memastikan pesan tersebut dapat diterima dengan baik oleh berbagai lapisan masyarakat.

Mengikuti metode Nabi dalam hal ini sangat penting, terutama di zaman sekarang di mana media dan gambar memiliki pengaruh besar.

(3) Keterbatasan dalam Ruang Dialog Terbuka

Penting bagi pemuda merasa memiliki wadah yang aman dan terbuka untuk mengajukan pertanyaan dan menyampaikan kebingungan mereka.

Idealnya, ini bisa diwujudkan dalam bentuk panggung dengan audiens muda, di mana seorang pembicara yang ahli dalam syariah dan berpengetahuan luas menjawab pertanyaan dengan baik.

Figur yang dapat dicontoh seperti Zakir Naik.

(4) Lemah dalam Pendekatan Logika Pada Dakwah

Ini adalah salah satu penyebab utama kurangnya efektivitas dalam dakwah.

Perlu ada penjelasan yang lebih mendalam dan beralasan dalam menyampaikan pesan agama.

Siapa yang membaca Al-Quran, dan merenungkan dalam Sunnah Nabi-Nya, maka dia akan menemukan adanya kehadiran nyata dari pesan yang berdasarkan logika di dalamnya.

Sebagai contoh, di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menegaskan tentang kebangkitan kembali;

seperti firman Allah:

“Apakah mereka tidak melihat bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah berkuasa untuk menciptakan yang serupa dengan mereka?” [Al-Isra: 99].

Dan firman-Nya: “Apakah mereka tidak melihat bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi dan tidak merasa letih dengan menciptakan mereka itu berkuasa untuk menghidupkan orang-orang mati? Ya, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Al-Ahqaf: 33].

Hal ini sangat meyakinkan dari sudut pandang akal; karena kaum Quraisy yang musyrik mengakui bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi, sehingga argumen yang diberikan kepada mereka adalah bahwa yang menciptakan langit dan bumi dari ketiadaan mampu menciptakan yang serupa, dan lebih mudah menciptakan yang lebih rendah dari itu.

Ketika kita beralih ke Sunnah Nabi ﷺ, kita akan menemukan situasi di mana argumen berbasis akal sangat indah dan meyakinkan.

Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. yang berkata:

Seorang laki-laki dari Bani Fazara datang kepada Nabi ﷺ dan berkata:

“Istriku melahirkan anak laki-laki yang berkulit hitam.”

Maka Nabi ﷺ bersabda: “Apakah kamu memiliki unta?” Dia menjawab: “Ya.”

Nabi ﷺ bertanya: “Apa warnanya?” Dia menjawab: “Merah.”

Nabi ﷺ bertanya: “Apakah ada unta berwarna abu-abu?” Dia menjawab: “Ya, ada yang berwarna abu-abu.”

Nabi ﷺ bertanya: “Dari mana asalnya warna abu-abu itu?”

Dia menjawab: “Mungkin ada nenek moyangnya yang menurunkannya.”

Nabi ﷺ bersabda: “Begitu juga dengan anakmu, mungkin ada nenek moyangnya yang menurunkannya.”

Beberapa referensi yang relevan dalam topik ini adalah buku:

1- “Al-Adillah Al-Aqliyah Al-Naqliyah ‘Ala Ushul Al-I’tiqad” oleh Dr. Saud Al-Arifi,

2- “Balaghah Al-Ihtijaj Al-Aqli fi Al-Qur’an Al-Karim” oleh Zainab Al-Kurdi,

3- “Manahij Al-Jadal fi Al-Qur’an” oleh Zahir bin Awadh Al-Am’i.


***
📚 Diterjemahkan dari kitab “Sabighat, Kaifa Nata’amalu Ma’a Asy-Syubuhat Al-Fikriyyah Al-Mu’ashirah”, hal. 34-35, Ahmad As-Sayyid dengan beberapa perubahan

Oleh Ahmad Reza Lc
t.me/fiqhgram
#tsaqofah

Sabtu, 13 Juli 2024

,


Kita ketahui bahwa para ulama, secara garis besar memandang tentang status hukum kotoran hewan yang halal dimakan (seperti ayam, kambing, dst); apakah suci atau najis, terbagi menjadi dua pendapat.

Pendapat pertama, menyatakan najis. Dengan dalil-dalil yang dimiliki. Termasuk ini pun pendapat madzhab Syafiiyyah. ( Baca disini >> https://www.instagram.com/p/CTsu0Fbhi9e/?igsh=Z3I4ZGpyNXo2dHN2 )

Pendapat kedua, menyatakan bahwa kotoran hewan yang halal di makan adalah suci. Dengan dalil-dalil mereka.

Dan tampak sekali, kecondongan Imam An-Nasāi dalam Sunan-nya, tertuju kepada pendapat kedua. Bisa kita lihat ketika beliau membuat bab dengan judul;

باب فرث ما يؤكل لحمه يصيب الثوب
"Bab kotoran hewan yang halal dimakan ketika terkena pakaian atau kain."

Lalu beliau menyebutkan haditsnya Anas bin Mālik radhiyallah anhu tentang orang-orang Bani 'Uroinah (yang meminum kencing onta) saja. Tanpa ada tambahan hadits lain. [ Lihat Sunan An-Nasāi, hal. 37 ]

***
Disisi lain, ketika beliau meriwayatkan hadits yang menjadi salah satu dalil pendapat pertama;

فأخذ الحجرين و ألقى الروثة و قال ((هذه ركس))
"Maka beliau (Nabi shallallahu alaihi wa sallam) mengambil dua buah batu tersebut dan membuang kotoran onta, sembari bersabda ((Kotoran ini adalah riks))."

Maka dalam Sunan An-Nasāi , beliau pun menafsirkan kata riks;
الركس طعام الجن
"Riks artinya makanan jin."
[ Idem, hal.9 ]

Tak ragu ini sebagai bentuk penguatan terhadap pendapat kedua, bahwa kotoran hewan yang halal dimakan itu tidak najis. Yang ini menjadi kecondongan Imam An-Nasāi. Karena pendapat pertama menafsirkan kata riks dengan najis. Meskipun hal ini dikomentari oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/309);

وأغرب النسائي فقال عقب هذا الحديث : الركس طعام الجن ، وهذا إن ثبت في  اللغة فهو مريح من الإشكال
"Dan An-Nasāi memberikan pendapat yg aneh ketika mengomentari hadits ini; (riks adalah makanan jin). Maka artian ini meski secara bahasa mungkin benar, namun tetap masih meninggalkan ganjalan."
Wallahu ta'ala a'lam.


***
Jember, 11 Juli 2024
Oleh Danang Santoso
t.me/fiqhgram
#fikihhadits #faedahkitab #faedahkajian #sunannasai #rihlah

***
Referensi
1. Sunan An-Nasāi. Ahmad bin Syuaib An-Nasaī. Mesir, Dar Ibnil Jauzi
2. Maktabah Syamilah Online
,


Saya pernah melihat seorang wanita yang mengalami gangguan was-was dalam keyakinannya, yang paling parah yang pernah saya lihat dan dengar dalam hidup saya.

Saya berusaha meyakinkannya dengan berbagai cara untuk mengatasi was-was tersebut, namun dia tidak merespons.

Saya menduga dia juga telah pergi ke dokter jiwa, namun itu pun tidak membantu.

Akhirnya, saya menyarankan dia untuk melakukan aktivitas ilmiah dan bermanfaat yang bisa mengisi waktunya dan pikirannya, karena dia benar-benar memiliki banyak waktu luang.

Hasilnya lebih baik dan lebih cepat dari yang saya harapkan; pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya datang seperti banjir berhenti dalam waktu yang sangat singkat.

Maksudnya adalah bahwa kekosongan pikiran dan rohani membuat pikiran dan hati rentan terhadap gangguan apapun, meskipun itu buruk.

Namun, bagi mereka yang waktunya terisi, pikirannya dan rohaninya penuh dengan ilmu, kerja, pengetahuan, dan iman, hal ini menjadi penghalang bagi banyak pemikiran menyimpang dan kekhawatiran.

***
📚 Diterjemahkan dari kitab “Sabighat, Kaifa Nata’amalu Ma’a Asy-Syubuhat Al-Fikriyyah Al-Mu’ashirah”, hal. 32, Ahmad As-Sayyid dengan beberapa perubahan

Oleh Ahmad Reza Lc
t.me/fiqhgram

#tsaqofah #genz #sejenak
,


Saya telah melakukan survei dalam dua sesi dari kursus (Bagaimana Menghadapi Keraguan Intelektual Kontemporer) tentang penyebab penyebaran keraguan.

Hasilnya, jawaban yang mendapat suara terbanyak adalah: kelemahan ilmu syar’i di kalangan pemuda.

Alasan mengapa kekurangan ilmu menjadi penyebab terpengaruhnya seseorang oleh syubhat yang muncul adalah karena pemahaman syar’i memberikan kepada pemiliknya dasar pengetahuan dan filter yang memungkinkan mereka untuk menilai informasi dan menganalisis hal baru yang muncul dalam pikiran mereka.

Sedangkan bagi mereka yang kekurangan dasar pengetahuan ini, maka mudah bagi mereka untuk jatuh ke dalam kebingungan metodologis dan kesalahan pengetahuan yang besar."

***
📚 Diterjemahkan dari kitab “Sabighat, Kaifa Nata’amalu Ma’a Asy-Syubuhat Al-Fikriyyah Al-Mu’ashirah”, hal. 29-30, Ahmad As-Sayyid

Oleh Ahmad Reza Lc
t.me/fiqhgram

#tsaqofah #genz #sejenak

Minggu, 07 Juli 2024

,


Sunan An-Nasai ditulis oleh Imam Abu Abdirrahman Muhammad bin Ali bin Syu'aib An-Nasai (w.303 H) rahimahullah. Seorang punggawa ilmu hadits yang besar. Termasuk imam dalam jarh, ta'dīl, dan ta'līl hadits. Dan kitabnya; yaitu Sunan An-Nasaī, ada beberapa kisah sebagai catatan dan faidah.

***
Pertama, Sunan An-Nasai memiliki beberapa nama lain dalam penyebutannya. Ada yang menyebut dengan Sunan An-Nasai (dan ini yang paling masyhur). Juga disebut dengan Al-Muntabā atau Al-Mujtanā atau Al-Muntakhob. Juga terkadang disebut As-Sunan As-Shughro, memberikan isyarat akan adanya karya lain beliau yaitu Sunan Kubro. Bahkan tak sedikit dari para ulama yang menyebutnya dengan Shahīh Sunan An-Nasai; seperti yang disebutkan oleh Imam As-Sakhōwi dalam Al-Qoul Al-Mu'tabar Khotm Sunan Nasai Riwayah Ibnul Ahmar.

***
Kedua, sebagaimana disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar-nya. Asal mula kitab Sunan Nasai ini ditulis. Dimana Imam Nasai memberikan hadiah kitabnya; As-Sunan Al-Kubro kepada penguasa Romlah.

Maka si penguasa bertanya;
"Apakah dalam kitab ini semua haditsnya hadits shahih ?"

Imam Nasai menjawab;
"Tidak."

Lalu penguasa tersebut pun memerintahkan seandainya dipilih dari Sunan Kubro-nya ini hadits-hadits yang shahih saja. Maka Imam Nasai pun menulis kitabnya Sunan An-Nasai tersebut.

***
Ketiga, sebagaimana sudah disinggung bahwa hampir semua hadits dalam Sunan Nasai adalah hadits shahih. Syaikhuna Al-Hakalī menyebutkan, para ulama khilaf berapa jumlah hadits dhoif di dalamnya. Namun kemungkinan maksimal yang pernah disebutkan adalah 117 hadits dari 5754 hadits yang ada di dalamnnya.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam An-Nukat menyebutkan tentang Sunan Nasai dengan mengatakan;

أقل الكتب بعد الصحيحين حديثا ضعيفا و رجلا مجروحا و يقاربه كتاب أبي داود و الترمذي
"(Sunan Nasai) adalah kitab setelah Shahih Bukhari dan Muslim; yang paling sedikit hadits dhoifnya, dan paling sedikit perawi yang majrūh. Dan yang mendekati level Sunan An-Nasai adalah Sunan Abu Dawud dan Tirmidzi."

Pertanyaannya, lantas kenapa seolah Sunan An-Nasai kurang terperhatikan atau berada di bawah Abu Dawud dan Tirmidzi ?

Syaikhuna Al-Hakalī menyebutkan ada 3 alasan untuk hal ini;

1⃣ Dibandingkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi. Imam An-Nasai adalah yang paling terakhir wafatnya. Sehingga manusia lebih dahulu memperhatikan kitab-kitab sebelumnya.

2⃣ Fokus beliau lebih besar diberikan dalam sisi ilmu rijāl (jarh dan ta'dīl) sehingga kurang terperhatikan dalam tashnīf haditsnya. Bahkan beliau masuk dalam kategori ulama yang paling ketat (mutasyaddid) dalam masalah jarh wat ta'dīl.

3⃣ Fitnah yang terjadi pada diri beliau. Dimana beliau dituduh sebagai Syiah. Padahal ini hanya fitnah semata. Dan hal tersebut disebabkan beliau menulis kitan Fadhōil Alī ketika datang ke Damaskus. Dimana saat itu orang disana merendahkan sahabat Alī dan mengagungkan Mu'āwiyah radhiyallahu anhuma. Bahkan beliau sampai terbunuh gegara fitnah ini.

***
Keempat, ketika membaca Sunan An-Nasaī kita akan jumpai diantara nama guru yang cukup banyak riwayat darinya adalah Al-Hārits Ibnu Miskīn. Namun Imam Nasai selalu menyertai pernyataan ketika meriwayatkan darinya;

قراءة عليه و أنا أسمع
"Secara qiroah yang dibacakan kepada beliau dan saya ikut mendengar."

Yang mana ucapan ini tidak beliau sebutkan kepada syaikh beliau lainnya. Dan ini karena adanya satu sebab. Dimana ketika Imam Nasai akan ikut majelisnya Al-Harits ibn Miskīn, beliau saat itu memakai semacam qolanswah (semacam songkok). Yang saat itu ini juga biasa dipakai oleh prajurit penguasa. Maka Al-Harits tidak suka dengan hal tersebut (karena hubungan beliau yg kurang baik dengan penguasa saat itu) dan beliau khawatir bahwa An-Nasai adalah salah satu mata-mata. Maka beliau tidak diizinkan masuk. Sehingga pun beliau hanya bisa mendengar dari luar tempat majelis. Dan ini menunjukkan betapa teliti dan hati-hati Imam Nasai dalam hal adā` riwayah (meriwayatkan kembali).

***
Kelima, kitab Sunan An-Nasai memiliki cukup banyak periwayat yang meriwayatkan langsung dari penulisnya. Imam As-Sakhowi dalam Bughyatur Roghib Al-Mutamanni fi Khotm An-Nasai menyebut paling tidak ada 11 perawi.

Diantaranya putra Imam Nasai sendiri yaitu Abu Musa Abdul Karīm ibn Muhammad ibn Ali An-Nasāi.

Juga Muhammad ibn Al-Qōsim Al-Qurthubī yang dikatakan beliaulah yang pertama kali memasukkan Sunan An-Nasai ke negeri Andalusia.

Juga Abu Bakr Muhammad ibn Muawiyah ibn Al-Ahmar; yang Imam Sakhōwi menulis kitab khotm setelah khatam meriwayatkan Sunan Nasai dengan riwayatnya.

Dan yang paling masyhur adalah Abu Bakr Ahmad bin Muhammad ibn Ishāq ibn As-Sunnī; murid Imam Nasai yang cukup dekat. Wallahu ta'ala a'lam.


***
Jember, 8 Juli 2024
Oleh Abu Harits Danang Santoso
t.me/fiqhgram
#faedah #faedahkajian
,


Ketika pemikiran kritis menjadi umum dalam suatu masyarakat, dan tingkat sarana penelitian dan keilmiahan meningkat, maka akan sulit untuk mempengaruhi mereka dengan pemikiran-pemikiran nyeleneh.

Sebaliknya juga berlaku.

Ini yang kita perhatikan dalam kasus penyebaran banyak syubhat yang sebenarnya penanganannya tidak lebih dari pemikiran kritis dan pemeriksaan ilmiah untuk menolak syubhat tersebut.

Akan dijelaskan dalam buku ini bahwa salah satu prinsip pencegahan adalah: membentuk pikiran kritis dan meningkatkan alat-alat penelitian ilmiah."

————————
📚 Diterjemahkan dari kitab “Sabighat, Kaifa Nata’amalu Ma’a Asy-Syubuhat Al-Fikriyyah Al-Mu’ashirah”, hal. 31, Ahmad As-Sayyid


***
Oleh Ahmad Reza Lc
t.me/fiqhgram
#tsaqofah
,


Sulit menemukan seorang Muslim yang memperhatikan hatinya dari sisi keimanan, mengawasi rasa ketergantungannya kepada Allah, tawakkal kepada-Nya, cinta kepada-Nya, dan berusaha membersihkan diri dari penyakit hati seperti iri, dengki, dan kesombongan, kecuali ia akan merasakan kenikmatan keimanan yang tidak ada bandingannya.

Bahkan tidak akan berpikir untuk menggantinya dengan sesuatu yang lain.

Sedangkan bagi mereka yang kehilangan semua itu, mereka mungkin tertarik oleh daya tarik lain.

————————
📚 Diterjemahkan dari kitab “Sabighat, Kaifa Nata’amalu Ma’a Asy-Syubuhat Al-Fikriyyah Al-Mu’ashirah”, hal. 31, Ahmad As-Sayyid


***
Oleh Ahmad Reza Lc
t.me/fiqhgram
#tsaqofah

Rabu, 03 Juli 2024

,


Pertanyaan:
Ahsanallahu ilaikum ustadzi
Izin bertanya. Di dalam pelaksanaan puasa kaffarot , apakah di perbolehkan hanya berpuasa sehari ust ? , apabila di wajibkan minimal 3 hari , apakah harus berturut turut ? Apa boleh di jeda jeda seperti tata cara puasa daud ?
Barokallah fiikum ustadzi 🙏


***
Jawaban:
Bismillah. Untuk puasa kaffarat apakah harus dikerjakan secara tatabu' (berkelanjutan tanpa putus sampai selesai), atau boleh taqōthu' (diputus-putus). Maka kita katakan, puasa kaffarat terbagi menjadi dua jenis dilihat dari sisi harus bersambung atau tidak.

Pertama, puasa kaffarat yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan tidak boleh dijeda. Ini berlaku untuk beberapa macam kaffarat. Diantaranya;

1.1 Kaffarat dzhihār yaitu kaffarat orang yang menyamakan istri dengan ibunya. Dengan mengatakan, "Engkau bagiku seperti punggung ibuku." Lalu ternyata orang tersebut tidak menceraikan, maka wajib membayar kaffarah. Allah Ta'ala berfirman;

فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ۖ
"Lalu bagi siapa yang tidak mendapati (budak) maka dia puasa 2 bulan berturut-turut sebelum dia sentuh istrinya ..." [Al-Mujadalah ayat 4 ]

1.2 Kaffarah jimak di siang hari bulan Ramadhan. Maka ini juga harus dilaksanakan secara berkesinambungan. Hal ini dilandasi oleh sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam terhadap orang yang jimak Ramadhan, maka beliau bersabda;

هل تستطيعُ أن تصومَ شَهرينِ مُتَتابعينِ
"Apakah kamu bisa puasa dua bulan berturut-turut ?" [HR.Bukhari (1936), Muslim (1111) ]

Kedua, puasa kaffarat yang tidak dipersyaratkan berkesinambungan. Dalam artian, boleh untuk dijeda dengan hari yg dia tidak berpuasa. Dan ini mencakup beberapa kaffarat, diantaranya;

2.1 Kaffarat sumpah, yaitu puasa 3 hari. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman;

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ ۚ
"Dan siapa yang tidak mendapat (dari jenis kaffarat sebelumnya -edt), maka dia puasa 3 hari. Demikianlah kaffarat sumpah kalian ketika kalian bersumpah, dan jagalah sumpah kalian..." [ QS Al-Maidah ayat 89 ]

Ibnu Qosim dalam Fathul Qorib mengatakan;

(فإن لم يجد) المكفر شيئا من الثلاثة السابقة (فصيام) فيلزمه صيام (ثلاثة أيام) و لا يجب تتابعها في الأظهر
"(Jika tidak mendapati) orang yg membayar kaffarat sedikitpun dari tiga hal sebelumnya (maka puasa) wajib baginya puasa (3 hari) dan tidak wajib berkesinambungan dalam ucapan yg paling kuat."

Dalam Hasyiyah Al-Baijūri (2/646) disebutkan;

و هو المعتمد لإطلاق الآية
"Dan ini adalah pendapat yang mu'tamad karena kemutlakan ayat."

2.2 Kaffarat haji, yaitu puasa 10 hari; 3 hari ketika di hari-hari amaliyyah haji, dan 7 hari ketika sudah kembali ke rumahnya. Maka ini juga tidak dipersyaratkan untuk berkesinambungan. Allah Ta'ala berfirman;

فمن تمتع بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد فصيام ثلاثة أيام في الحج و سبعة إذا رجعتم تلك عشرة كاملة
"Maka siapa yang siapa yang tamattu' umrah kepada hajinya maka apa yang dia mudah dari sembelihan. Dan siapa yang tidak mendapati maka puasa 3 hari di waktu haji (antara ihram sampai tahallul -edt) dan 7 hari ketika kalian kembali, maka menjadi 10 hari yang sempurna." [ QS Al-Baqarah ayat 196 ]

Maka dalam ayat ini pun puasa kaffaratnya disebutkan secara mutlak, sehingga tidak dipersyaratkan secara berkesinambungan. Wallahu ta'ala a'lam.


***
Oleh Danang Santoso
t.me/fiqhgram
#fikihkaffarat #fikihibadah #akademifiqhgram #qna

Senin, 01 Juli 2024

,


Pertanyaan:
Ahsanallahu ilaikum ustadzi
Izin bertanya. Apakah di dalam pelaksanaan puasa Sunnah ada juga yg mutlak seperti sholat Sunnah mutlak ustadz  ? Dan jikalau ada , apakah kita boleh melakukannya dgn cara 1 Minggu berturut turut tanpa jeda ?


***
Jawaban:
Bismillah. Sebagaimana ada shalat sunnah mutlak, ada juga puasa sunnah yang sifatnya mutlak. Maksudnya tidak terikat dengan waktu tertentu, karena pada dasarnya, puasa setiap hari diperbolehkan.

Dalilnya hadits Aisyah radhiyallahu anha berkata;

دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال: «هل عندكم شيء؟» فقلنا: لا. قال: «فإني إذن صائم» ثم أتانا يومًا آخر فقلنا: يا رسول الله، أهدي لنا حيس. فقال: «أَرِينيه، فلقد أصبحت صائمًا» فأكل
"Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang menemuiku di suatu hari, dan beliau berkata ((Apakah engkau punya sesuatu untuk dimakan ?)) Maka kami katakan; tidak ada. Maka beliau bersabda ((Kalau begitu aku akan berpuasa hari ini)).

Lalu beliau datang lagi di hari yang lain, maka kami katakan; 'Wahai Nabi kami punya hais (sejenis roti) diberi hadiah oleh orang.' Maka beliau bersabda ((Berikan kepadaku, sesungguhnya hari ini aku sedang puasa)), lalu beliau memakannya."
[ HR.Muslim ]

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam puasa tanpa terikat dengan event hari tertentu. Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori mengatakan;

وَتَكْفِي نِيَّةٌ مُطْلَقَةٌ فِي النَّفْلِ الْمُطْلَقِ) كَمَا فِي نَظِيرِهِ مِنْ الصَّلَاةِ (وَلَوْ قَبْلَ الزَّوَالِ لَا بَعْدَهُ))
"(Dan cukup niat secara mutlaj dalam -puasa- sunnah mutlak) sebagaimana seperti shalat (meskipun sebelum zawwal selama bukan setelah zawwal)."
[ Asnal Matholib Syarh Roudhotut Thōlib. (1/422) ]


Dan hal ini pun dilandasi bahwa secara asal boleh puasa dahr (puasa setiap hari tanpa putus). Sebagaimana disampaikan oleh para fuqoha, seperti Al-Khothīb As-Syirbīni;

وَهُوَ يَنْقَسِمُ إلَى قِسْمَيْنِ: قِسْمٌ لَا يَتَكَرَّرُ كَصَوْمِ الدَّهْرِ، وَقِسْمٌ يَتَكَرَّرُ فِي أُسْبُوعٍ أَوْ سَنَةٍ أَوْ شَهْرٍ،
"Dan puasa terbagi menjadi dua; puasa yang tidak ada sisi pengulangan tertentu seperti puasa dahr (puasa setiap hari). Dan puasa yang terulang setiap pekannya atau setiap tahun atau seiap bulannya."
[ Mughnil Muhtaj (2/182) ]


Maka, setiap harinya diperbolehkan seorang puasa. Namun dengan syarat; hari tersebut tidak ada larangan untuk berpuasa. Seperti mengkhususkan hari jumat saja, atau hari sabtu saja, atau hari ahad saja. Atau hari ied, atau hari tasyrīk.

Sehingga pun, seseorang juga boleh untuk berpuasa satu pekan secara penuh tanpa batal sama sekali. Sebagaimana hadits Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

مَنْ صَامَ الدَّهْرَ ضُيِّقَتْ عَلَيْهِ جَهَنَّمُ هَكَذَا وَقَبَضَ كَفَّهُ
"Siapa yang puasa dahr (puasa setiap hari), maka disempitkan baginya neraka jahannam seukuran ini (dan beliau menggenggam salah satu telapak tangannya)."
[ HR.Ahmad (32/484) ]

Juga puasa dahr juga amalan sebagian sahabat seperti Ibnu Umar dan Aisyah sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sunan Kubronya. Wallahu ta'ala a'lam.


***
Oleh Danang Santoso
t.me/fiqhgram
#fikihpuasa #akademifiqhgram #qna