Sabtu, 20 Juli 2024

HUKUM WANITA MENCALONKAN DIRI SEBAGAI PEMIMPIN


PERTANYAAN:
Bismillah Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Ahsanallahu Ilaikum ustadz,
Izin bertanya ustadz.

Bolehkah wanita mencalonkan diri sebagai pemimpin / pejabat daerah, menjadi menteri dan menjadi pemimpin ahlul Halli wal aqdi ? Dan bagaimana perspektif ulama Syafi'iyah dalam pembahasan ini ustadz?

Syukron jazaakumullah khoiron ustadz.

Barakallahu fiikum ustadz 🙏🏻


***
JAWABAN:
Waalaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Bismillah. Secara asal wanita tidak diperkenankan menjadi pemimpin tertinggi dari sebuah otoritas tertentu. Misalkan presiden atau kepala daerah, atau camat, atau kepala desa, atau semisalnya.

Diantara dalilnya, firman Allah Ta'ala;

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"Para lelaki adalah qowwam atas para wanita, karena keutamaan yang Allah berikan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan apa yang mereka (para lelaki) nafkahkan dari harta mereka..."
[ Surat An-Nisa ayat 34 ]

Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya (5/168) mengatakan;

أي : يقومون بالنفقة عليهن ، والذب عنهن ، وأيضاً : فإنَّ فيهم الحكام والأمراء ومن يغزو ، وليس ذلك في النساء
"Maksudnya mereka (para lelaki) yang memberi nafkah wanita serta menjaganya. Juga para lelaki-lah yang menjadi pemimpin, panglima, dan orang yang perang yang mana hal ini tidak diperuntukkan bagi wanita."

Dalil yang lain, hadits Abu Bakrah radhiyallahu anhu, beliau berkata;

لما بلغ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم أن أهل فارس قد ملَّكوا عليهم بنت كسرى ، قال : ( لن يُفلح قومٌ ولَّوا أمرَهم امرأة )
"Ketika sampai kabar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya putri dari Kisro menjadi pemimpin tertinggi Persia (menggantikan ayahnya), maka beliau bersabda ((Tidak akan beruntung satu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita))."
[ HR.Bukhari (4163) ]

Imam Al-Mawardi (penulis Al-Hawi Al-Kabir) dalam kitabnya Ahkam As-Sulthoniyyah (hal.46) ketika membahas tentang wizaroh (pemangku kebijakan tertiinggi disetelah kholifah), beliau berkata;

ولا يجوز أن تقوم بذلك امرأة ، لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( ما أفلح قومٌ أسندوا أمرهم إلى امرأة ) ؛ ولأن فيها من طلب الرأي وثبات العزم ما تضعف عنه النساء
"Tidak boleh wanita menjadi wazir, berlandasakan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam ((Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan kepada kaum wanita)). Dan juga karena dalam kewaziran terdapat unsur pengabilan pendapat dan penetapannya yang mana wanita lemah dalam hal ini."

Imam Al-Baghowi (penulis tafsir dan At-Tahdzib fi Fiqh Syafii) dalam kitabnya Syarh As-Sunnah (10/77) mengatakan;

اتفقوا على أن المرأة لا تصلح أن تكون إماماً ولا قاضياً ، لأن الإمام يحتاج إلى الخروج لإقامة أمر الجهاد ، والقيام بأمور المسلمين ، والقاضي يحتاج إلى البروز لفصل الخصومات ، والمرأة عورة ، لا تصلح للبروز ، وتعجز لضعفها عند القيام بأكثر الأمور ، ولأن المرأة ناقصة ، والإمامة والقضاء من كمال الولايات ، فلا يصلح لها إلا الكامل من الرجال
"Para ulama sepakat bahwa wanita tidak diperkenankan menjadi pemimpin tertinggi (imam) ataupun qodhi (hakim). Karena imam harus keluar untuk jihad dan mengurusi urusan kaum muslimin. Sedangkan qodhi (hakim) harus keluar untuk menyelesaikan perselisihan masyarakat. Dan wanita itu aurot, serta tidak bisa mengurus semua urusan kaum muslimin karena memiliki sisi kelemahan. Juga karena wanita memiliki sifat kurang (naqishoh), sedangkan kepemimpinan dan kehakiman termasuk urusan yang membutuhkan kesempurnaan perangkat. Maka tidak layak menjadi imam atau qodhi kecuali laki-laki yang memiliki sifat kesempurnaan."

***
Akan tetapi akan timbul pertanyaan disini. Bukankah Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته والأمير راع والرجل راع على أهل بيته والمرأة راعية على بيت زوجها وولده فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas rakyatnya. Penguasa (amir) adalah pemimpin. Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya. Wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya.. Maka setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab atas yang dipimpinnya."
[ HR.Bukhari (4904) dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma ]

Bukankah disini disebutkan bahwa wanita juga punya hak untuk memimpin, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebut wanita juga sebagai pemimpin ?

Maka kita katakan, wanita punya hak juga untuk memimpin namun bukan sebagai pemimpin tertinggi yang memegang keputusan dalam suatu otoritas.

Seperti misalnya wanita menjadi sekretaris, atau bendahara, atau semisalnya. Maka boleh. Namun sebagai pemimpin tertinggi, maka tidak diperbolehkan. Maka wanita tidak boleh menjadi presiden, ketua DPR, ketua MPR, kepala daerah, atau semisalnya. Sebagaimana hal ini diisyaratkan oleh Khothib Syirbini dalam Mughnil Muhtaj;

(وَيُنْدَبُ) عِنْدَ اخْتِلاَفِ وُجُوْهِ النَّظَرِ وَتَعَارُضِ اْلأَدِلَّةِ فِيْ الحُكْمِ (أَنْ يُشَاوِرَ الْفُقَهَاءَ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ. قَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ. كَانَ النَّبِيُّ مُسْتَغْنِيًا عَنْهَا وَلَكِنْ أَرَادَ أَنْ تَصِيْرَ سُنَّةً لِلْحُكَّامِ إِلَى أَنْ قَالَ الْمُرَادُ بِالْفُقَهَاءِ كَمَا قَالَهُ جَمْعٌ مِنَ اْلأَصْحَابِ الَّذِيْنَ يُقْبَلُ قَوْلُهُمْ فِي اْلإِفْتَاءِ فَيَدْخُلُ اْلأَعْمَى وَالْعَبْدُ وَالْمَرْأَةَ 
"Dan ketika terjadi perbedaan pandangan dan kontradiksi dalil dalam suatu hukum maka hakim disunahkan bermusyawarah dengan para ahli hukum, sesuai firman Allah ta'la: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (QS Ali Imran: 159). Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Nabi saw tidak perlu musyawarah, namun beliau ingin menjadikannya sebagai tradisi bagi para juru hukum ... Yang dimaksud dengan ahli hukum adalah mereka yang diterima fatwanya, maka termasuk orang buta, budak dan wanita."
Wallahu ta'ala a'lam


***
✍️ Oleh Danang Santoso
#akademifiqhgram #qna #fikihisosial

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar