Rabu, 28 Agustus 2024

,


Seseorang tidak akan menjadi ahli fikih dalam syariah, dan tidak boleh memberikan fatwa sama sekali, kecuali jika ia benar-benar mendalami ilmu ushul fikih.

Sebab, melalui ilmu ini, metode-metode istidlal (penarikan kesimpulan hukum) dan cara-cara tarjih (menimbang antara berbagai dalil) dapat diketahui.

Orang yang tidak menguasai ilmu ini akan terjebak dalam kebingungan, mendahulukan yang lemah dan mengesampingkan yang kuat, serta tidak mampu melakukan istidlal dengan baik. Bahkan, bisa saja ia menggunakan dalil pada tempat yang tidak sesuai dengan maksudnya.

Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa mempelajari ilmu ini merupakan kewajiban individual bagi seorang mujtahid dan mufti. Ia tidak boleh memberikan fatwa atau melakukan ijtihad kecuali setelah mengenal dan mendalami ilmu ini.

Imam Ibn Badran al-Hanbali, rahimahullah, menyatakan bahwa seseorang tidak akan benar-benar memahami fikih kecuali setelah mempelajari ilmu ini, bahkan jika ia telah mempelajari fikih bertahun-tahun.

Tidak cukup untuk menjadi seorang ahli fikih hanya dengan mempelajari teks-teks fikih saja tanpa mempelajari ilmu lain yang disebut ushul fikih.

Nama "ushul fikih" itu sendiri menunjukkan hubungannya, yaitu "dasar-dasar fikih," yang menjadi pondasi utama dalam berijtihad.

Bahkan, al-Hafizh Ibn al-Shalah, rahimahullah, menyebutnya sebagai "pintu menuju pemahaman yang mendalam dalam fikih. " Seseorang tidak akan menjadi ahli fikih yang mendalam kecuali jika ia menguasai ilmu ini.

Oleh karena itu, sebagian ulama menyebut seorang pelajar fikih atau penuntut ilmu atau ulama yang tidak menguasai ushul fikih sebagai "awam di kalangan ulama," sebagaimana disebutkan oleh Abu al-Muzhaffar al-Sam'ani dalam Qawathi' al-Adillah.

Maksudnya adalah bahwa ijtihadnya tidak dapat diterima, dan fatwanya tidak dapat diandalkan jika ia tidak menguasai ilmu ini. Karena ketidaktahuan akan ushul fikih akan mengakibatkan kesalahan dalam memahami teks-teks dan dalam menggunakan dalil-dalil syar'i.

Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa wajib bagi seorang ahli fikih dan mujtahid untuk mempelajari ilmu ini.

Bahkan, sebagian ulama seperti Ibn Aqil al-Hanbali berpendapat bahwa mempelajari ilmu ushul harus mendahului mempelajari ilmu fikih, karena ushul adalah dasar.

Seperti ketika seseorang ingin membangun sebuah bangunan, ia harus memulai dengan fondasinya terlebih dahulu, meletakkan dasar-dasar sebelum membangun di atasnya.

Cabang-cabang fikih dibangun di atas kaidah-kaidah dan ushul ini, sehingga harus didahulukan dalam pembelajaran.

Oleh karena itu, para ulama, rahimahumullah, telah menulis banyak buku dalam ilmu ini.

Salah satunya adalah kitab "al-Waraqat" karya Imam al-Haramain. Kitab ini adalah ringkasan yang ditulis sebagai pengantar dan tahap awal dalam mempelajari ilmu ini.

Para ulama kemudian menggubah kitab "al-Waraqat" ini menjadi puisi untuk memudahkan pemahaman.

Di antara mereka adalah Syihabuddin al-Tukhi al-Syafi'i, rahimahullah, yang menggubahnya pada abad ke-9 Hijriah.

Kemudian, pada abad ke-10, datanglah Yahya bin Musa al-'Amrithi, penulis nadhom ini, yang menggubah "al-Waraqat" dalam bentuk puisi yang ia namakan "Tashil al-Thuruqat li Nadhmi al-Waraqat."

Setelahnya, datanglah Muhammad bin Ibrahim bin al-Mufadhdhal al-Yamani yang menggubah "al-Waraqat" dalam nadhom.

Nadhom ini (Tashil Thuruqat), yang ada di hadapan kita, juga telah dijelaskan oleh sekelompok ulama, di antaranya Syaikh Abdul Hamid Quds al-Makki dari ulama Mekah.

Nadhom ini juga telah dijelaskan oleh Syaikh kami, Syaikh Muhammad al-Shalih al-'Utsaimin, rahimahullah, dalam sebuah syarah yang telah dicetak.

Nadhom ini,  adalah nadhom yang mudah dan ringan untuk dihafal, sehingga cocok untuk menjadi pengantar dalam mempelajari ilmu ini.

***
📚 Sumber:
Syarah Tashil Turuqat, Syaikh Musthafa Makhdum

Oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
t.me/fiqhgram

🔗 Segera daftar di kelas usul fikih Akademi Fiqhgram disini >> t.me/akademifiqhgram2

Sabtu, 24 Agustus 2024

,


Kiat Pertama: Memperkuat Keyakinan Terhadap Pokok-Pokok Islam:

Dari keyakinan yang saya peroleh setelah berinteraksi dengan pertanyaan-pertanyaan kaum muda, penting untuk memberikan perhatian serius pada penyajian bukti-bukti Islam secara rasional yang dapat meningkatkan iman, memperkuat keyakinan, dan melindungi hati dari bara keraguan.

Jika hati tidak yakin dengan hal ini dan tidak mengetahui bukti-buktinya, maka hati akan cepat ragu dan mudah terganggu.

Meskipun masalah ini sangat banyak dibahas dalam Al-Qur’an dan sangat dibutuhkan, perhatian terhadapnya belum sesuai dengan yang seharusnya.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak anak muda di masyarakat Muslim terpengaruh oleh gelombang keraguan tentang Allah, Kitab-Nya, atau Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Cara Memperkuat Keyakinan:

Pertama:

Menghidupkan dan Menyebarkan Ibadah Berpikir tentang Tanda-Tanda Allah di Alam Semesta.

Dalam Al-Quran dijelaskan hubungan antara berpikir dan memahami kebenaran.

Allah berfirman:

‎ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَما وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ
‎في خلق السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بطلا سُبْحَنَك

“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ’Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau.”
(Ali Imran: 191)

Setelah berpikir, mereka menyimpulkan dari penciptaan langit dan bumi bahwa tidak ada kesia-siaan dan ketidakberaturan.

Allah mencela orang-orang yang berpaling dari memikirkan tanda-tanda-Nya, lalu Dia berfirman:

وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سقفًا تَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ عَايْتِهَا مُعْرِضُونَ

“Dan Kami jadikan langit sebagai atap yang terpelihara, tetapi mereka berpaling dari tanda-tanda (kekuasaan)Nya.”
(Al-Anbiya: 32)

Saya berharap agar peradaban modern tidak menjadi alasan yang menghalangi kita dari ibadah berpikir tentang langit, bintang, diri sendiri, dan hewan.


**


Prinsip Pencegahan Kedua: Membangun Akal Kritis

Akal Kritis: adalah akal yang teliti, yang tidak menerima klaim tanpa bukti, tidak menerima bukti yang rusak, dan tidak mudah tertipu oleh kesalahan logika.

Banyak syubhat (keraguan) yang mempengaruhi sebagian pemuda, dan salah satu faktor utamanya adalah kurangnya pemikiran kritis dan mentalitas yang teliti.

Oleh karena itu, perhatian terhadap penanaman pemikiran yang benar, yang mampu membedakan antara informasi yang dapat diterima dan yang tidak, sangat penting dalam menangkal syubhat dan memperkuat daya tahan intelektual.

Para ulama Muslim sangat memperhatikan pemeriksaan dan pengujian informasi sebelum menerimanya.

Salah satu contoh terbaik adalah apa yang dihasilkan oleh para ulama hadis, dengan sistem pemeriksaan yang luar biasa.

Mereka mengkritisi para perawi hadis, tidak tertipu oleh penampilan semata, membandingkan riwayat, melemahkan riwayat yang terputus, dan menemukan para pendusta, sehingga metode kritik mereka menjadi aman untuk menjaga sunnah Nabi ﷺ.

Selain itu, para ulama Muslim juga memperhatikan dasar-dasar debat yang benar dan diskusi yang produktif.

Mereka membahas argumen yang dapat diterima dan yang ditolak, serta hal-hal lain yang membutuhkan pemeriksaan dan pengujian, yang dibahas dalam buku-buku adab al-bahth wa al-munazarah atau ilmu debat.

Semua hal di atas berbeda dengan mentalitas yang skeptis, yang gemar mengatakan "saya tidak tahu" dan "mungkin", atau "apa yang saya ketahui?".

Akal kritis tidak diukur dari seberapa banyak berita yang ditolaknya atau diragukan, tetapi dari seberapa banyak faktor dan bukti yang ia amati yang memerlukan penolakan, serta faktor lain yang memperkuat penerimaan.

Tidak diragukan lagi bahwa kita membutuhkan kursus, ceramah, dan aplikasi praktis di bidang ini.

Kita juga dapat mendidik anak-anak kita tentang pemikiran kritis dengan menerapkannya pada berita dan pendapat yang mereka dengar di sekolah atau di antara teman-teman, sehingga mereka dilatih untuk menguji berita tersebut berdasarkan prinsip-prinsip verifikasi dan analisis yang benar.

Salah satu hal yang membantu memperkuat alat akal kritis adalah dengan memahami metode penelitian ilmiah dan keterampilannya.

Akal kritis membutuhkan pengetahuan tentang sumber-sumber informasi dan bagaimana menghadapinya untuk memastikan keakuratan dan ketelitian.

Oleh karena itu, kita perlu mengadakan kursus tentang cara melakukan penelitian informasi secara elektronik dan buku-buku dari sumber-sumber yang terpercaya, serta cara mencari keabsahan hadis di internet dan buku.

***

Kaidah Pencegahan Ketiga: Pendalaman Syariah

Yang dimaksud dengan pendalaman syariah adalah mempelajari dasar-dasar ilmu syariah (akidah, fiqh, ushul fiqh, ilmu hadis, bahasa, dan ilmu Al-Qur'an).

Hal ini sangat penting karena akan membentuk landasan pengetahuan yang kokoh bagi seorang pelajar, yang akan menjadi rujukan dan sandaran.

Berbeda dengan orang yang tidak memiliki dasar ini, ia tidak akan memiliki fondasi yang kuat.

Salah satu cara untuk menyebarkan prinsip pencegahan ini adalah dengan mempermudah ilmu syariah, mendekatkannya kepada para pemuda, dan menyajikannya dalam kursus-kursus singkat dengan gaya modern dan menggunakan alat bantu pengajaran yang sesuai.

Orang yang melakukan pekerjaan ini harus menyadari bahwa ia memainkan peran penting dalam mencegah syubhat (keraguan) intelektual kontemporer.

Salah satu upaya yang baik dalam mewujudkan kemudahan ini adalah yang dilakukan oleh Dr. Amir Bahjat dalam kursus-kursusnya yang luar biasa tentang fiqh dan ushul fiqh, yang tersedia di YouTube dengan judul "Tanbih al-Faqih" dan "Al-Tariq ila Ushul al-Fiqh" serta lainnya.

Di antara metode penting yang dibutuhkan dalam tahap ini adalah perhatian dalam pelajaran syariah untuk meneguhkan prinsip-prinsip dasar,

bukan hanya sekedar menjelaskan atau mengomentari teks dan memperluas cabang-cabangnya, tetapi juga harus ditambahkan hal-hal yang menegaskan kebenaran prinsip-prinsip yang dibahas.

Jika ada yang berkata:

"Orang yang belajar ilmu syariah tidak akan terpengaruh oleh isu-isu yang menyasar prinsip-prinsip dasar, maka tidak perlu melakukan hal-hal yang disebutkan tadi,"

jawabannya adalah, bahwa pelajar, meskipun tidak terpengaruh oleh syubhat dan isu-isu, tetap membutuhkan pengetahuan tentang dalil-dalil dan kebenaran prinsip-prinsip tersebut agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dan masalah yang dihadapinya -

kecuali jika ia ingin mengasingkan diri dari masyarakat dan menjauh dari apa yang menjadi perhatian mereka.

Salah satu caranya adalah dengan memberikan pengantar ilmu sebelum memulai penjelasan, dan dalam pengantar ini mencakup dalil-dalil umum yang menegaskan kebenaran prinsip ilmu yang akan dipelajari, alasan pentingnya perhatian terhadapnya, serta dampak negatif dari meninggalkannya atau mengabaikannya.

***

Prinsip Keempat: Menentukan Sumber Pengetahuan dan Sikap terhadap Setiap Sumber

Apa saja sumber yang kita andalkan untuk membangun pengetahuan?

Sejauh mana batasan setiap sumber?

Apakah ada tumpang tindih di antara sumber-sumber tersebut?

Apa saja sumber pengetahuan syariah yang tidak mungkin salah?

Dan apa saja sumber syariah yang mungkin mengandung kesalahan dan kebenaran?

Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting bagi generasi muda. Jika jawabannya disampaikan dengan tepat, ini akan membantu mengatur pola pikir mereka, menjelaskan dari mana pengetahuan diperoleh, dan bagaimana cara menggunakannya.

Ini menjadi salah satu cara penting untuk mencegah syubhat  yang sering terjadi saat ini.

Salah satu penyebab utama dari kekacauan berpikir di era modern adalah kesalahan dalam menentukan sumber pengetahuan. Banyak ateis, terutama di dunia Barat, memiliki pandangan negatif terhadap sumber-sumber pengetahuan selain dari pancaindra dan pengalaman langsung, yang mereka anggap sebagai satu-satunya cara untuk memperoleh pengetahuan.

Akibatnya, mereka menolak bukti-bukti rasional yang menunjukkan keberadaan Tuhan, yang tidak didasarkan pada pengamatan langsung atau sains empiris.

Mereka juga menolak ilmu-ilmu wahyu yang bersumber dari berita yang benar dan didukung oleh dalil-dalil akal. Banyak perdebatan intelektual antara orang beriman dan ateis yang berhubungan dengan isu-isu ini.

Oleh karena itu, memahami teori pengetahuan dan cabang-cabangnya menjadi sangat penting bagi peneliti Muslim masa kini.

Bagi yang ingin mendapatkan gambaran umum tentang pengetahuan, sifatnya, dan sumber-sumbernya, ada sebuah ceramah oleh Syaikh Abdullah al-Ajiri di YouTube berjudul "Madkhal li Fahm Nazhariyyat al-Ma'rifah," yang sangat cocok untuk tahap awal dalam memahami teori ini dan kaitannya dengan konsep pengetahuan dalam Islam.

Setelah itu, sebaiknya dilanjutkan dengan membaca buku "Mashadir al-Ma'rifah fi al-Fikr al-Dini wa al-Falsafi" karya Dr. Abdurrahman bin Zaid az-Zunaydi, kemudian "Al-Ma'rifah fi al-Islam" karya Dr. Abdullah al-Qarni.

Buku ini sangat berkualitas, meskipun agak sulit untuk pemula dan menengah. Selanjutnya, bisa memperdalam dengan buku karya Dr. Abdullah al-Du'ajani yang membahas pendekatan Ibn Taimiyah terhadap pengetahuan dalam " Manhaj Ibn Taymiyyah al-Ma'rifi. "

Ini adalah buku yang sangat bermanfaat, meskipun cukup menantang bagi pemula dan menengah.

Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita juga bisa membedakan antara sumber syariah yang terjamin kebenarannya dan sumber yang bisa salah.

Al-Qur'an dan Sunnah adalah sumber yang tidak mungkin salah, begitu juga dengan kesepakatan para ulama dalam masalah syariah jika kesepakatan tersebut sudah terbukti.

Namun, seorang ulama, meskipun sangat tinggi ilmunya, tidak mungkin selalu benar dalam semua pendapatnya, bahkan jika dia adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'i, atau Imam Ahmad—semoga Allah merahmati mereka semua.

Aspek penting lainnya dari prinsip ini adalah penyerahan diri kepada nash syar’i (teks agama) dan dasar-dasar yang mendukungnya.

Beberapa referensi penting dalam hal penyerahan diri kepada nash syar’i antara lain buku " Yambu’ al-Ghawayah al-Fikriyyah" karya Abdullah al-Ajiri dan " Al-Taslim li al-Nash al-Shar'i " karya Fahd al-Ajlan.


***

Kaidah Kelima: Menghindari Diskusi Syubhat bagi yang Bukan Ahli

Bagi mereka yang ahli dalam membantah syubhat (keraguan), penting untuk memahami secara mendalam detail-detail syubhat tersebut, siapa yang menyebarkannya, dan sejarahnya.

Mungkin mereka perlu membaca beberapa buku dari pihak tersebut atau mengunjungi situs dan akun media sosial mereka agar dapat memberikan jawaban yang tepat.

Namun, bagi yang bukan ahli, masuk ke dunia syubhat ini adalah tindakan yang berisiko dan bisa berakibat buruk.

Yang saya maksud dengan "masuk" di sini bukanlah mengetahui cara membantah syubhat yang umum, melainkan membaca buku-buku mereka atau mengikuti cuitan dan postingan mereka di media sosial.

Baik itu dengan alasan ingin tahu apa yang dipikirkan pihak lain, sekadar penasaran, membuang waktu, atau hanya untuk menambah wawasan umum.

Saya mengenal beberapa orang yang, dengan niat baik, memasuki halaman dan akun-akun ateis, namun akhirnya mereka malah terpengaruh secara negatif, sesuatu yang tidak mereka inginkan dan tidak pernah mereka duga sebelumnya.

Hal ini mengingatkan kita pada peringatan ulama terdahulu agar tidak mendengarkan ahli bid'ah, karena hati itu lemah dan syubhat bisa dengan mudah menyambar—seperti yang dikatakan oleh Imam al-Dzahabi, semoga Allah merahmatinya.

Prinsip Keenam: Membaca Buku Bantahan terhadap Syubhat dengan Syarat-syarat Tertentu

Syarat pertama : Syubhat yang dibahas haruslah yang sedang berkembang dan menjadi ancaman nyata.

Syarat kedua: Buku tersebut harus lebih banyak memaparkan bantahan daripada menjelaskan syubhat secara detail. Beberapa penulis terkadang terlalu detail dalam menjelaskan syubhat, termasuk menyebutkan dasar dan argumennya.

Ini memang baik untuk para ahli, tetapi dalam konteks pencegahan bagi yang bukan ahli, membaca syubhat yang dijelaskan secara rinci justru bisa menimbulkan kebingungan yang tidak perlu.

Syarat ketiga : Bantahan yang disampaikan harus kuat dan terpercaya. Ini bisa diketahui dengan merujuk pada pendapat para ahli di bidang tersebut.

Beberapa buku yang cocok dibaca sebagai upaya pencegahan dari syubhat masa kini antara lain " Al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasyri' al-Islâmi " karya Mustafa al-Siba’i dan buku " Kamil al-Surah " yang terdiri dari dua bagian.

***
📚 Diterjemhakn:
As-Shabigat, Kaifa Nata’amalu Ma’a Syubuhat Fikriyah Al-Mu’ashirah, Syaikh Ahmad As-Sayyid

Oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
t.me/fiqhgram

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

#tsaqofah #sejenak #faedah
,


Jika kita melihat pada proses pembelajaran fiqh yang teratur berdasarkan mazhab, kita akan mendapati bahwa pembelajaran tersebut berkisar pada kitab-kitab fiqh yang ringkas dan kitab-kitab matan (teks dasar) ilmiah.

Pandangan ini bukanlah sesuatu yang baru atau dibuat-buat, melainkan sudah ada sejak zaman dahulu.

Ketika Imam asy-Syafi'i menyusun mazhab barunya di Mesir, para muridnya segera merangkum ilmu mulia ini ke dalam ringkasan-ringkasan agar mudah dihafal dan dijelaskan.

Imam al-Buwaithi (wafat 231 H) menyusun Mukhtashar (ringkasan) yang terkenal, begitu pula Harmalah (wafat 243 H) menyusun Mukhtashar miliknya, meskipun karya ini hilang.

Kemudian Imam al-Muzani (wafat 264 H) menyusun Mukhtashar yang besar, dan kemudian yang kecil – yang menjadi terkenal dan banyak digunakan.

Sejak kitab ringkas ini disusun, para pengikut mazhab Syafi'i mengandalkan dan mempelajarinya dengan tekun.

Tidak terhitung jumlah orang yang telah mensyarahinya, meringkasnya, mengomentarinya, dan membelanya.

Salah satu keunikan yang disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A'lam an-Nubala' adalah:

"Negeri-negeri dipenuhi dengan Mukhtashar ini (milik al-Muzani) dalam fiqh, dan banyak ulama besar yang mensyarahinya, sehingga dikatakan bahwa seorang gadis yang akan menikah harus menyertakan satu salinan Mukhtashar al-Muzani dalam pernikahannya."

Di antara yang mensyarahi Mukhtashar al-Muzani adalah Imam al-Haramain dalam Nihayat al-Mathlab, Imam al-Mawardi dalam al-Hawi, Abu ath-Thayyib ath-Thabari dalam at-Ta'liqah, dan lainnya.

Sementara itu, Imam al-Ghazali telah meringkas dan memperbaikinya dalam kitabnya al-Khulashah.

***

Perhatian terhadap Mukhtashar al-Muzani dalam hal hafalan dan pengajaran terus berlanjut, hingga Syaikh Abu Ishaq asy-Syirazi menyusun kitabnya at-Tanbih,

yang kemudian dihafal oleh para pelajar karena keindahan bahasanya dan banyaknya manfaat yang terkandung di dalamnya.

Ketika Hujjatul Islam al-Ghazali menyusun al-Wajiz – yang merupakan ringkasan dari al-Wasit – kitab ini juga mendapat perhatian dari para ulama untuk dihafal dan disyarahi.

Bahkan, kitab yang paling penting di kalangan ulama mutaakhirin – yaitu asy-Syarh al-Kabir atau [Fath] al-‘Aziz karya ar-Rafi’i – adalah syarah dari al-Wajiz.

Kemudian Imam ar-Rafi'i merangkum dari karya-karya al-Ghazali – terutama al-Wajiz dan al-Khulashah – dalam kitabnya al-Muharrar,

di mana ia memberikan penekanan pada penentuan pendapat yang lebih kuat dan menjelaskan pendapat yang diandalkan di antara berbagai pendapat dan pandangan.

Selanjutnya, Imam an-Nawawi meringkas al-Muharrar dalam karyanya Minhaj ath-Thalibin dan melakukan koreksi pada beberapa masalah kecil.

Sejak Imam an-Nawawi menyusun al-Minhaj, kitab ini telah menjadi pusat pembelajaran mazhab Syafi'i hingga zaman kita sekarang.

Kitab ini telah banyak disyarahi, dan hingga kini masih ada syarah-syarah baru yang ditulis oleh para ulama kontemporer.

Kitab ini telah memberikan manfaat yang luas, dan beberapa ulama seperti Ibn al-Mushili, Abu Hayyan, dan ad-Damiri telah menyusunnya dalam bentuk nadham (puisi).

Kemudian kitab ini diringkas oleh beberapa ulama lain, termasuk Syaikh Zakaria al-Ansari dalam Manhaj ath-Thullab, yang kemudian beliau syarahi dalam Fath al-Wahhab, sebagian besar diambil dari syarah al-Mahalli terhadap al-Minhaj.

Hal yang sama juga terjadi pada mazhab-mazhab lainnya; misalnya, Imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (wafat 189 H) menyusun al-Jami' ash-Shaghir dalam mazhab Hanafi,

Imam al-Khiraqi (wafat 334 H) menyusun Mukhtashar yang terkenal di kalangan Hanbali, dan Imam Ibnu Abi Zaid al-Qayrawani (wafat 386 H) menyusun ar-Risalah yang terkenal dalam mazhab Maliki.

***

Imam al-Qazwini menyusun kitab al-Hawi – yang dikatakan merupakan ringkasan dari asy-Syarh al-Kabir karya ar-Rafi'i.

Kitab ini menjadi keajaiban, dan banyak orang yang menghafalnya.

Kitab ini kemudian diubah menjadi bentuk nazham (puisi) oleh Ibn al-Wardi dalam al-Bahjah, sebuah nazham yang indah.

Tentang nazham ini, Al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani berkata dalam ad-Durar al-Kaminah:

"Demi Allah, tidak ada seorang pun yang membuat nazham fiqh setelahnya kecuali berada di bawah tingkatannya."

Waliuddin al-'Iraqi kemudian mensyarah al-Bahjah dengan syarah yang bermanfaat dan bagus.

Setelah itu, Syaikhul Islam Zakaria as-Syirazi juga mensyarah al-Bahjah dengan dua syarah; salah satunya adalah syarah yang panjang berjudul al-Ghurar al-Bahiyyah, yang kemudian ia ringkas menjadi Khulasat al-Fawa'id al-Mahwiyyah.

Selanjutnya, Imam Ibn al-Muqri meringkas al-Hawi yang disebutkan sebelumnya dalam kitabnya Irsyad al-Ghawi.

Ia juga meringkas *Raudhat at-Talibin* karya an-Nawawi dalam Raudhat at-Talib, yang merupakan salah satu matan terbesar yang disyarahi dalam mazhab.

Kitab ini disyarah oleh Qadhi Zakaria dalam Asna al-Mathalib.

Hingga masa mendekati zaman kita, para ulama terus menulis kitab-kitab matan fiqh untuk memudahkan para pencari ilmu.

Al-Allamah Ahmad asy-Syathiri (wafat 1360 H) menyusun matan al-Yaqut an-Nafis.

Bahkan hingga zaman kita sekarang, penulisan dalam matan fiqh masih ada, namun sebagian besar mereka hanya terbatas pada menulis nazham untuk matan-matan tersebut.

Misalnya, banyak orang yang menulis nazham untuk al-Yaqut an-Nafis, dan beberapa orang juga menulis nazham untuk Qurrat al-'Ain.

Di zaman kita juga terdapat lebih dari satu ulama yang masih menulis nazham untuk al-Minhaj karya an-Nawawi, di antaranya adalah Dr. Hadhr al-Sa'di dan Syaikh Muhammad Salim Buhairi, serta lainnya.

Semoga Allah memberkahi upaya-upaya yang bermanfaat ini dan menerimanya dengan penerimaan yang baik.

Catatan:

Hal yang sama juga terjadi di berbagai mazhab lainnya; misalnya, Syaikh Abdul Aziz bin Hamad al-Ahsai (wafat 1359 H) menyusun matan Tadrib as-Salik dalam mazhab Maliki,

al-Allamah Abu Bakr Khuwaiqir (wafat 1349 H) menyusun mukhtashar yang terkenal di kalangan Hanbali, dan Syaikh Muhammad 'Ala'uddin Ibn 'Abidin (wafat 1306 H) menyusun matan al-Hadiyyah al-'Alliyyah dalam mazhab Hanafi.

***
📚 Sumber:
Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

Oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
t.me/fiqhgram

🔗 Ingin belajar fikih Islam secara berjenjang dari satu kitab ke kitab berikutnya ❓ Bergabunglah di Akademi Fiqhgram
📲 t.me/akademifiqhgram2

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.

#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah #karyaulama #faedah #faedahkitab

Jumat, 23 Agustus 2024

,


Muncul pertanyaan:

Jika keempat mazhab mengikuti dalil, mengapa ada perbedaan di antara mereka dalam masalah hukum?

Jawabannya datang dari Al-Allamah Jamaluddin al-Rimi dalam kitabnya al-Ma’ani al-Badi’ah:

“Ketahuilah bahwa penyebab perbedaan di antara ulama – meskipun Al-Qur’an satu dan Nabi Muhammad ﷺ satu – adalah dalam jalan yang mengarah kepada kebenaran, bukan pada kebenaran itu sendiri.

Penyebab ini dalam setiap masalah sangat panjang jika dijelaskan.

Namun, kami akan menunjuk pada beberapa poin yang bisa kami ringkas,

yaitu delapan sebab utama, dan setiap jenis penyebab ini melahirkan dan bercabang menjadi sebab-sebab lainnya:

1. Kesamaan Makna Kata:

Seperti kata “القرء” (al-qur’) dalam ayat, yang dalam bahasa Arab kadang-kadang berarti masa suci (bersih dari haid) dan kadang-kadang berarti masa haid.

Demikian pula kata-kata lain yang digunakan untuk sesuatu dan lawannya.

Begitu juga dengan kata “الأمر” (perintah), apakah harus diartikan sebagai kewajiban atau sunnah, dan kata “النهي” (larangan), apakah harus diartikan sebagai larangan atau makruh tanzih (dibenci).

2. Perbedaan Antara Makna Literal dan Majaz (Kiasan):

Seperti kata “النكاح” (nikah), apakah maknanya secara literal adalah akad nikah atau secara kiasan adalah hubungan seksual, atau sebaliknya, atau apakah itu kata yang bermakna ganda.

3. Penyebutan Kata Secara Umum atau Khusus:

Seperti menyebut “رقبة” (budak) dalam konteks pembebasan budak, kadang-kadang dibatasi dengan syarat harus seorang mukmin dan kadang-kadang tidak ada pembatasan.

4. Generalitas dan Kekhususan:

Perbedaan ini timbul ketika melihat suatu teks yang mungkin bersifat umum atau khusus.

5. Keandalan Periwayatan:

Seperti perbedaan dalam hal periwayatan hadits, misalnya hadits mursal, hadits marfu’, sanad, dan hal-hal lain yang bisa mempengaruhi keabsahan suatu riwayat.

6. Qiyas (Analogi):

Ketika tidak ada teks yang jelas dari Al-Qur’an atau Sunnah, maka dilakukan analogi.

Ini adalah salah satu penyebab perbedaan yang paling terkenal, sebagaimana disebutkan oleh al-Badinji dalam mukadimah kitabnya.

7. Nasakh (Penghapusan Hukum):

Perbedaan mengenai apakah hadits bisa dinasakh seperti perintah dan larangan, atau apakah Sunnah bisa dinasakh oleh Al-Qur’an, dan sebaliknya.

Juga, perbedaan pendapat mengenai ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang menurut sebagian ulama dinasakh, dan menurut yang lain tidak.

8. Ibahah (Kebolehan):

Seperti perbedaan pendapat dalam qiraat tujuh, takbir dalam shalat jenazah, takbir pada hari-hari Tasyriq, dan lain sebagainya.

Inilah sebab-sebab perbedaan yang terjadi di antara para ulama yang tidak boleh diabaikan oleh siapa pun, dan sebab-sebab ini dibahas dalam kitab ini.

Semoga Allah memberikan taufik untuk kebenaran.”

Dr. Mustafa al-Zalmi telah mengumpulkan sebab-sebab perbedaan di antara para fuqaha, menyusunnya, dan memberikan contoh-contoh, sehingga menjadikannya cukup lengkap dan memadai.

***
📚 Sumber:
Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

Oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
t.me/fiqhgram

🔗 Ingin belajar fikih Islam secara berjenjang dari satu kitab ke kitab berikutnya ❓ Bergabunglah di Akademi Fiqhgram
📲 t.me/akademifiqhgram2

#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah #faedah #faedahkitab
,


Di sini muncul pertanyaan:

Diketahui secara luas di kalangan ulama bahwa mengikuti pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah wajib.

Lalu, apa manfaatnya menyebutkan pendapat-pendapat yang tidak diandalkan atau yang lemah dalam mazhab?

Ada beberapa manfaat dalam mengetahui pendapat-pendapat ini.

Salah satu yang paling menonjol adalah bahwa pendapat-pendapat ini menjadi bahan untuk belajar fiqh dan melatih calon faqih (ahli fiqh).

Mengandalkan satu pendapat saja mungkin dapat menyebabkan kekakuan dalam pemahaman.

Tentang hal ini, Tajuddin al-Subki dalam Thabaqat al-Kubra mengatakan:

“Ketahuilah bahwa inilah yang bisa membuat seorang faqih kehilangan kemampuannya;

yaitu hanya terbatas pada pendapat yang digunakan dalam fatwa.

Jika seseorang tidak mengetahui ilmu perbedaan pendapat (khilaf) dan dasar-dasarnya, ia tidak akan menjadi faqih sampai unta masuk ke lubang jarum.

Ia hanya akan menjadi seorang perawi yang membawa fiqh kepada orang lain tanpa kemampuan untuk menggali hukum dari kasus baru yang ada atau untuk menganalogikan yang akan datang dengan yang sekarang, atau untuk menyamakan yang hadir dengan yang tidak ada.

Kesalahan akan cepat mendatanginya, kekeliruan akan sering bertumpuk padanya, dan pemahamannya terhadap fiqh akan semakin jauh.”

Dengan memahami pendapat-pendapat yang berbeda, seorang calon faqih dapat mengembangkan kemampuan dalam penelitian dan perenungan.

Ia akan mempertimbangkan: Mengapa Imam al-Ghazali, misalnya, memilih pendapat ini?

Mengapa ia lebih mengutamakan pendapat ini daripada yang dinyatakan secara eksplisit (manshush)?

Apa dalil al-Nawawi dalam menyelisihi mayoritas ulama mazhab dan memilih pendapat yang diadopsi oleh mazhab Maliki?

Dan seterusnya.

Mengetahui pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan ini akan menimbulkan pertanyaan ilmiah pada diri calon faqih dan mendorongnya untuk meneliti dasar-dasar dan alasan-alasan di balik pendapat-pendapat ini, serta sejauh mana kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah mazhab dan prinsip-prinsip yang dipegang oleh imam mazhab tersebut.

Selain itu, diperbolehkan untuk mengamalkan pendapat-pendapat yang lemah dalam mazhab untuk diri sendiri, bahkan dalam beberapa kasus, diperbolehkan juga berfatwa dengan pendapat tersebut, sebagaimana yang ditegaskan oleh sebagian ulama.

Namun, mereka mensyaratkan bahwa pendapat tersebut tidak boleh terlalu lemah atau jelas-jelas rusak, seperti yang bertentangan dengan pendapat yang shahih dan yang masyhur.

Kebutuhan seorang faqih untuk mengetahui pendapat-pendapat ini sangat jelas dan tidak dapat diabaikan.

***
📚 Sumber:
Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

Oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
t.me/fiqhgram

🔗 Ingin belajar fikih Islam secara berjenjang dari satu kitab ke kitab berikutnya ❓ Bergabunglah di Akademi Fiqhgram
📲 t.me/akademifiqhgram2

#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah #faedah #faedahkitab

Rabu, 21 Agustus 2024

,

Mazhab-mazhab fiqh secara umum – dan mazhab Syafi’i secara khusus – didasarkan pada dalil syar’i secara asalnya, baik dari Al-Qur’an, Sunnah (baik yang manthuq maupun mafhum), Ijma’ (konsensus), Qiyas (analogi), Istishab (prinsip kontinuitas hukum), dan dalil-dalil lainnya.


Pernyataan bahwa mazhab-mazhab ini hanya didasarkan pada pendapat pribadi dan bertentangan dengan dalil adalah fitnah terhadap para Imam Islam, ulama syariah, dan ahli fiqh. 


Namun, memang ada beberapa mazhab yang dalam beberapa masalah menyelisihi sebagian hadits yang shahih, 


karena mereka berpegang pada dalil lain dari pemahaman sebuah ayat atau hadits lain yang mereka anggap lebih kuat. 


Ini adalah sesuatu yang lumrah dalam sifat manusia, sedangkan bersifat adil sangatlah langka.


Tidak ada satu mazhab pun yang para pengikutnya mengklaim bahwa mereka pasti benar secara mutlak dan bahwa pihak yang berbeda pendapat pasti salah sepenuhnya. 


Hal ini terkenal dari perkataan Imam asy-Syafi’i: 

“Pendapatku benar, namun mungkin saja salah; dan pendapat orang lain salah, namun mungkin saja benar.”


Imam al-Balkhi dari mazhab Hanafi berkata: 

“Seorang faqih tidak seharusnya meyakini bahwa pendapat para ulama kita pasti benar dan pendapat yang berbeda pasti salah. Seorang mujtahid dapat benar dan juga dapat salah.”


Mempelajari masalah-masalah yang diakui kebenarannya dan sesuai dengan dalil adalah tujuan tertinggi, karena menggabungkan antara kebenaran dalil dan kekuatan hujjah. 


Hal ini, dengan puji syukur kepada Allah, adalah hal yang dominan dalam masalah-masalah fiqh yang tertuang dalam kitab-kitab dan bab-bab, baik dalam mazhab-mazhab secara umum maupun dalam mazhab Imam asy-Syafi’i – yang dijuluki sebagai Nashir al-Sunnah – secara khusus.


Telah diriwayatkan dari asy-Syafi’i bahwa beliau berkata: 

“Jika hadits itu shahih, maka itulah mazhabku.” 


Imam al-Juwayni berkata: 

“Prinsip asy-Syafi’i adalah mengikuti hadits.”


Bahkan, kita menemukan Syah Waliullah ad-Dihlawi dari mazhab Hanafi mengatakan dalam risalahnya al-Inshaf: 

“Adapun mazhab asy-Syafi’i:

 1. Ia adalah mazhab yang paling banyak memiliki mujtahid mutlak dan mujtahid dalam mazhab.

 2. Ia adalah mazhab yang paling banyak memiliki ulama ushul dan ahli kalam.

 3. Ia adalah mazhab yang paling kaya dalam menafsirkan Al-Qur’an dan menjelaskan hadits.

 4. Ia adalah mazhab yang paling kuat dalam sanad dan riwayat.

 5. Ia adalah mazhab yang paling kokoh dalam menjaga teks-teks Imam.

 6. Ia adalah mazhab yang paling jelas dalam membedakan antara pendapat Imam dan pendapat murid-muridnya.

 7. Ia adalah mazhab yang paling banyak memperhatikan penentuan pendapat yang lebih kuat di antara berbagai pendapat.


Semua ini tidak tersembunyi bagi siapa saja yang mendalami dan mempelajari mazhab-mazhab, dan pada masa awal, pengikut-pengikutnya adalah para mujtahid dengan ijtihad mutlak, di mana tidak ada seorang pun dari mereka yang menirunya dalam semua ijtihadnya, 


hingga muncul Ibnu Syuraih yang mendirikan kaidah-kaidah taqlid dan penggalian hukum, kemudian para pengikutnya mengikuti jejaknya dan meneladaninya. 


Oleh karena itu, ia dianggap sebagai salah satu ulama penting pada abad kedua Hijriyah, dan Allah Maha Mengetahui.


 8. Tidak dapat disangkal bahwa materi mazhab asy-Syafi’i yang terdiri dari hadits-hadits dan atsar telah ditulis dan tersebar luas serta banyak dikaji. 


Hal seperti ini tidak terjadi pada mazhab lain.”


Namun, masih ada beberapa masalah yang sangat sedikit di mana pendapat muktamad dalam mazhab bertentangan dengan dalil yang shahih – dan hal ini diakui oleh para ulama mazhab. 


Lalu, apa manfaat mempelajari masalah-masalah ini berdasarkan pendapat yang diandalkan dalam mazhab?


Kita mempelajarinya untuk mengetahui bahwa pendapat tersebut adalah pendapat dari sekelompok fuqaha dan para imam mazhab. 


Ketika kita mendapati seseorang yang berpendapat demikian, kita tahu bahwa ia memiliki pendahulu dari kalangan ulama dan imam.


Kita juga mempelajarinya untuk mengetahui bahwa dalam masalah-masalah ini, pendapat muktamad dalam mazhab bertentangan dengan yang tampak dari sebagian dalil. 


Namun, mereka tidak menyelisihinya secara sembarangan, melainkan mereka berpegang pada dalil lain yang menurut mereka lebih kuat karena alasan tertentu. 


Oleh karena itu, kita memberikan uzur kepada para fuqaha yang mulia ini, dan kita memuji Allah atas karunia dan petunjuk-Nya.


Imam al-Qarafi dalam syarahnya terhadap Tanqih al-Fushul berkata: 

“Tidak ada seorang ulama pun kecuali ia telah menyelisihi banyak dalil dari Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم, namun dalil yang berlawanan lebih kuat menurut mereka daripada dalil yang mereka tinggalkan.”


Alasan-alasan mengapa mazhab-mazhab terkadang menyelisihi hadits adalah hal yang telah dikenal dan disebutkan oleh para ulama. 


Di antaranya adalah: 

1️⃣ Berpegang pada hadits mursal menurut kalangan Maliki, 

2️⃣ Menyangka keabsahan hadits yang lemah, 

3️⃣ Menguatkan sebagian hadits atas sebagian yang lain meskipun memungkinkan untuk menggabungkannya, dan lain sebagainya.


***

📚 Sumber:

Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin


Oleh Ahmad Reza Lc

Pengasuh Fiqhgram

t.me/fiqhgram


🔗 Ingin belajar fikih Islam secara berjenjang dari satu kitab ke kitab berikutnya ❓ Bergabunglah di Akademi Fiqhgram

📲 t.me/akademifiqhgram2


#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah #faedah

,


Tidak ada mazhab yang berdiri hanya pada satu pendapat dalam semua masalah. Para pengikut mazhab yang sama seringkali memiliki perbedaan pendapat dalam beberapa masalah, meskipun mereka juga sepakat dalam masalah-masalah lainnya.


Meskipun disebutkan bahwa mazhab adalah hasil dari riwayat dan bahwa tidak diperbolehkan menetapkan mazhab kecuali dengan merujuk kepada Imam mazhab dan murid-muridnya, hal ini tidak menghalangi para ulama terdahulu maupun mutaakhirin (belakangan) untuk menyelisihi pendapat-pendapat pendahulu mereka dalam ratusan masalah.


Sebagai contoh, Imam al-Muzani menyelisihi gurunya, Imam asy-Syafi'i, dalam lebih dari 70 masalah. 


Barang siapa yang mempelajari kitab-kitab ulama Irak dan Khurasan, serta memperhatikan perbedaan mereka dalam penentuan pendapat yang lebih kuat (tarjih), akan mengetahui bahwa mereka bukan sekadar perawi pendapat ulama sebelumnya tanpa melakukan analisis, penyaringan, dan koreksi. 


Bahkan, mereka menyaring, menentukan yang lebih kuat, dan menyelisihi dalam beberapa cabang (furu’) masalah.


Demikianlah, perbedaan dalam penentuan pendapat yang lebih kuat (tarjih) terus berlanjut hingga masa al-Ramli dan al-Haitami, bahkan sampai ke masa para ulama yang menulis hasyiyah (catatan kaki).


Perbedaan-perbedaan ini dalam cabang-cabang (furu') masalah tidak membuat mereka keluar dari mazhab, kecuali jika perbedaan tersebut terjadi dalam prinsip-prinsip dasar (usul). 


Mazhab adalah prinsip-prinsip dasar (usul) dan kaidah-kaidah, sedangkan perbedaan dalam rincian dan cabang-cabang masalah tidak membuat seseorang keluar dari mazhab, selama ia tetap berpegang pada kaidah-kaidah mazhab dan tidak menyelisihi prinsip-prinsip dasarnya.


Manfaat Bermazhab

Beberapa manfaat bermazhab yang disebutkan oleh sebagian orang adalah:

1️⃣Konsistensi dalam berfatwa dan terhindar dari penyimpangan dalam pemikiran ilmiah,

2️⃣ Memiliki pemahaman yang luas tentang cabang-cabang fiqh dan tidak bingung dalam menghadapi berbagai masalah,

3️⃣ Mengembangkan kemampuan fiqh dan mengetahui detail serta rincian masalah,

4️⃣ Mengetahui alasan-alasan dan rahasia-rahasia di balik hukum-hukum syariat.


***

📚 Sumber:

Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin


✍️ Oleh Ahmad Reza Lc

Pengasuh Fiqhgram

t.me/fiqhgram


🔗 Ingin belajar fikih Islam secara berjenjang dari satu kitab ke kitab berikutnya ❓ Bergabunglah di Akademi Fiqhgram

📲 t.me/akademifiqhgram2


#madzhab #tsaqofah #faedah #faedahkitab #madzhabsyafii

,


Dari penjelasan sebelumnya, dapat didefinisikan bahwa bermazhab adalah: mengikuti mazhab seorang mujtahid mutlak oleh orang yang bukan mujtahid, dan tidak keluar dari mazhab tersebut kecuali dalam kasus yang sangat jarang.

Atau secara ringkas dapat kita katakan: bermazhab adalah berafiliasi dengan sebuah sekolah fiqh, baik dalam prinsip-prinsip dasar (usul) maupun dalam cabang-cabangnya (furu').

Jalan Menuntut Ilmu Fiqh
Menguasai mazhab dengan mempelajarinya dan mendalami fiqh berdasarkan kaidah-kaidahnya serta mempelajari usulnya adalah jalan ilmiah yang telah ditempuh oleh para fuqaha (ahli fiqh) selama berabad-abad.

Sejak mazhab-mazhab ini muncul, para ulama segera mendalaminya, menggali ilmu dari mazhab-mazhab tersebut, menyusun prinsip-prinsip dasar, dan memperbaikinya.

Hal ini disebabkan karena mazhab-mazhab tersebut telah ditulis, dikembangkan, dan disempurnakan selama ratusan tahun oleh ulama-ulama yang cerdas, yang diakui oleh baik pendukung maupun penentang dalam keilmuan dan ketelitian mereka.

Oleh karena itu, kita menemukan para ulama besar dari kalangan mutaakhirin (ulama belakangan) yang dikatakan telah mencapai derajat ijtihad, seperti Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Nawawi, Ibnu Qudamah, Ibn Daqiq al-‘Id, Ibnu Taimiyah al-Hafidh, al-Subki, dan lainnya, semuanya bermazhab dengan salah satu dari empat mazhab.

Sebagai contoh, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harani memiliki syarah (penjelasan) yang berharga atas ‘Umdat al-Fiqh, dan al-‘Allamah Ibn Daqiq al-‘Id memiliki syarah atas Matan Abi Syuja', dan al-‘Allamah al-Subki memiliki syarah yang sangat berharga atas al-Minhaj.

***
Banyak orang yang mencampuradukkan antara taqlid (mengikuti tanpa mengetahui alasan) dan tamadzhub (bermazhab), serta menganggap hubungan antara keduanya sebagai sinonim, atau sebagai hubungan yang tidak terpisahkan.

Ini adalah kesalahpahaman besar dan pendapat yang tidak tepat.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tamadzhub adalah mengikuti mazhab seorang mujtahid secara keseluruhan, dan tidak keluar dari mazhab tersebut kecuali dalam keadaan jarang.

Sedangkan taqlid, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil terperinci di balik pendapat tersebut.

Ada yang berkata:

"Ini adalah inti dari tamadzhub! Sebab, kitab-kitab matan semuanya berisi masalah-masalah tanpa menyebutkan dalil kecuali dalam beberapa kasus yang jarang."

Jawabannya adalah:

orang yang berpendapat seperti ini tidak memahami hakikat tamadzhub, dan tidak mengerti peran matan dalam studi mazhab.

Fungsi dari matan adalah menjelaskan hukum masalah, syarat-syaratnya, dan sebagainya, sedangkan penjelasan dalil adalah tugas dari kitab-kitab syarah (penjelasan), bukan kitab matan.

Jika kita mempelajari syarah dari kitab matan yang ringkas seperti Abu Syuja', kita akan menemukan bahwa Syarah Ibnu Daqiq al-‘Id banyak menyebutkan dalil-dalil dari ayat-ayat dan hadits-hadits.

Bahkan, Syarah al-Hishni Kifayatul Akhyar mengandung lebih dari 1000 hadits, selain atsar (riwayat dari sahabat dan tabi’in) yang disebutkan.

Jika kita mempelajari kitab yang lebih tinggi seperti Asna al-Mathalib, kita akan menemukan lebih dari 600 ayat dan 1400 hadits di dalamnya.

Ada juga kitab-kitab yang secara khusus mengumpulkan dalil-dalil dari mazhab Syafi'i.

Jika kita mempelajari As-Sunan al-Sughra karya al-Baihaqi asy-Syafi'i, kita akan menemukan sekitar 5000 hadits dan atsar di dalamnya, belum lagi As-Sunan al-Kubra yang memuat sekitar 22 ribu hadits dan atsar.

Adapun kenyataan bahwa pemula dalam studi fiqh melakukan taqlid, ini adalah sesuatu yang sudah jelas, karena pemula dalam setiap ilmu memang melakukan taqlid hingga ia mengokohkan pijakannya dan mengembangkan kemampuannya dalam ilmu tersebut. Hal ini tidak hanya berlaku dalam fiqh, tetapi juga mencakup semua ilmu dan disiplin ilmu yang lain.

***
📚 Sumber:
Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

✍🏻 Oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
t.me/fiqhgram

🔗 Ingin belajar fikih Islam secara berjenjang dari satu kitab ke kitab berikutnya ❓ Bergabunglah di Akademi Fiqhgram
📲 t.me/akademifiqhgram2

#madzhab #tsaqofah #madzhabsyafii #faedah #faedahkitab

Selasa, 20 Agustus 2024

,


Al-Allamah Bakri ad-Dimyathi dalam Mukadimah kitab I'anah at-Thalibin berkata:

"Aku melihat dalam Fatawa yang ditulis oleh almarhum Syaikh Ahmad ad-Dimyathi – semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya – yang berbunyi:

Pertanyaan :

'Apa yang harus dijadikan pegangan dalam berfatwa dari kitab-kitab fiqh?

Kitab mana yang diutamakan di antara para penulis syarah dan hasyiyah seperti kitab-kitab karya Ibn Hajar, kedua Ramli (Syamsuddin dan Syihabuddin Ramli), Syaikhul Islam Zakariya al-Ansari, Al-Khatib asy-Syirbini, Ibn Qasim, Al-Mahalli, Al-Ziyadi, Asy-Syubramilisi, Ibn Ziyad al-Yamani, Al-Qalyubi, Syaikh Khidr, dan lainnya?

Apakah kitab-kitab mereka dapat diandalkan atau tidak? Apakah boleh mengikuti pendapat salah satu dari mereka jika mereka berbeda pendapat atau tidak?

Dan jika terjadi perbedaan di antara kitab-kitab karya Ibn Hajar, mana yang harus didahulukan?

Apakah boleh mengetahui pendapat yang lemah dan berfatwa dengannya?

Apakah boleh mengamalkan pendapat yang tidak kuat (marjuh) atau yang berbeda dengan pendapat yang paling benar (muqabil ashah), atau yang berbeda dengan wajah, atau yang berbeda dengan pendapat yang dianggap lebih tepat (mutajjih) atau tidak?'

Jawaban - sebagaimana yang dapat diambil dari jawaban Syaikh Sa'id bin Muhammad Sunbul al-Makki, yang menjadi rujukan:

Semua kitab-kitab tersebut diandalkan dan dijadikan acuan, tetapi dengan memperhatikan urutan prioritas dalam mendahulukan sebagian dari yang lain.

Dalam mengamalkannya untuk diri sendiri, boleh mengikuti semua pendapat yang ada, namun dalam berfatwa, ketika terjadi perbedaan, didahulukan Tuhfah dan Nihayah.

Jika kedua kitab ini berbeda, maka mufti bebas memilih di antara keduanya jika ia tidak memiliki kemampuan untuk menentukan mana yang lebih kuat (tarjih).

Jika ia mampu, maka ia harus berfatwa berdasarkan pendapat yang lebih kuat.

Setelah itu, diikuti oleh Syaikhul Islam dalam syarahnya yang ringkas terhadap al-Bahjah, kemudian syarahnya terhadap al-Minhaj, meskipun ada beberapa masalah lemah di dalamnya.

Jika terjadi perbedaan di antara kitab-kitab karya Ibn Hajar, maka yang didahulukan adalah:

1-Tuhfah,
2-Fath al-Jawad,
3-al-Imdad,
4-al-Fatawa dan syarah terhadap al-'Ubab (disebut sama kedudukannya), tetapi didahulukan syarahnya terhadap Bafadl.

Hasyiyah para ulama mutaakhir biasanya sesuai dengan pendapat al-Ramli; karena itu, fatwa dengan mengikuti mereka dianggap sah, kecuali jika bertentangan dengan Tuhfah dan Nihayah, maka tidak dapat diandalkan.

Penulis hasyiyah yang paling diandalkan adalah:

1- Al-Ziyadi,
2- Ibn Qasim,
3- 'Amirah,
dan sisanya.

Namun, tidak diambil pendapat mereka jika bertentangan dengan prinsip-prinsip mazhab, seperti pendapat sebagian dari mereka yang mengatakan: 'Jika sebuah batu besar dipindahkan dari tanah Arafah ke tempat lain, maka wukuf di atasnya sah.' Ini adalah pendapat yang tidak benar.

Adapun pendapat yang lemah, boleh diamalkan untuk diri sendiri, tetapi tidak untuk orang lain – selama pendapat itu tidak terlalu lemah – dan tidak boleh berfatwa atau memutuskan perkara dengannya.

Pendapat yang lemah mencakup: pendapat yang berbeda dengan ashah, berbeda dengan yang diandalkan, berbeda dengan wajah, dan berbeda dengan mutajjah.

Adapun pendapat yang berbeda dengan yang sahih, biasanya itu adalah pendapat yang rusak dan tidak boleh diikuti.

Meskipun demikian, seorang mufti tidak boleh berfatwa sampai ia memperoleh ilmu melalui belajar dari ahlinya yang mumpuni dan menguasainya.

Adapun hanya mengambil dari kitab-kitab tanpa belajar dari mereka yang disebutkan di atas, tidak diperbolehkan; sebagaimana sabda Nabi ﷺ: "Sesungguhnya ilmu diperoleh dengan belajar."

Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang mendalam dan pendapat yang tepat. Bagi siapa pun yang ingin berfatwa, hendaklah ia sungguh-sungguh dalam belajar."

Bagi yang ingin menambah ilmu dan manfaat, dapat merujuk kepada kitab al-Fawaid al-Makkiyah, al-Maqasid as-Sunniyah, dan al-Fawaid al-Madaniyah.

***
📚 Sumber:
Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

✍🏻 Oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
t.me/fiqhgram

🔗 Ingin belajar fikih Islam secara berjenjang dari satu kitab ke kitab berikutnya ❓ Bergabunglah di Akademi Fiqhgram
📲 t.me/akademifiqhgram2

#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah #faedah #faedahkitab #karyaulama
,


Ashab (Pengikut Mazhab) adalah semua orang yang mengikuti mazhab Imam Syafi’i dan menisbahkan diri mereka kepadanya.

Mereka disebut sebagai Ashab Imam Syafi’i, di mana kata “al”  (di dalam bahasa Arab pada kata “ashab” الأصحاب) menggantikan Mudhaf Ilaihi kepada Imam Syafi’i (asalnya أصحاب الإمام الشافعي) .

Pekerjaan mereka dalam mazhab ini dibagi sesuai dengan tingkatan mereka:


Tingkatan Pertama:

Mujtahid Mazhab adalah para Ashab al-Wujuh (orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum).

Tugas mereka adalah melakukan takhrij (mengeluarkan hukum) dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh Imam Syafi’i, dengan membuat wajah (pendapat) baru berdasarkan apa yang telah dinyatakan oleh Imam Syafi’i.

Jadi, tugas utama mereka adalah takhrij, bukan melakukan tarjih (menentukan pendapat yang lebih kuat).


Tingkatan Kedua:


Mujtahid Fatwa seperti Imam an-Nawawi dan Imam ar-Rafi’i.

Pekerjaan mereka adalah tarjih (menentukan pendapat yang lebih kuat) antara dua atau lebih pendapat Imam Syafi’i yang berbeda.

Jadi, tugas utama mereka adalah tarjih, bukan takhrij.


Tingkatan Ketiga:

Selain dari dua tingkatan di atas, mereka adalah para pengikut mazhab yang tugas utamanya adalah menyebarkan mazhab.

Namun, sebagian dari mereka memiliki hak untuk melakukan analisis terhadap apa yang dikatakan oleh para Mujtahid Fatwa; mereka ini dikenal sebagai an-Nudzar (para pengamat).

Tugas utama mereka adalah menyebarkan mazhab.

***
📝 Dinukil dari tulisan Syaikh Said Al-Jabiri hafidzahullah

✍🏻 Alih bahasa oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
t.me/fiqhgram

🔗 Ingin belajar fikih Islam secara berjenjang dari satu kitab ke kitab berikutnya ❓ Bergabunglah di Akademi Fiqhgram
📲 t.me/akademifiqhgram2

#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah #faedah

Kamis, 15 Agustus 2024

,

Sebelum Imam Syafi'i Terdapat dua sekolah fikih besar:

    1. Sekolah Pemikiran di Kufah, dipimpin oleh Imam Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit.

    2. Sekolah Hadis di Madinah, dipimpin oleh Imam Malik bin Anas.


Perbedaan dan Kekurangan:

  - Sekolah Kufah banyak menggunakan analogi dan istihsan, namun kurang dalam meriwayatkan dan menggunakan hadis.

  - Sekolah Madinah lebih banyak mengandalkan hadis dan atsar, namun terkadang memberikan kaidah pada sebuah masalah yang bertentangan dengan kaidah yang ditetapkan di masalah yang lain.


Imam Syafi'i:

  - Setelah menguasai bahasa Arab, Imam Syafi'i belajar kepada Imam Malik dan menguasai kitab Muwaththa'.

  - Beliau juga belajar kepada Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan memahami fikih Imam Abu Hanifah.

  - Kemudian, beliau pergi ke Mesir dan belajar dari murid-murid Imam al-Layth bin Saad.


Keistimewaan Mazhab Syafi'i:

  - Imam Syafi'i berhasil menggabungkan kelebihan dari kedua sekolah fikih dan menghindari kekurangan mereka, sehingga mazhabnya menjadi salah satu mazhab yang paling lengkap dalam kaidah Ushul  dan furu’nya.

  - Mazhab baru Imam Syafi'i yang beliau tetapkan di Mesir setelah bertemu dengan murid-murid al-Laits bin Saad menjadi mazhab yang terakhir kali beliau ikuti.  Ini diriwayatkan oleh al-Muzani, ar-Rabi' al-Muradi, al-Buwayti, Yunus bin Abdul A'la, dan al-Humaidi, serta Harmalah dan ar-Rabi' al-Jizi.


Murid-Murid Mazhab Lama:

  - Ahmad bin Hanbal, al-Hasan az-Zafrani, Abu Tsaur, dan al-Karabisi.


Penyebaran Mazhab:

  - Setelah menyebar ke berbagai negeri, pengikut mazhab ini memperkuat dan memperluasnya dengan menulis, mengajarkan, dan mengembangkan cabang-cabang baru berdasarkan prinsip mazhab.


Kategori Ulama Mazhab Syafi'i:

  - Ulama yang Banyak Berkata dan Berpendapat: Ibnu Surayj, al-Qaffal, Abu Ishaq al-Marwazi, Ibnu al-Haddad, Ibnu al-Qash, asy-Syasyi, dan lainnya.

  - Ulama yang Sedikit Berkata dan Berpendapat: Ibnu L'al, Abu Abdurrahman al-Qazzaz, Abu Bakar as-Salus, dan lainnya.


***
PERKEMBANGAN DUA METODE BESAR DALAM MADZHAB SYAFII

Terdapat dua metode besar dalam perkembangan mazhab Syafi’i, masing-masing metode mewakili sebuah aliran dengan ciri khas dan keistimewaannya:

 Metode Baghdadi
 Pendiri: Abu al-Qasim Utsman al-Anmathi.

 Pengikut Utama: Imam Ibnu Surayj dan lainnya.

 Tokoh Terkenal: Abu Hamid Ahmad bin Muhammad al-Isfara’ini (w. 406 H).

 Karya: Menulis kitab “At-Ta’liqah” yang berisi pengetahuan berharga dan langka.

 Pengikut Lainnya:
 • Abu al-Hasan Ahmad bin Muhammad al-Mahamili (w. 405 H): Penulis “Al-Muqni’” dan “Al-Lubab”.
 • Qadhi Abu Ali al-Hasan al-Bandaniji (w. 425 H): Penulis “Adh-Dhakhirah”.
 • Salim bin Ayyub ar-Razi (w. 447 H): Penulis “Al-Mujarrad” dan “Al-Isyarah”.
 • Qadhi Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 450 H): Penulis “Al-Hawi al-Kabir” dan “Adab ad-Dunya wa ad-Din”.
 • Abu ath-Thayyib ath-Thabari (w. 450 H): Penulis “At-Ta’liqah al-Kubra”, yang baru-baru ini diterbitkan.

Metode Khurasan (Marwazi)

 Pendiri Metode:
 • Abu Awanah Ya’qub an-Naisaburi, penulis kitab “Al-Mustakhraj”, dianggap sebagai pendiri metode ini dan diikuti oleh banyak ulama lainnya.

 Perkembangan Metode:
 • Al-Qaffal Ash-Shaghir Al-Marwazi (w. 417 H) mengembangkan metode unik dalam penulisan cabang-cabang fikih dan diikuti oleh sejumlah ulama Syafi’i terkenal lainnya.

 Tokoh-Tokoh Terkemuka dalam Metode ini:
 1. Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Malik Al-Mas’udi (w. setelah 420 H), penulis kitab “Syarh Al-Mukhtashar”.
 2. Abu Ali Al-Husain bin Muhammad As-Sanji (w. 430 H), penulis kitab “Syarh Al-Mukhtashar” dan “At-Talkhis”.
 3. Abu Bakar Muhammad bin Daud As-Saidalani (w. setelah 436 H), penulis kitab “Syarh Al-Mukhtashar”.
 4. Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf An-Naisaburi Al-Juwaini (w. 438 H), penulis kitab “Al-Furuq” dan “As-Silsilah”.
 5. Abu Al-Qasim Abdurrahman bin Muhammad Al-Furani (w. 461 H), penulis kitab “Al-Ibanah”.
 6. Qadhi Husain bin Muhammad Al-Marwazi (w. 462 H), penulis kitab “At-Ta’liqat” yang sudah terkenal.


***
KEISTIMEWAAN METODE-METODE FIKIH SYAFII

 Keistimewaan Metode Irak dan Khorasan:

 • Imam Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzab menyatakan:

 “Ketahuilah bahwa metode para ulama Irak atas nash-nash Imam Syafi’i dan kaidah-kaidah mazhabnya serta pandangan-pandangan ulama terdahulu lebih akurat dan kuat dibandingkan metode ulama Khorasan pada umumnya. 

Sedangkan ulama Khorasan lebih unggul dalam mengembangkan, meneliti, memecahkan masalah, dan mengatur bab-bab fikih pada umumnya.”

 • Abu Bakar As-Sam’ani menggambarkan metode ulama Khorasan sebagai metode yang lebih kuat, lebih jelas dalam penataan, dan lebih banyak penelitiannya.

 Ulama yang Menggabungkan Dua Metode:

 Setelah munculnya dua metode ini, beberapa ulama Syafi’i menggabungkan keduanya, di antaranya:

 1. Imam Abu Ali Al-Husain bin Syu’aib As-Sinji (w. 430 H): Pertama yang menggabungkan dua metode ini.
 2. Abdul Sayyid bin Muhammad bin Ash-Shabbagh (w. 477 H): Penulis kitab As-Syamil dan Al-Kamil.
 3. Imam Al-Haramain Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini (w. 478 H): Penulis kitab Nihayat Al-Mathlab.
 4. Abdul Rahman bin Al-Ma’mun Al-Mutawalli An-Naisaburi (w. 478 H): Penulis kitab Tatimatul Ibanah.
 5. Abdul Wahid bin Ismail bin Ahmad Ar-Ruyani (w. 502 H): Penulis kitab Bahrul Madzhab.
 6. Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi (w. 505 H): Penulis kitab Hilyatul Ulama.
 7. Qadhi Abu Al-Ma’ali Mujalli Al-Makhzumi Al-Arsufi (w. 505 H): Penulis kitab Az-Zakhair.
 8. Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (w. 505 H): Penulis kitab Al-Wasith dan Al-Wajiz.

 Penggabungan dan Penyatuan Metode:
 • Para ulama tersebut menggabungkan dan menyatukan pandangan-pandangan dari kedua metode.
 • Kebanyakan dari mereka cenderung lebih mengikuti metode ulama Irak.

 Pergeseran dan Penghapusan Metode:

 • Pada masa Imam Ar-Rafi’i dan Imam Nawawi, perbedaan antara dua metode ini mulai menghilang.
 • Tidak ada lagi pembedaan antara kedua metode ini kecuali untuk menjelaskan pendapat dan menisbahkan pendapat mereka kepada para pengucapnya.

 Transisi Mazhab:
 • Pada masa Imam Ar-Rafi’i dan Imam Nawawi, mazhab Syafi’i mengalami masa penyempurnaan dan penataan ulang.


***
Sumber: Madkhal Ilal Mutun Fiqhiyah ‘Inda Saadatus Syafiiyah, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Nurudin

Oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
#madzhab #madzhabsyafii #tsaqofah

Kamis, 01 Agustus 2024

,

PERTANYAAN:

Bismillah.. Afwan ustadzi.. Ahsanallahu ilaikun ustadz.. Ijin bertanya :

Saya pernah baca buku terjemahan fikih manhaji..disitu terdapat keutamaan puasa sabtu dan ahad krn menyelisihi org kafir.. Apakah itu shahih dan boleh dijadikan sandaran ??

Jazakumullahu khoiron jawabannya ustadz

***
JAWABAN:
Bismillah wassholatu wassalamu 'ala Rasulillah, amma ba'du,

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji 'ala Madzhabil Imam As-Syafii, cetakan Darul Musthofa & Darul Alamiyyah (3/208);

لكن لا يكره جمع السبت مع الأحد في الصيام لأنه لا يعظمهما أحد مجتمعين
"Akan tetapi tidak dimakruhkan menggabungkan puasa sabtu dengan ahad, karena tidak ada ahli kitab yang mengagungkan kedua hari tersebut secara bersamaan."

Maka disana disebutkan ta'lil aqli (alasan hukum secara akal), bahwa kalau digabung tidak masalah; karena sisi ta'dzim ahli kitab yg berdampak tasyabbuh dengan mereka saat kita puasa sudah tidak ada.

Dari sisi dalil naqli, juga disebutkan disana riwayat;

أنه صلى الله عليه و سلم كان يصوم يوم السبت و يوم الأحد أكثر مما يصوم من الأيام، يقول ((إنما هي يوما عيد المشركين فأنا أحب أن أخالفهم))
"Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam banyak berpuasa di hari sabtu dan ahad daripada hari lain. Dan beliau bersabda ((Kedua hari itu adalah hari iednya orang-orang musyrik, maka aku suka ketika menyelisihi mereka.))

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (26750) dari Ummu Salamah radhiyallahu anha. Dari jalur 'Attāb bin Ziyād dari Abdullah bin Mubarok dari Abdullah bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Abi Tholib dari ayahnya Muhammad bin Umar dari Kuraib dari Ummu Salamah. Maka semua rawi bisa diterima haditsnya, oleh karenanya hadits ini dihasankan oleh Syuaib Al-Arnaūth dalam tahqiqnya.

***

Sejatinya, bahwa memang mengkhususkan puasa hanya di hari sabtu saja adalah makruh. Sebagaimana hal ini dilandasi hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, dari saudarinya As-Shommā' bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا لِحَاءَ عِنَبَةٍ، أَوْ عُودَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهُ
"Jangan puasa di hari sabtu kecuali puasa wajib. Jika kalian tidak mendapati sesuatu untuk dimakan kecuali kulit anggur atau dahan pohon, maka hendaknya dia tetap makan."
[ HR.Tirmidzi dan ini lafadzhnya, (744), Abu Dawud (2421), Ibnu Majah (1726) Ahmad (17690) ]

Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya mengomentari hadits ini dan mengatakan;

هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. وَمَعْنَى كَرَاهَتِهِ فِي هَذَا : أَنْ يَخُصَّ الرَّجُلُ يَوْمَ السَّبْتِ بِصِيَامٍ ؛ لِأَنَّ الْيَهُودَ تُعَظِّمُ يَوْمَ السَّبْتِ
"Hadits ini hasan. Dan makna dibenci puasa hari tersebut maksudnya seseorang mengkhususkan hari sabtu itu untuk puasa. Karena orang Yahudi mengagungkan hari sabtu."

Adapun mengkhususkan puasa hari ahad juga makruh hukumnya. Dalilnya adalah qiyas kepada kemakruhan puasa hari sabtu. Dengan illat (alasan hukum) sama-sama hari yang diagungkan oleh ahli kitab (ahad diagungkan oleh orang Nasrani). Wallahu Ta'ala A'lam.


***
Oleh Danang Santoso
Pengasuh Fiqhgram
#qna #akademifiqhgram #fikihpuasa

🔔 Klik https://linktr.ee/fiqhgram untuk mendapatkan update khazanah fikih Islam dan faedah dari Fiqhgram.