Rabu, 28 Agustus 2024

KENAPA PERLU BELAJAR USHUL FIKIH ?


Seseorang tidak akan menjadi ahli fikih dalam syariah, dan tidak boleh memberikan fatwa sama sekali, kecuali jika ia benar-benar mendalami ilmu ushul fikih.

Sebab, melalui ilmu ini, metode-metode istidlal (penarikan kesimpulan hukum) dan cara-cara tarjih (menimbang antara berbagai dalil) dapat diketahui.

Orang yang tidak menguasai ilmu ini akan terjebak dalam kebingungan, mendahulukan yang lemah dan mengesampingkan yang kuat, serta tidak mampu melakukan istidlal dengan baik. Bahkan, bisa saja ia menggunakan dalil pada tempat yang tidak sesuai dengan maksudnya.

Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa mempelajari ilmu ini merupakan kewajiban individual bagi seorang mujtahid dan mufti. Ia tidak boleh memberikan fatwa atau melakukan ijtihad kecuali setelah mengenal dan mendalami ilmu ini.

Imam Ibn Badran al-Hanbali, rahimahullah, menyatakan bahwa seseorang tidak akan benar-benar memahami fikih kecuali setelah mempelajari ilmu ini, bahkan jika ia telah mempelajari fikih bertahun-tahun.

Tidak cukup untuk menjadi seorang ahli fikih hanya dengan mempelajari teks-teks fikih saja tanpa mempelajari ilmu lain yang disebut ushul fikih.

Nama "ushul fikih" itu sendiri menunjukkan hubungannya, yaitu "dasar-dasar fikih," yang menjadi pondasi utama dalam berijtihad.

Bahkan, al-Hafizh Ibn al-Shalah, rahimahullah, menyebutnya sebagai "pintu menuju pemahaman yang mendalam dalam fikih. " Seseorang tidak akan menjadi ahli fikih yang mendalam kecuali jika ia menguasai ilmu ini.

Oleh karena itu, sebagian ulama menyebut seorang pelajar fikih atau penuntut ilmu atau ulama yang tidak menguasai ushul fikih sebagai "awam di kalangan ulama," sebagaimana disebutkan oleh Abu al-Muzhaffar al-Sam'ani dalam Qawathi' al-Adillah.

Maksudnya adalah bahwa ijtihadnya tidak dapat diterima, dan fatwanya tidak dapat diandalkan jika ia tidak menguasai ilmu ini. Karena ketidaktahuan akan ushul fikih akan mengakibatkan kesalahan dalam memahami teks-teks dan dalam menggunakan dalil-dalil syar'i.

Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa wajib bagi seorang ahli fikih dan mujtahid untuk mempelajari ilmu ini.

Bahkan, sebagian ulama seperti Ibn Aqil al-Hanbali berpendapat bahwa mempelajari ilmu ushul harus mendahului mempelajari ilmu fikih, karena ushul adalah dasar.

Seperti ketika seseorang ingin membangun sebuah bangunan, ia harus memulai dengan fondasinya terlebih dahulu, meletakkan dasar-dasar sebelum membangun di atasnya.

Cabang-cabang fikih dibangun di atas kaidah-kaidah dan ushul ini, sehingga harus didahulukan dalam pembelajaran.

Oleh karena itu, para ulama, rahimahumullah, telah menulis banyak buku dalam ilmu ini.

Salah satunya adalah kitab "al-Waraqat" karya Imam al-Haramain. Kitab ini adalah ringkasan yang ditulis sebagai pengantar dan tahap awal dalam mempelajari ilmu ini.

Para ulama kemudian menggubah kitab "al-Waraqat" ini menjadi puisi untuk memudahkan pemahaman.

Di antara mereka adalah Syihabuddin al-Tukhi al-Syafi'i, rahimahullah, yang menggubahnya pada abad ke-9 Hijriah.

Kemudian, pada abad ke-10, datanglah Yahya bin Musa al-'Amrithi, penulis nadhom ini, yang menggubah "al-Waraqat" dalam bentuk puisi yang ia namakan "Tashil al-Thuruqat li Nadhmi al-Waraqat."

Setelahnya, datanglah Muhammad bin Ibrahim bin al-Mufadhdhal al-Yamani yang menggubah "al-Waraqat" dalam nadhom.

Nadhom ini (Tashil Thuruqat), yang ada di hadapan kita, juga telah dijelaskan oleh sekelompok ulama, di antaranya Syaikh Abdul Hamid Quds al-Makki dari ulama Mekah.

Nadhom ini juga telah dijelaskan oleh Syaikh kami, Syaikh Muhammad al-Shalih al-'Utsaimin, rahimahullah, dalam sebuah syarah yang telah dicetak.

Nadhom ini,  adalah nadhom yang mudah dan ringan untuk dihafal, sehingga cocok untuk menjadi pengantar dalam mempelajari ilmu ini.

***
📚 Sumber:
Syarah Tashil Turuqat, Syaikh Musthafa Makhdum

Oleh Ahmad Reza Lc
Pengasuh Fiqhgram
t.me/fiqhgram

🔗 Segera daftar di kelas usul fikih Akademi Fiqhgram disini >> t.me/akademifiqhgram2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar